Dalam kehidupan modern yang serba cepat, informasi datang dan pergi dalam hitungan detik. Namun, hanya sedikit yang benar-benar terabadikan. Pikiran, ide, dan pendapat, meskipun cemerlang, bisa dengan mudah tenggelam tanpa ada jejak tulisan yang mengabadikannya. Kehidupan kita dipenuhi hiruk-pikuk media sosial, berita instan, dan berbagai gangguan digital yang menyebabkan orang semakin sulit untuk mengingat atau mempertahankan ide-ide penting.
Tulisan telah menjadi medium utama bagi manusia untuk mencatat sejarah, pemikiran, dan perasaan. Dari zaman Mesir kuno dengan hieroglifnya hingga era digital saat ini, tulisan adalah cara paling efektif untuk mengekspresikan diri dan memastikan ide tersebut bisa bertahan dari waktu ke waktu. Ketika seseorang tidak menuliskan pikirannya, mereka seolah-olah menyerahkan gagasan mereka pada angin yang bisa menerbangkannya tanpa bekas.
Setiap ide yang dituliskan memiliki peluang untuk ditemukan kembali di masa depan. Banyak pemikir besar yang karyanya tidak diakui saat mereka hidup, namun tulisan mereka menemukan tempat di hati generasi berikutnya. Kita melihat ini dalam karya-karya seperti tulisan Socrates, Nietzsche, atau Kartini. Tanpa karya tulis mereka, ide-ide besar ini mungkin tidak pernah dikenal, apalagi dihargai seperti sekarang.
Selain itu, menulis juga merupakan cara untuk memperdalam pemahaman. Ketika seseorang menuangkan pikiran ke dalam tulisan, mereka dipaksa untuk merangkai ide secara lebih sistematis dan logis. Ini adalah proses introspektif yang mengharuskan penulis memahami diri sendiri dan dunia di sekitarnya dengan lebih baik. Dengan menulis, seseorang tidak hanya meninggalkan jejak untuk orang lain, tetapi juga untuk diri sendiri.
Namun, banyak orang merasa ragu atau takut untuk menulis karena mereka merasa tidak cukup ahli. Hal ini adalah salah satu hambatan terbesar yang membuat banyak pikiran cemerlang tenggelam di tengah kebisingan zaman. Menulis sebenarnya bukanlah soal kesempurnaan, melainkan keberanian untuk berbagi. Tulisan yang baik bukanlah yang sempurna dari segi tata bahasa atau struktur, tetapi yang berhasil menyampaikan pesan dengan jujur dan jelas.
Di era digital ini, ironisnya, meski teknologi memudahkan kita untuk menulis dan berbagi, justru ada kecenderungan untuk lebih banyak mengonsumsi daripada menciptakan. Banyak orang lebih suka membiarkan pikirannya menghilang di lautan informasi yang selalu berubah, daripada menuliskan ide mereka dan membiarkannya menjadi bagian dari percakapan yang lebih besar.
Padahal, menulis juga bisa menjadi sarana untuk melawan lupa. Ingatan manusia sangat terbatas, dan sering kali, kita melupakan apa yang pernah kita pikirkan atau rasakan jika tidak menuliskannya. Dengan menulis, kita menciptakan arsip pribadi yang bisa kita baca ulang, mengingatkan kita pada pandangan, perasaan, atau pengalaman yang mungkin hilang dari ingatan.
Lebih dari itu, tulisan juga berperan sebagai sarana komunikasi lintas waktu. Saat ini, banyak ide yang bisa kita pelajari dari penulis masa lalu yang bahkan mungkin tidak pernah kita temui. Tulisan mereka telah melintasi batas ruang dan waktu, menghubungkan kita dengan pemikiran dan gagasan dari masa lalu, yang relevansinya masih terasa hingga sekarang.
Akhirnya, tanpa jejak tulisan, pikiran seseorang hanya akan tenggelam di tengah derasnya arus informasi yang semakin cepat. Menulis adalah cara untuk memastikan bahwa pemikiran dan gagasan tidak hanya hadir sesaat, tetapi juga bisa hidup lebih lama dari si pemilik ide itu sendiri. Karena itu, penting bagi setiap orang untuk berani menulis dan meninggalkan jejak yang berarti di dunia ini.
Dalam dunia yang terus bergerak maju, tulisan adalah jejak abadi yang tak lekang oleh waktu. Tanpa tulisan, seseorang mungkin akan hilang di antara kebisingan zaman, namun dengan tulisan, pikiran mereka bisa bertahan melampaui generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H