Secara tegas, saya menuntut ketegasan komitmen pemerintah bagi perlindungan dan penghormatan, bagi tenaga kerja Indonesia, baik yang masih bekerja di luar negeri maupun yang mantan pekerja. Harus dan Wajib!!!
Mengapa saya pribadi, keras meminta tegas? Kami tidak ingin putra-putri bangsa pulang selepas mencari penghidupan di negeri orang pulang dengan kepiluan; tubuh dengan kecacatan permanen, tubuh dengan kerusakan sebagian organ, maaf, pulang dalam kondisi terbujur kaku di dalam peti mati. Itu yang tidak kami inginkan!!!
[caption id="attachment_207072" align="alignnone" width="300" caption="Winda Fitria, Korban kekerasan majikan Taiwan"][/caption]
Seperti apa yang dialami Winda Fitriah ini. Mantan tenaga kerja wanita (TKW) negeri Taiwan ini. Impian gadis asal Pamanukan, Subang, Jawa Barat ini, untuk meraup uang Taiwan, berakhir tragis pertengahan Maret 2009 silam. Saya saat kunjungi, akhir Oktober kemarin, mantan TKW ini menceritakan kisah pilu tersebut. Winda, anak pertama. Punya adik dua. Satu laki-laki, dan satu adik perempuan. Semua adiknya masih dalam masa sekolah. Kedua orangtuanya hanyalah bekerja sebagai buruh tani, baik saat tanam padi maupun panen. Keuangan keluarga, sangatlah tidak cukup.
[caption id="attachment_207073" align="aligncenter" width="300" caption="Winda, menunjukkan rontgen paha kiri dan pinggulnya"]
Berawal dari niat kuatnya ingin membantu perekonomian keluarga, ia bertekad mengadu nasib di luar negeri. Atas seizin kedua orangtua dan keluarga besarnya, Winda, yang ketika itu berusia 16 tahun, pun berangkat dengan semangat yang tinggi; mencari uang, kirim ke rumah, dapat menyekolahkan adik-adiknya hingga ke tingkat perguruan tinggi. Sangat mulia niatnya. “Pokoknya, saya ingin adik-adik menjadi sarjana dan bekerja di kantoran,” tutur Winda kepada saya.
Tahun 2005 Ia berangkat menjadi pembantu rumah tangga di negara Oman, Timur Tengah. Terbatasnya waktu istirahat, jam kerja yang melebihi 10 jam, serta perlakuan kasar sang majikan selama 2,5 tahun, membuat Winda tak betah bekerja pada keluarga yang temperamen. Tujuh kali Winda sempat kabur dari rumah sang majikan. Dengan dalih
tak becus bekerja dan bermalasan, awal 2008 Winda dipulangkan paksa sang majikan tanpa gaji selama dua tahun bekerja. KEJAM! “Sedih saya saat bekerja di Oman. Makan saja saya hanya diizinkan menggunakan indomie. Tidur pun hanya paling lama satu jam,” ungkapnya dengan menunduk.
Kisah sedihnya tak hanya berakhir di Oman. Tahun pertengahan 2008, Winda mendapat tawaran lagi dari calo/sponsor local desanya untuk bekerja di Taiwan. Pikirnya, Taiwan masih lebih baik disbanding Timur Tengah, dan upahnya cukup lumayan. Berangkat…bekerja sebagai perawat jompo, Winda bekerja dengan tertib. Bulan pertama, kedua, ketiga, gajinya sebesar 500 Dollar Taiwan, atau setara dengan Rp 2.100.000,- per bulan, ia kirimkan ke keluarga dengan hati berbunga-bunga.
Menginjak bulan keempat itulah, kisah miris mulai menderanya. Ia tanpa cukup waktu untuk beristirahat, merawat 4 jompo serta tiga anak pasangan dokter. Perlakuan kasar; rambut dijambak, tendangan, tamparan, makian, bahkan pelecehan seksual, hampir saban hari ia dapatkan. Merasa tak kuat, lantaran beban pekerjaan yang begitu besar, ia nekad melompat dari lantai 3 apartemen majikannya, 13 Maret 2009.
Tubuhnya tersangkut kabel listrik, dan terpental dengan posisi pinggul membentur keras aspal jalanan. Beruntung, nyawa Winda terselamatkan dengan tindakan cepat para medis rumah sakit pedesaan di Taiwan. Selama tiga minggu, ia terbaring kesakitan dengan paha kiri dipasangi pen dengan delapan baut panjang. Serta dipinggungnya tertanam pen sepanjang 20 cm, sebagai penyangga tulang pinggul yang retak dan patah.
[caption id="attachment_207076" align="aligncenter" width="300" caption="Pen delapan baut yang telah dicabut dari paha kirinya"]
Melalui lembaga swadaya Jaringan Anti Trafficking (JAT) Subang, Winda menuntut ganti rugi dan hak gaji yang tidak dibayarkan. Setahun berlalu, hak asuransi atas kerugian fisik telah dipenuhi pihak Taiwan. Uangnya dipakai untuk mencabut pen yang tertanam di paha kirinya. Sedikit lega.
[caption id="attachment_207077" align="aligncenter" width="300" caption="Winda menunjukkan surat upaya hukumnya menuntut keadilan bagi kesehatan tubuhnya"]
Kenapa tak dicabut? Tanya saya. “Di Subang tidak ada alatnya. Di Jakarta, kata dokter juga belum tentu bisa mencabutnya. Ini kan sudah ada di pinggung selama 4 tahun,” kata Winda didampingi Syaefuddin Zaelani, Ketua JAT Subang. “Kalau bisa dicabut, biayanya juga mahal. Saya dapat uang dari mana,” tegas Winda lirih.
Miris memang. Ketidakadaan biaya, membuat pen itu masih melekat di dalam pinggulnya. Untuk itu, JAT Subang bersama lembaga swadaya untuk keadilan migran Indramayu, Subang, dan Cirebon, selama 2 tahun ini berupaya keras menuntut keadilan bagi kehidupan pahlawan devisa asal Pamanukan ini. “Kami Cuma menuntut pemerintah ataupun pihak-pihak terkait untuk memberikan kesehatan yang normal bagi Winda. Minimal pen yang ada dipinggulnya dapat dicabut,” tegas Syaefuddin Zaelani, yang tiada lelah mendampingi Winda menuntut keadilan kesehatan tubuhnya.
Winda dan keluarganya berharap ada pihak-pihak yang rela membantu, ia juga berharap pemerintah memberikan perhatian lebih, kepada nasibnya. Paling tidak,” Pen di pinggul ini dapat dilepas. Itu saja sudah cukup bagi saya,” pinta Winda Fitria dengan nada paruh sedihnya. Sekian. Salam…(rizaldo, karpetmerah 20121101)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H