Sengaja saya post tulisan ini setelah pesta demokrasi selesai, saya tidak mau tulisan ini ikut serta mencuci otak teman-teman pembaca untuk ikutan Golput. Tulisan ini opini pribadi saya, tanpa dalil, hanya kicauan saya, jadi jangan di masukan kehati.
Setelah kita diserang berbagai campaign dari partai politik dan para caleg di minggu-minggu sebelumnya. Sampai hari saya datang ke TPU saya tetap memilih untuk golput, berikut alasan saya: 1.  Di Dapil Saya, Saya Tidak Mengenal Mereka (Caleg). Bayangkan, kita mau beli ponsel yang kita pakai untuk diri sendiri saja kita perlu kenal dulu kredibilitas brandnya, kadang walaupun brandnya bagus, kita juga masih perlu refrensi dari teman, melihat kredibilitas toko yang menjual dan lain sebagainya. Anggaplah brand itu adalah personal dari para caleg, klo saya tidak mengenal mereka bagaimana saya harus yakin mereka bisa menjalankan amanah? "Setidaknya kamu lihat kredibilitas partainya!" Data dan bukti yang nyata tersebar di internet. Search saja partai yang kadernya bermasalah? Ada partai yang benar-benar bersih? sayagak mau kasih link takut di kira balck campaign. "Itukan personal orangnya bukan partainya!" Anggaplah partai itu sebuah badan, bila kaki kita tersandung dan kesakitan, tangan harus ikut serta mengusap-ngusap, mulut ikutan nyengir kesakitan, atau bahkan ikutan teriak. Klo partai tidak bisa membina kadernya, ya jangan minta dipilih kembali. 2. Saya tidak suka "Hukum politik" Berikut saya kenalkan beberapa hukum politik yang ada di Indonesia khusunya. Untuk orang yang sudah pernah menedegarnya tidak ada salahnya mengingatnya kembali. - Politik itu yang teman bisa jadi lawan, yang lawan bisa jadi teman. Sayangnya di Indonesia masih banyak yang pake hukum ini. Ndak usah tinggi-tinggi di tinggkat nasional. Tingkat desa atau kelurahan saja. Klo ada 2 keluarga/kerabat kita yang ikut serta mencalonkan lurah, saat kita memihak kesalah satu diantara mereka, kita pasti dimusuhi salah satu dari yang lain. -Politik itu peserta barunya harus ikut aturan main peserta lam yang sudah ada. Banyak orang yang sebelum masuk ke dunia politik terlihat baik, seperti super hero yang bisa mengatasi banyak masalah, terlihat alim. Hingga saya terlena dan memilih dia saat pemilu beberapa tahun lalu. Nyatanya? Setelah dia duduk jadi pemimpin, banyak curhat, banyak ngeluh, kader partainya banyak yang korup, dia dan keluarganya bahkan diduga menggunakan anggaran negara untuk Campaign. Dalam kasus itu saya tidak sepenuhnya menyalahkan dia yang saya pilih. Tapi memang ada dalam hukum politik bahwa, "Kamu harus mengikuti aturan main para pemain lama, atau kamu disingkirkan dari kursimu." Di Tinggat daerah malah kasusnya lebih sadis, di Surabaya ada kepala daerah yang jujur, disuruh mundur dari jabatannya oleh partai yang mengusung dia, atau di daerah saya ada bupati tiba-tiba esok hari meninggal tanpa sebab yang jelas karena tidak menyetujui beberapa projek yang dianggapnya merugikan rakyat dan terlalu mahal biayanya. 3. Saya lebih suka meninggalkan hal yang meragukan, dari pada mengambil keputusan yang salah. Saya ragu dengan semua caleg dan partai yang ada saat ini. Itu sebabnya saya memilih golput. "Bearti kamu ndak dewasa, karena takut mengambil keputusan." Saya lebih suka dianggap pengecut oleh orang lain, dari pada saya sakit hati dengan orang yang pernah saya pilih yang akhirnya mengecewakan saya. Karena sakit hati itu sendiri dapat menyebabkan timbulnya fitnah, iri, dan pelbagai penyakit hati lainnya. Cukuplah 3 hal alasan ini yang menjadi alasan saya memilih golput. Saya masih pegang teguh pesan ayah saya setelah keluar dari dunia politik dulu. "Kalo ingin mendapat mendapat ketenangan hidup, jauhi dirimu, anak-anakmu nanti dari politik." Satu lagi, golput yang baik dateng ke TPS ya! Bukan cuma buat ngerumpi, tapi coblos bagian luar lebar suaranya agar tidak dipakai oleh pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H