Sirkulasi elit dalam kekuasaan memang menjadi keharusan dalam negara yang memproklamirkan dirinya sebagai negara hukum yang demokratis. Medium untuk mensirkulasi kekuasaan di Indonesia terfasilitasi oleh bentuk yang bisa kita kenal dengan istilah Pemilihan Umum. Fenomena ini dipresentasikan oleh T.B. Bottomore dalam bukunya "Elit dan Masyarakat" dengan cukup baik. Bottomore menjelaskan pentingnya kekuasaan tersirkulasi adalah untuk mendistribusikan kekuasaan agar tidak terjadinya kekuasaan yang berlebih "excessive of power".
Sirkulasi elite melalui kanal pemilihan umum pada hakikatnya merupakan sarana bagi warga negara agar dapat mengaktulisasikan Haknya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Pemenuhan hak warga negara untuk memilih dan dipilih merupakan bentuk dari Kedaulatan rakyat yang djamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang dimaknai bahwa rakyat memegang kedaulatan atau memegang hak untuk membuat keputusan-putusan publik dan membuat keputusan-keputusan politik.
Perlindungan terhadap hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum bagi warga negara merupakan Hak Konstitusional dan Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 25 Konvenan Hak Sipil dan Politik juga Pasal 41 UU Hak Asasi Manusia. Negara sebagai pemegang kewajiban "duty bearer" memiliki kewajiban untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak memilih dan dipilih yang dimiliki oleh setiap warga negara.
Pelanggaran terhadap hak konstitusional dan HAM tersebut termanifestasi dengan diangkatnya Al-Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten menggantikan Wahidin Halim yang sudah habis masa jabatannya pada tahun 2022. Agenda pemilihan umum serentak yang akan diselenggarakan tahun 2024 membuat terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah, sehingga memaksa Al-Muktabar untuk menjadi Penjabat Gubernur Banten sampai terpilihnya kembali Gubernur Banten pada pemilihan umum tahun 2024.
Pengangkatan Al-Muktabar oleh KEMENDAGRI pada 12 Mei 2022 menimbulkan problematika dalam kebijakan politik "political policy". Selaras dengan hal tersebut, pengujian konstitusionalitas Al-Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten perlu diuji dan dipertimbangkan. Mengingat Pengangkatannya syarat akan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara dan HAM untuk memilih dan dipilih. Jika diuraikan problematika tersebut antara lain :
Permasalahan yang pertama, belum tersedianya peraturan teknis mengenai pengangkatan Penjabat Kepala Daerah. Dalam proses pengangkatan Penjabat Kepala Daerah satu-satunya aturan hukum yang dijadikan sebagai dasar menimbang oleh Kemendagri dalam Pengangkatan Penjabat adalah pasal 201 ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah. Aturan ini menuai beberapa kritik hingga banyak diuji di Mahkamah Konstitusi karena dinilai tidak demokratis dan melanggar hak untuk memliih dan dipilih. Hal tersebut terjadi karena proses penunjukan Penjabat Kepala Daerah yang tidak memilki mekanisme yang jelas, akuntabel dan nirpartisipasi publik.
Mahkamah Konstitusi dalam perkembangganya mengeluarkan tiga putusan terkait pengujian terhadap pasal 201 UU PILKADA, yaitu Putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Nomor 18/PUU-XX/2022 dan Putusan Nomor 15/PUU-XX/2022. Ketiga putusan MK diatas walaupun amar putusan menolak permohonan para Pemohon seluruhnya, namun MK membuat batasan terkait pengisian penjabat kepala daerah, dalam pertimbangan hukumnya Putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan Nomor 18/PUU-XX/2022 MK menyatakan "pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menerbitkan aturan pelaksana dari Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang berisi syarat serta tata cara mengisi jabatan kepala daerah secara demokratis sesuai amanat konstitus"i. Namun pada kenyataannya hingga saat ini belum ada aturan pelaksana yang diterbitkan oleh pemerintah, sehingga dapat ditarik kesimpulan penunjukan Al-Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten yang dilakukan oleh Kemendagri melawan putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan "guardian of constitution".
Permasalahan yang kedua, adanya kecendrungan Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah berdasarkan selera Pemerintah Pusat. Senafas dengan belum tersedianya aturan teknis mengenai pengangkatan Penjabat Kepala Daerah, jika berkaca pada praktik yang sudah terjadi maka teknis pengangkatan Penjabat Gubernur dilalukan oleh Kementerian Dalam Negeri yang akan mengajukan 3 nama kepada Presiden yang akan menjadi calon Penjabat Gubernur dan setelahnya dengan pertimbangan Presiden akan memilih siapa yang dianggap paling tepat untuk mengisi jabatan tersebut.
Oleh karena keputusan final mengenai siapa yang akan menjadi Penjabat Kepala Daerah berada di tangan Presiden, pengangkatan Al-Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten syarat akan selera politik Jokowi Widodo sebagai Presiden saat ini. Tendensi subjektifitas Presiden dalam mengangkat Al-Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten tidak menutup perasaan cemas bagi masyarakat terkait adanya fenomena "deal-deal politik" yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Asumsi tersebut juga dilatarbelakangi oleh kepentingan Partai Politik Petahana untuk mengamankan suaranya pada Pemilu 2024 di Provinsi Banten.
Permasalahan yang ketiga, proses pengangkatan Penjabat Kepala Daerah merupakan tindakan maladministrasi. Berdasarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI tentang Dugaan Maladministrasi dalam Proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Nomor Register : 0583/LM/VI/2022/JKT menyatakan proses pengangkatan Penjabat Kepala Daerah bersifat maladministratif. Selain itu, dalam LAHP tersebut Ombusdman RI meminta kepada Presiden dan KEMENDAGRI untuk memperbaiki proses pengangkatan Penjabat Kepala Daerah juga menyiapkan naskah usulan pembentukan Peraturan Pemerintah terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah.
Pengangkatan Al-Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten memperlihatkan bahwa tidak adanya hak kepastian hukum bagi warga negara yang akan dipimpin oleh pemimpin tanpa mekanisme pemelihan yang demokratis. Selain itu, penangakatan tersebut, mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus tidak memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.