Mohon tunggu...
Rizaldo Maarief
Rizaldo Maarief Mohon Tunggu... profesional -

gemar menulis. bekerja pada bidang tulis-menulis. "kata-kata tidak mengenal waktu. kita harus mengucapkannya atau menuliskannya dengan menyadari akan keabadiannya..."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terbatas Bukan Halangan...

19 Desember 2011   05:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:04 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal September 2010 silam, saya bertemu Sapto Yuli Ismiarti di Dusun Krajan Tengah, Desa Wonokerto, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, ini. Ia lahir di Madiun 29 Juli 1973. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan wanita pada umumnya. Tapi, siapa sangka di balik senyum manisnya ini, Sapto Yuli, pernah mengalami kelemahan otot kaki akibat polio yang dideritanya sejak kecil.

Bertahun-tahun ia tak dapat menggerakkan kakinya. Berdiri pun tak bisa. Kalau ingin keluar rumah, ia harus menggunakan kursi roda. Sungguh penderitaan yang berkepanjangan. Belum lagi, perlakukan diskriminatif kerap ia alami.

[caption id="attachment_149745" align="alignleft" width="300" caption="Sapto Yuli dengan Kaki bantu... "][/caption] Kepada saya, Sapto Yuli bercerita; pernah suatu ketika, tahun 1997, saat Ia hendak melamar pekerjaan. Dengan menggunakan kursi roda, ia menenteng surat lamaran pekerjaan di sebuah pabrik tekstil. Tanpa mempersilahkan masuk ke ruang, oleh petugas keamanan ia langsung ditolak. Gara-garanya, iamemiliki tubuh tidak sempurna. Perlakuan itu, masya allah..., terus terjadi saat Ia mencari pekerjaan. Ia protes. Menangis, meratapi nasibnya!!!

Saya, yang duduk berhadapan dengannya pun berang mendengar kisah pahitnya itu. “ternyata orang-orang itu tidak memiliki hati nurani,” piluhku dalam hati. Di blocknote putih yang saya pegang, saya tulis besar-besar; Sungguh Tidak Manusiawi!!!!

Ia kembali meneruskan kisahnya. Lantaran sikap tidak manusiawi itu, ia dengan tegas tak akan patah arang. Sapto Yuli bangkit dari keterpurukan akibat polio paralisis spinal itu.

[caption id="attachment_149746" align="alignright" width="300" caption="Para penyandang cacat diberdayakan untuk mandiri..."][/caption] Dalam sikap berontak itu, dan berbekal keahlian menyulam dan menjahit, tahun 2004, uang hasil pembagian warisan orangtuanya Ia gunakan untuk membuka usaha kecil-kecilan; usaha jilbab dan kerudung sulam.

Dalam dua tahun, usaha kecilnya sudah mampu mengirimkan 8.000 jilbab ke Jakarta, Surabaya serta kota-kota lainnya. Perlahan, usahanya maju dan berkembang. Masih dengan sikap benci terhadap diskriminasi, Ia bersama sang suami, akhir 2006, membuka usaha bersama Karya Cacat Berkreasi (KCB) Anggrek.

Dengan ditopang besi alat bantu kaki, Ia menciptakan ruang usaha, membuka lapangan pekerjaan bagi 50-an penyandang cacat. Ada yang tidak memiliki kaki dan tangan kanan atau kiri akibat kecelakaan, ada pula yang terlahir kecil alias, maaf, bertubuh mini.

[caption id="attachment_149747" align="aligncenter" width="300" caption="Sapto Yuli memberikan motivasi kepada sahabat-sahabat difabel..."][/caption] “Saya ingin menunjukkan bahwa penyandang cacat juga bisa berkreasi dan mendapatkan penghasilan secara mandiri,” ujarnya sembari mengepalkan tangan sebagai tanda Ia menantang orang-orang yang dulunya meremehkannya. Bahkan, Ia juga telah merekrut  tenaga kerja dengan tubuh normal sebanyak 30 orang. [caption id="attachment_149754" align="alignright" width="300" caption="Aprillia dan Sinyo, mampu berkreasi dan mandiri..."][/caption] Kendati cacat fisik, masing-masing anggota KCB Anggrek memiliki keahlian khusus. Aprilia, misalnya. Perempuan asal Jawa Tengah dengan tinggi tubuh hanya 50 centimeter, yangmaaf..., kaki dan tangannya yang pendek itu, ternyata sangat piawai mendesain motif jilbab. Lestari dan Tarno, yang kedua kakinya cacat, sangat ahli menjahit. Begitu pula Sinyo. Pria keturunan tionghoa asal Cilacap ini, dididik oleh Sapto Yuli, dan akhirnya mahir menyulam. Mereka bekerja berkelompok, dengan maksud agar mereka saling membantu satu sama lain. “Saya ngak pingin teman-teman penyandang cacat hanya berpangku tangan, hanya pasrah menerima keadaan. Mereka harus diberi motivasi untuk bangkit dan maju,” tegasnya jelas.

Luar biasa...pujiku. Sungguh niat yang sangat mulia...sangat-sangat mulia. Rasa syukur tak henti-henti saya berikan kepada ibu tiga anak ini. Dengan kerja kerasnya, usaha jilbab dan kerudung karya penyandang cacat Pasuruan ini berkembang pesat. Pesanan mengalir terus. Bahkan, belakangan saya berkomunikasi melalui telpon, karya jilbabnya sudah laku terjual di Malaysia, Brunei, dan Arab Saudi.

[caption id="attachment_149749" align="alignleft" width="300" caption="Jilbab bordir, hasil karya sahabat-sahabat difabel KCB Anggrek..."][/caption] Harga jilbabnya bervariasi antara Rp 4.000 hingga Rp 50.000. Untuk kualitas, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sungguh kualitasnya bagus dengan desain motif sangat indah. “Kami ingin orang membeli bukan karena kasihan. Tetapi karena karya orang cacat ini memang berkualitas,” tandasnya.

Laba rupiah bukan segalanya bagi Sapto Yuli. Yang utama adalah, Ia dapat mengangkat derajat keterbatasan kemampuan tubuh menjadi kelebihan dalam tekad dan semangat maju bersama.

Meski berat, Ia terus bertekad menghapuskan sikap diskriminasi terhadap penyandang cacat. Penyandang cacat atau difabel juga tidak boleh rendah diri, sebab keterbatasan fisik bukan penghalang untuk menjadi usahawan.

Setidaknya, perjuangan Sapto Yuli ini dapat meningkatkan semangat para sahabat difabel. Semangat untuk bangkit. Semangat untuk mandiri dan maju. “Saya ingin kawan-kawan dapat berinisiatif meningkatkan kesejahteraan hidupnya,” ujarnya seraya menegaskan bahwa penyandang cacat memiliki kemauan besar dalam memandirikan dirinya sendiri.

[caption id="attachment_149750" align="aligncenter" width="300" caption="Sapto Yuli; "][/caption] Bagi saya, Sapto Yuli adalah Srikandi, pahlawan pembela penyandang cacat. Ia bekerja tanpa mengeluh, pantang menyerah, rela dicemooh, serta tegar dalam menghadapi segala keterbatasannya. Ia tulus berbuat, bahkan rela berkorban demi nasib para penyandang cacat. “Saya cacat, apa yang ada dalam diri ini, saya syukuri selamanya meskipun pahit rasanya...,” tegasnya.

Satu hikmah yang saya ambil; Meski terbatas, Ia, Sapto Yuli, berani memikul beban, mencintai garis hidupnya, serta bertanggung jawab atas nasib ratusan penyandang cacat. Satu pesan motivasi dari Sapto Yuli untuk para penyandang cacat seluruh Indonesia; “Cacat bukan halangan. Jangan mudah menyerah, jujur dan jangan mudah mengeluh. Tetap SEMANGAT.” Inilah harmoni kehidupan...

Semangat sahabat-sahabat difabel ini, patut kita contoh. Dan kita yang normal, termasuk saya pribadi, marilah jangan menganggap remeh sahabat-sahabat kita ini. Tanpa mereka, kita tidak tahu betapa hebatnya perjuangan hidup dengan segala keterbatasannya. So, JANGAN ADA LAGI DISKRIMINASI TERHADAP SAHABAT-SAHABAT DIFABEL...!!! Salam (rizaldo, karpetmerah 201211)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun