Oleh : Rizal Fauzul Kabir.
"Orang Sakit Bisa Berobat ke Dokter atau Rumah Sakit"
"Orang miskin masih punya kesmpatan bekerja lebih giat untuk mendapatkan penghasilan lebih"
"Orang bodoh masih bisa untuk belajar"
"Tetapi orang yang tidak memiliki karakter ia tidak terselamatkan"
Kata-kata itu selalu terngiang dalam kepala saya, kala seorang pembicara guru besar pendidikan dari salahsatu kampus terkemuka.Â
Begitu pentingnya pendidikan karakter yang diceritakan oleh guru besar tersebut. sebagai pendidik tentu ini adalah teguran yang perlu dipikirkan. Bagaimana pendidikan karakter pada siswa sangat begitu penting untuk masa depan siswa saya. Â
Pendidikan karakter memiliki makna yang lebh dari pada moral, karena bukan hanya mengajaran mana yang benar atau mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan baik sehingga manusia tau mana yang tidak baik (salah).
Pendidikan karakter sesungguhnya bukan hal yang baru di Indonesia. Pendidikan karakter sudah sejaklama d ajarkan oleh guru-guru terdahulu. Bahkan sejak pendidikan di Indonesia ada, dengan Founder Ki Hajar Dewantara dengan menyatakatakan bahwa pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (karakter), daya pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh dipisahkan agar pendidikan dapat menumbuhkembangkan anak dengan sempurna.
Pendidikan karakter tidak hanya dapat kita dapatkan di sekololah ataupun di rumah tetapi bisa juga kita dapatkan dari cerita-cerita fiksi baik dari prosa maupun drama. Sastra sudah ada sejak lama mengajarkan karakter melalui tokoh-tokoh dalam cerita. Bagaimana kita dapat belajar menghormati orang tua dari kisah malin kundang. Bagi saya pribadi, cerita itu sangat membekas dalam kepala semenjak kecil sampai saat ini menjadi pribadi dewasa. Selain itu, kita juga bisa mempelajari bagaimana perjuangan pendidikan dari novel laskar pelangi melalui tokoh lintang. Dari sini tentu dapat disadari kekuatan cerita / sastra melakukan perannya mengajarkan pendidikan karakter pada pendengar atau pembacanya.Â
Namu, jika kita lihat hari ini dimana berbagai kasus kekerasan di Indonesia menunjukan adanya kemerosotan karakter kolektif, seperti tawuran antarsiswa, tawuran antardesa, perkelahian antarsuku, bahkan kekerasan antarpemeluk agama yang menojolkan egoisme kelompok, golongan, dan aliran masing-masing. Kepekaan sosial masyarakat semakin menipis, idividualisme dan egoisme semakin berkembang. Akibatnya, harmonisasi kehidupan bermasyarat semakin terancam, yang muncul adalah rasa tidak aman dan tidak nyaman, saling curiga, tidak peduli antarsesama, mudah tersinggung, dan hilangnya kepekaan sosial dan lingkungan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.Â
Apakah ini pengaruh pebaca sastra tidak sebanyak dahulu, selain itu, nampaknya pembelajaran di sekolah-sekolah juga pembelajaran sastra sudah tidak menjadi studi yang utama. dimana sekolah-sekolah saat ini hanya menekankan pada IPTEK. Apakah ini berpengaruh pada indeks karakter siswa kita yang menurun? Â Tentu untuk menjawab semua itu, butuh riset yang mendalam. Disini penulis hanya menuangkan pendapat atau opini yang menjadi keresahan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H