Hari kemarin adalah pelajaran untuk hari ini dan hari-hari berikutnya. Sebagai sebuah bangsa besar dan telah mampu melalui tantangan-tantangan yang ada, tentunya dengan berbagai kekurangan namun tetap saja kekurangan adalah tantangan untuk generasi selanjutnya. Apapun alasanya kita harus mengakui bahwa demokrasi kita masih berjalan maju kedepan jika kita berkaca pada orde lama ataupun orde baru, walaupun masih jauh dari sempurna. Pasca reformasi kualitas kontestasi politik pelan-pelan terus diperbaiki.
Politik dan Identitas Adalah Keniscayaan
Menurut teori klasik Aristoteles, pengertian politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik merupakan keniscayaan dalam kehidupan bersama, melalui politik setiap anggota masyarakat mengekspresikan sikap dan pandangan hidupnya. Ditingkat hilir politik menjadi sarana individu untuk menyatakan sikap dan pilihan politiknya, sementara dihulu politik membentuk berbagai aturan, kebijakan serta hal-hal penting untuk kehidupan bersama. Melalui keputusan politik berbagai aturan dibentuk, melalui politik harga-harga kebutuhan pokok terkait erat, melalui politik rakyat diperjuangkan atau dipermainkan untuk kepentingan segelintir orang.
Begitu juga halnya dengan identitas, identitas adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas merupakan keniscayaan, seseorang terlahir dalam suku a, b atau c dan beragama a, b atau c merupakan fakta yang harus diterima, dijalani dan diisi. Keberbedaan ini adalah kekayaan yang harus menjadi titik tumpu kemajuan sebuah bangsa bukan malah sebaliknya menjadi alasan untuk berpecah belah.
Politik Identitas atau Politisasi Identitas
Akhir-akhir ini sering sekali kita mendengar istilah politik identitas, banyak pro kontra tentang politik identitas telebih semenjak Pilkada Jakarta 2017 lalu. Apa sebenarnya politik identitas dan apakah yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bisa disebut sebagai politik identitas.
Menurut Stuard Hall politik identitas adalah proses sosial dan interaksi sosial yang dibentuk melalui sistem sosial bawah sadar manusia, sistem ini rejadi karena adanya ketidakpuasaan dalam menghadapi berbagai macam masalah sosial yang terjadi. Dari sini kita bisa mengartikan bahwa politik identitas berasal dari adanya kesadaran masyarakat terhadap penindasan, ketidakadilan kemudian menginginkan adanya perubahan dengan menjadikan identitas sebagai basisnya. Di Amerika misalnya, gerakan kaum kulit hitam yang dimotori oleh Martin Luther King berjuang untuk menjadi bagian integral identitas Amerika dimana sebelumnya identitas Amerika hanya menjadi milik kaum kulit putih yang mengakibatkan kaum kulit hitam selalu mendapatkan perlakuan diskriminasi di Amerika.
Namun yang terjadi di Indonesia akhir-akhir lebih kepada politisasi terhadap identitas yang ada. Dimana simbol-simbol menjadi titik pijakan, kemudian diikuti dengan narasi-narasi yang dibangun elit politik untuk melekatkan identitas tertentu kepada kontestan politiknya. Eksploitasi politik terhadap identitas menjadi persoalan serius dalam pemilu-pemilu terakhir, terutama politisasi terhadap umat Islam. Pilpres 2019 dapat kita jadikan pelajaran bagaimana politik identitas cukup mengkhawatirkan. Sendi-sendi persatuan kehidupan berbangsa benar-benar diuji. Berbagai narasi yang dibangun oleh elit politik untuk memenangkan pertarungan politik pilpres dengan mempolitisasi isu-isu Agama. Sehingga lebih jauhnya terbangun pemahaman ditengah masyarakat bahwa mendukung dan memenangkan calonnya adalah sebuah jihad agama, sehingga siapapun yang berbeda adalah musuh agama. Sehingga tidak sedikit dari masyarakat yang saling berbenturan baik secara fisik maupun didunia maya, bahkan ada yang harus berurusan dengan persoalan hukum.
Menjadi fakta telanjang dihadapan mata kita pasca pemilu dengan tensi yang cukup tinggi, sangat mudah setelah itu elit-elit politik yang bertarung melakukan rekonsiliasi alias bagi-bagi kursi. Kalau kita lihat kebelakang elit politik yang bertarung dalam satu pemilu adalah koalisi dalam pemilu sebelumnya dan tidak tertutup kemungkinan mereka berkoalisi dipemilu berikutnya, mungkin benar adagium yang mengatakan "tiada musuh dan teman abadi dalam politik kecuali kepentingan". Sementara masyarakat masih terjebak dalam pemahaman yang dibangun elit politik pada saat pemilu. Perdebatan dimedia sosial ataupun interaksi antar masyarakat masih diwarnai tentang sentimen pendukung calon a atau b.
Bagi elit-elit politik ini bukanlah persoalan, namun hanya peluang untuk memainkan peran dan citra seperti apa yang akan mereka bangun ditengah kondisi seperti itu. Bahkan sebagian elit politik terus melestarikan dengan sistematis politisasi identitas ini untuk kepentingan pemilu yang akan datang. Mereka lebih suka memainkan isu-isu perbedaan agama, suku, dan perbedaan-perbedaan lain yang yang langsung memicu emosional masyarakat. Sehingga politik bukan lagi menjadi pertarungan gagasan untuk membuat perubahan dan mencari solusi atas persoalan-persolan mendasar ditengah masyarakat. Masyarakat dibuat lupa tentang kehidupan ekonomi yang semakin sulit, melambungnya harga kebutuhan pokok serta sulitnya mendapatkan pekerjaan layak. Pandemi Covid 19 yang sudah berjalan 2 tahun mengubah banyak sendi kehidupan masyarakat adalah wacana-wacana harus menjadi perhatian serius elit politik.
Harapan terhadap semakin dewasanya masyarakat dalam menyatakan pandangan politik dan menggunakan hak politiknya dari pemilu ke pemilu menjadi sulit karena perilaku elit ini. Dua puluh tahun pasca kebebasan berpendapat benar-benar dibuka mestinya kita semakin dewasa dalam politik, sehingga pemilu benar-benar menjadi tangga untuk naik mencapai tujuan kehidupan berbangsa bukan malah sebaliknya mundur kebelakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H