Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ritme Hujan di Sudut Kopi

16 November 2023   08:37 Diperbarui: 16 November 2023   09:14 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu, kota terhampar dalam bisu hujan deras yang turun dengan gemuruh lembut. Jalanan yang biasanya ramai dengan kegiatan sehari-hari kini lengang, hanya dihiasi oleh titik-titik air yang menari-nari di setiap sudut. Di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi, seorang pria duduk di sudut jendela dengan secangkir kopi hangat di tangan dan sebatang rokok di meja.

Namanya Dika, seorang penyair yang gemar menyelami kata-kata di malam yang sepi. Setiap tetes hujan yang jatuh di jendela kafe seolah-olah memainkan lagu-lagu kenangan yang terpendam dalam hatinya. Di sampingnya, asap rokoknya bergulung-gulung menyatu dengan percikan-percikan air hujan di luar.

Dika tidak sendirian. Di sebelahnya, seorang wanita muda dengan payung transparan duduk dengan senyum tipis di wajahnya. Nama wanita itu Anisa, seorang seniman yang menyukai senja dan aroma kopi. Mereka sering bertemu di kafe ini, menemukan kehangatan di antara hujan yang menderas.

"Malam ini sangat indah, bukan?" ujar Anisa, suaranya sehalus tetes hujan di atap kafe.

Dika mengangguk, matanya terpaku pada jendela yang memberikan pemandangan kota yang diselimuti embun. "Indah sekali, seperti puisi yang belum terucap."

Keduanya terdiam sejenak, membiarkan hujan yang terus turun menjadi saksi kesunyian yang indah. Mereka berbagi cerita-cerita kecil tentang mimpi, kecintaan pada seni, dan kenangan-kenangan yang terukir di antara setiap jatuhnya tetes hujan.

Pada akhirnya, kopi dan rokok mereka habis, tapi cerita mereka belum selesai. Dika dan Anisa meninggalkan kafe dengan langkah hati-hati di bawah payung transparan. Hujan deras masih menyapa mereka di luar, tetapi kini dengan langkah mereka yang melangkah bersama, hujan itu menjadi serangkaian puisi yang hidup di setiap jejak perjalanan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun