Istilah identitas mulai dikenalkan dengan disertai peningkatan keteraturan dan kemudahan dalam serangkaian gerakan yang disebut dengan gerakan sosial baru yang muncul pada era 1960, setidaknya sebagian dari tanggapan berdasarkan kegagalan kampanye hak-hak warga sipil berbasis ras dan gender agar mendapatkan kedudukan kesetaraan penuh bagi kelompok yang tertindas.
Sementara itu perkembangan ide identitas memiliki peningkatan dimana identitas ini memiliki pengertian “pribadi” dalam konteks pemakaian, dapat dilihat bahwa infleksi yang berbeda dan nuansa dalam sejarah perkembangan ide memunculkan pengertian identitas dalam arti sosial,
yang mana mengekspresikan antara hubungan kesamaan dan perbedaan namun berbeda jauh dari arti penekanan kesatuan kelompok, hubungan, dan perasaan senasib atas perbedaan antar individu.
Penekenan seperti itu bukanlah hal baru di dunia politik berbasis kelompok, tanggapan mereka dalam istilah idiom identitas yang muncul merupakan bukti dari sikap mereka yang terpusat, ini dapat dilihat dalam perubahan dari hak-hak sipil menjadi politik pembebasan yang saat ini dikenal secara umum dengan julukan politik identitas (Moran, 2018).
Pada tahun 1970-an politik identitas menjadi fokus kajian bagi para ilmuan sosial di Amerika Serikat. Hal ini bermula pada saat kelompok minoritas, ras, gender dan kelompok lainnya merasa terasingkan. Isu keadilan ini menyadarkan kelompok yang terasingkan. Di Amerika Serikat persoalan ini banyak dialami oleh kelompok yang memiliki perbedaan ras,
contohnya seperti ras kulit hitam, keturunan Asia, dan lain-lain merasa terasingkan karena roda kapitalisme yang umumnya didominasi oleh golongan ras kulit putih. Fenomena ini menjadi wacana populer di Amerika Serikat pada saat itu.
Meskipun politik identitas lahir dari perlawanan terhadap ketidakadilan, namun dalam perkembangannya politik identitas mulai menggapai area yang lebih luas sehingga memulai pergerakannya ke arah persoalan agama, ras, dan suku. Sementara di Indonesia politik identitas lebih terikat dengan masalah agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan sepihak yang diwakilkan oleh para pemimpin dengan kekhasan masing-masing.
Undang-undang otonomi daerah memberikan ruang luas bagi politik identitas untuk berkembang, hal ini dapat dilihat dari janji-janji manis dari seorang calon pemimpin serta pemerataan pembangunan daerah,
serta sejak ditetapkannya amandemen tentang pemilihan kepala daerah secara langsung membawa sebuah perubahan dimana isu tentang identitas bukan hanya menjadi pembeda suatu unsur biologis maupun kebudayaan akan tetapi menjadi unsur patokan identitas politik kesamaan ras, etnis, dan agama semakin menguat.
Persoalan ini tidak bisa dipisahkan dari situasi sosial masyarakat karena masyarakat Indonesia yang mudah terpengaruh akan sistem pembeda suatu etnis sehingga para elite politik memanfaatkan itu sebagai senjata untuk memenangkan suatu kompetisi politik. Dalam pengaplikasiannya sendiri para elite politik atau aktor politik melakukan strategi politik identitas disaat yang tepat yaitu saat masa kampanye sehingga diperoleh hasil maksimal.
Kampanye merupakan suatu tindak komunikasi secara 2 arah antara komunikator atau aktor aktris politik dengan masyarakat yang biasanya dilakukan sebelum perhelatan pemilu, dalam hal ini masyarakat akan diberikan informasi tentang kelebihan dan rencana mendatang salah satu pasangan calon, sehingga masyarakat dapat mendukung, dan menerima pasangan calon.