“Berbeda tak harus saling membedakan…” Siang itu, pertengahan Oktober, internet LEMOT!!! Duh..., sungguh hari yang sangat mem-bete-kan. Meski speed lamban, saya pun iseng-iseng membuka berita website tentang kehidupan kaum marginal; Jompo Kolong Jalan Akan Ditertibkan. Dalam isi berita itu disebutkan, bahwa di bawah kolong jalan Tol Tanjung Priok-Bandara Soekarno Hatta KM 86, terdapat kehidupan kaum urban, yang dianggap 'mengotori' Ibu kota. Pemprov beranggapan bahwa kolong jalan adalah wilayah hijau, yang tidak boleh dipergunakan untuk tempat tinggal. Instruksinya; mereka harus dibersihkan! Terdorong oleh dogma; apa, siapa, di mana, mengapa, dan bagaimana? saya pun memutuskan untuk memotret sisi lain dari hiruk-pikuk kolong jalan Tanjung Priok ini. Ini menarik; di situ terdapat nasib ratusan urban yang mengadu nasib di Jakarta. Ada juga kehidupan anak-anak yang menantikan masa depan. Dan yang lebih ironis, terdapat 40-an nenek-nenek jompo yang hidup terlantar seorang diri. Mereka, 70-an KK, hidup bertahun-tahun di bawah bising mobil-mobil mewah yang melintasi jalan tol. [caption id="attachment_147005" align="alignleft" width="300" caption="jompo kolong jalan tol..."][/caption] Mata tinta saya tertuju kepada kehidupan nenek-nenek jompo. Nenek Dasma, Dasem, dan Darsem, sejenak saya mengenalnya. Nenek Dasma hidup sebatang kara. Umurnya sudah 73 tahun. Sudah 30 tahun tinggal di gubuk reyot beralaskan tanah liat. Jalannya membungkuk dengan kaki melepuh akibat luka bakar. "Asal saya Pemalang. Anak saya sopir metromini, sudah jarang nengok ke sini," ujar Nenek Dasma dengan nada paruhnya. Sembari menggaruk-garuk luka, Ia mengatakan untuk hidup hanya mengandalkan uluran tangan tetangga kiri-kanannya. Sedih rasanya... Ada juga Nenek Dasem dan Darsem. Ibu dan anak asal Indramayu ini, sudah 25 tahun tinggal di bawah jalan tol dengan kehidupan yang serba ada. "Ada uang, ya makan. Kalau tidak ada, ya minyak kayu putih dioleskan ke perut," tandas Nenek Dasem sembari terbahak. Nasib...nasib, timpalnya. [caption id="attachment_147008" align="alignright" width="300" caption="Nenek Dasem dan Darsem, jompo kolong jalan tol..."][/caption] Tidur beratapkan beton jalan tol. Berdinding triplek riyet, terbuka dan beralaskan tiker kusam. Kalau hujan, kehujanan. Tak jarang, mereka sakit-sakitan. Untuk hari-hari, Nenek Dasem mengandalkan barang bekas hasil mulungnya. Bila mujur, 10.000 rupiah ia kantongi. "Sepuluh ribu untuk makan berempat tidak cukup. Bisa makan sekali saja saya bersyukur," ujarnya pasrah. Meski dianggap salah, tapi mereka tak punya pilihan, selain bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Ironis memang. Saya bayangkan, bagaimana kesehatan mereka. Hidup dengan serba tak adanya asupan gizi. Tak semestinya nenek-nenek ini hidup terlantar tanpa perhatian dan kasih sayang, protesku...!!! [caption id="attachment_147009" align="alignleft" width="300" caption="Suster Cecillia melayani dengan ikhlas..."][/caption] Beruntung, di balik kepasrahan itu, ada sosok arif penerang kehidupan nenek-nenek jompo ini. Ia adalah Suster Cecillia. Wanita muda asal Malang, Jawa Timur, ini sudah 8 tahun mendedikasi diri dengan ikhlas tanpa pamrih sebagai penyambung harapan hidup bagi nenek-nenek jompo kolong jalan tol ini. "Kami ingin mereka (nenek-nenek jompo, red) mendapatkan kesehatan dan makanan yang layak," kata Suster Cecillia, yang saya temui usai mengantar makanan ke Nenek Dasma. [caption id="attachment_147010" align="alignright" width="300" caption="Suster Cecillia berbagi kemuliaan dengan Nenek Dasma..."][/caption] Setiap hari, pagi dan sore, dari kantor Pondok Ozanam, Suster Puteri Kasih Santo Vincentius a Paulo, di Papanggo IV, Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Ia plesiran ke kolong tol. Dari satu gubuk ke gubuk lainnya, suster Cecillia mengantar sepiring nasi lengkap dengan lauknya plus sayur-mayur, serta obat-obatan. "Biar para nenek-nenek ini sehat, tidak sakit-sakitan terus. Kasihan mereka...," kata sambil mengelus dada. Semuanya ia lakukan dengan ikhlas, tanpa imbalan sedikit pun. Hanya satu yang ia inginkan,"Nenek-nenek ini juga warga Negara yang berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Kalau bukan kita, siapa lagi yang memperhatikan mereka," tegasnya penuh semangat. Saya pun salut melihat kegigihannya. Ia, muda, energik, visioner, taat pada keyakinannya, serta lembut hati. "Saya membayangkan kalau ini terjadi pada orangtua atau nenek saya," tuturnya mengingatkan saya bahwa peduli sesama adalah indah dalam kehidupan majemuk ini. "Saya membantu tidak peduli latar belakang mereka dari keyakinan apa. Saya membantu dengan damai di hati," ujar Suster Cecillia tegas. Setuju..., seloroh saya! Buat apa kita masih terkungkung oleh dikotomi agama; muslim non muslim. Sedangkan, ikhlas membantu tidak mengenal istilah itu! Saya sepaham Suster... Niat mulia tidak bisa dikalahkan oleh angkuhnya keyakinan. Inti sari dari kisah ini, kalau menurut saya, membantu tidak perlu melihat latar belakangnya. Mengulurkan tangan bisa dilakukan dengan jiwa yang ikhlas. "Sampai akhir hayat saya akan terus melayani mereka dengan ikhlas," -Suster Cecillia- Ini patut dicontoh. MESKI BERBEDA TAK HARUS SALING MEMBEDAKAN. Tak harus saling mengedepankan ego. Saya berharap, Walikota Bogor, Diani Budiarto, membaca kearifan Suster Cecillia ini, bahwa berbeda tak harus bermusuhan, tak harus membenci. Bergandengan tangan lebih penting daripada kepentingan apapun. Sekian. Salam...(rizaldo, karpetmerah 071211)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H