Menempuh pendidikan tinggi hingga memperoleh gelar sarjana merupakan pencapaian yang membanggakan bagi banyak orang. Namun, perjalanan setelah kelulusan tidak selalu mulus. Bagi sebagian besar lulusan, momen setelah wisuda bisa menjadi titik transisi yang penuh tantangan, terutama ketika menghadapi kenyataan masih menganggur. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri dampak psikis yang sering dialami oleh lulusan sarjana ketika mereka belum mendapatkan pekerjaan.
Saat masih kuliah, jadwal yang padat dan tuntutan akademik memberikan tujuan yang jelas. Namun, setelah wisuda dan tanpa pekerjaan, banyak lulusan merasa seperti kehilangan arah. Ketidakjelasan dalam langkah selanjutnya bisa memunculkan kecemasan dan kebingungan, seolah-olah segala persiapan akademik selama ini belum berbuah hasil.
Kondisi menganggur sering kali menyebabkan lulusan baru meragukan kemampuan diri. Meski mereka telah menyelesaikan pendidikan dengan baik, kegagalan mendapatkan pekerjaan dalam waktu cepat dapat membuat mereka merasa tidak cukup kompeten atau kurang berharga di pasar tenaga kerja yang kompetitif. Hal ini bisa memicu rasa rendah diri yang berkepanjangan.
Tekanan dari keluarga, teman, atau bahkan masyarakat bisa menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi psikis lulusan baru. Mereka mungkin sering mendapatkan pertanyaan seperti "Sudah kerja di mana?" atau "Kapan mulai kerja?" yang secara tidak langsung menambah beban mental dan membuat mereka merasa lebih tertekan.
Menghadapi ketidakpastian pekerjaan menimbulkan kecemasan terkait masa depan. Banyak lulusan khawatir apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan mereka, atau apakah mereka akan memiliki karier yang stabil. Pikiran-pikiran ini dapat menimbulkan stres berlebihan yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan mental.
Menganggur setelah wisuda sering kali menimbulkan rasa malu pada diri lulusan, terutama ketika mereka melihat teman-teman sebaya sudah bekerja atau mendapatkan penghasilan. Stigma sosial terhadap pengangguran membuat mereka cenderung menarik diri dari lingkungan sosial dan mengisolasi diri.
Perasaan terjebak dalam situasi yang tidak pasti dan penuh tekanan dapat memicu depresi. Depresi ini ditandai dengan perasaan sedih berkepanjangan, kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu menyenangkan, serta kelelahan emosional yang membuat lulusan sulit menemukan motivasi untuk melanjutkan pencarian kerja.
Meski keluarga dan teman dekat mungkin memberikan dukungan, ada saat-saat di mana lulusan merasa tidak dimengerti. Beberapa di antara mereka mungkin merasa bahwa orang-orang di sekitar mereka tidak memahami betapa beratnya beban mental yang mereka rasakan karena menganggur, sehingga membuat mereka semakin terpuruk.
Ketika waktu menganggur semakin lama, beberapa lulusan mungkin mulai menginternalisasi persepsi negatif tentang diri mereka. Mereka mungkin berpikir bahwa mereka tidak cukup baik, atau bahwa masa depan mereka suram. Persepsi ini sangat berbahaya, karena dapat menurunkan motivasi mereka untuk terus berusaha.
Tuntutan finansial setelah lulus, seperti membayar hutang kuliah atau kebutuhan sehari-hari, seringkali meningkatkan tingkat stres. Stres ini tidak hanya berdampak pada kondisi emosional, tetapi juga fisik. Sakit kepala, gangguan tidur, dan gangguan pencernaan sering menjadi gejala fisik dari stres berkepanjangan.