[caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Ilustrasi"][/caption] Seorang Calon Legilatif (Caleg) gagal dari Partai gagal selalu mengirimkan pesan broadcast ke saya melalui, Blackberry Masengger (BBM). Awalnya sih saya anggap sebagai luapan emosi dia sesaat, namun, lama kelamaan menganggu juga. Bayangkan saja, hampir setiap jam dia kirim pesan yang isinya melangsa dan luapan amarah. Salah satunya, proses penghitungan suara yang curang, karena hasil Rekapitulasi KPU tidak ada bedanya dengan hasil prediksi lembaga survey yang keluar sebelum Tempat Pemungutan Suara ditutup. Hingga, soal koalisi partai politik (parpol) untuk mengusung pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang serupa dengan dagang sapi. Namun, saya tidaklah marah terhadap dia. Sebab, apa yang ia rasakan pastilah sangat sakit sekali. Untungnya, dia tidak seperti sebagian para elit lain yang mencoba peruntungan dengan menjadi anggota Parlemen secara membabi buta sehingga menjadi sakit jiwa. Layaknya Revolusi Perancis Ketika rapat BUPPKI pada tahun 1945, Bung Karno sudah mengingatkan kepada kita agar jangan sampai negara yang kita bangun bersama seperti, revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789–1799. Yang berkehendak untuk dihapuskannya kekuasaan raja, aristokrat, gereja, dan digantikan oleh republik demokratik sekuler dan radikal. Perubahan sosial radikal yang berdasarkan pada prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi, dan Pencerahan mengenai kewarganegaraan dan hak asasi. Dimana, saat itu krisis keuangan melanda Perancis, kemudian, Louis XVI yang naik takhta pada tahun 1774 tidak kompeten dalam menjalankan pemerintahan sehingga menambah kebencian rakyat terhadap monarki. Bung Karno pun menjelaskan, akibat kemarahan tersebut rakyat bersama dengan saudagar di bawah kaum aristokrat bersama-sama merebut kekuasaan yang selama ini dikuasai kaum Bangsawan bersama dengan gereja. Mereka pun menganti ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik dengan prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Kedua kaum tersebut pun membentuk sebuah sistem demokrasi pemilihan langsung. Siapa saja boleh dipilih dan boleh memilih. Si kaum saudagar dan kaum miskin tersebut memiliki hak sama bisa menjadi seorang pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang menentukan kebijakan. Inilah yang disebut, parlementer Demokrasi. Namun, yang terjadi adalah sebuah ketimpangan sosial. Dimana, hanya kaum saudagar saja yang bisa menikmati adanya parlementer demokrasi tersebut. Padahal, hak politik si saudagar dan si miskin yang didominasi kaum buruh memiliki hak yang sama. Sekali lagi, saya katakan memiliki hak yang sama. Dan yang menyatakan, ketimpangan tersebut bukanlah Soekarno, apalagi Rizal Malaka pastinya bukan. Lalu, siapakah yang menyatakan? Yakni, pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan dalam demokrasi yang ia bangun bersama rakyatnya. Dimana, para buruh nantinya, akan tertendang dalam gedung parlemen karena tidak memiliki sumber-sumber daya atau modal. Jean Jaures mengambarkan seperti ini “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid (persamaan sosial), adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”. Pasalnya, “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, didalam Parlemen dapat menjatuhkan menteri layaknya seorang raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja – di dalam pabrik – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan raya, dibikin menganggur." Tetapi kan, orang yang masuk dalam parlemen kan mendapat gaji, tunjangan sana sini pastinya sang buruh tidak perlu lagi bekerja di pabrik? Betul itu. Tetapi, dalam pidato bung Karno yang lain, dirinya pun menyinggung modal kapital yang dimiliki para saudagar tersebut jauh lebih besar ketimbang modal yang dimiliki para kaum buruh dan tani. Sehingga, para saudagar bisa mengunakan segala alat propaganda surat kabar, bahkan, membangun Universitas-universitas dan sekolah-sekolah. Sehingga, tingkat keterpilihan mereka jauh lebih besar ketimbang sang buruh dan tani yang hanya bisa memberikan bantuan seadanya. Berkampanye seadanya, pastinya massa pun seadanya. Maka hasilnya, yah seadanya. Jangan harap dapat jatah kursi di parlemen. Memenuhi ambang batas saja mereka tidak bisa. Kebijakan yang terjadi pun, lebih memihak kaum saudagar dibanding kaum buruh. Sehingga, dari pertama kali revolusi hingga saat ini negara Perancis lebih didominasi kaum-kaum kapitalis. Lalu, Indonesia yang katanya sudah reformasi yang sudah diingat oleh pendiri bangsa agar jangan membentuk negara seperti diatas. Namun, ternyata terjadi juga. Mau bukti? Berdasarkan, laporan dana kampanye para parpol perserta pemilu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sedikitnya mereka mengeluarkan puluhan miliar untuk berkampanye. Partai yang memperoleh suara terbanyak seperti PDI-Perjuangan, Golkar dan Gerindra memiliki dana kampanye yang fantastis. Seperti PDI-P memiliki kesiapan dana kampanye sebesar Rp220.842.436.120. Lalu, Golkar yang memiliki dana kampanye sebesar Rp 174.037.763.861. Kemudian, Partai Gerindra yang mengeluarkan dana kampanye Rp 306.580.579.070. Meski harus menelan pil pahit karena harus puas memperoleh posisi di tiga besar. Coba bandingkan, dengan Partai Bulan Bintang yang hanya memiliki dana kampanye Rp 47.407.872.785 dan memperoleh suara 1,29 persen. Bung Karno pun bertanya, apakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Padahal, bapak bangsa itu sudah ingatkan kepada kita kalau mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Karena, Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan. Untuk itulah, bangunan kehidupan berbangsa dan benegara kita adalah musywarah mufakat di dalam badan permusyawaratan yang kita kenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Mengapa demikian, sebab Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat dan dijalan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Inilah, MPR yang nantinya dicita-cita pendiri bangsa kita bukanlah MPR yang dibangun oleh Presiden kedua RI, Soeharto. Yang sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah utusan-utusan golongan dan daerah yang dipilih pemerintah. Bukan itu. MPR yang nantinya akan kita bangun adalah MPR dari rakyat yang bermusyawarah secara berjenjang keatas. Yakni, dari tingkat kepala keluarga (KK) lalu tingkat Rukun Tetangga (RT) kemudian Rukun Warga (RW), terus hingga tingkat. Kecamatan dan nasional. Inilah, MPR yang seharusnya kita bentuk. Dan ini tidaklah melanggar hukum, sekali lagi, tidak melanggar hukum.. Karena ini sesuai dengan Pancasila yang kita ketahui sebagai sumber dari segala sumber hukum. Yang tertera jelas, di sila ke empat bahwa Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi jangan pernah percaya bahwa sila ke empat ini adalah delegasi untuk pemilihan langsung. Sebab, yakni lah bahwa yang namanya pemilihan dan musyawarah adalah hal yang berbeda. Pemilihan tinggal coblos abis itu pulang. Mau jadinya kayak gimana kita tidak tahu. Yang penting pilih. Tetapi, musyawarah untuk mencapai mufakat kita ditantang untuk berpikir. Sekali lagi berpikir dengan landasan ilmu yang hikmat dan bijaksana. (Bersambung) selanjutnya http://filsafat.kompasiana.com/2014/05/22/sistem-demokrasi-caleg-juga-rugi-bag-2-658697.html http://filsafat.kompasiana.com/2014/05/22/sistem-demokrasi-caleg-juga-rugi-bag-3-658698.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H