Jakarta (4/11) --- Matahari Pagi Indonesia (MPI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema "Dinamika Geopolitik dan Geostrategis Global serta Dampaknya bagi Ekonomi Maritim Indonesia" pada Senin (4/11) di kantor pusat MPI. Diskusi ini menghadirkan keynote speaker Admiral (Purn.) Prof. Dr. Marsetio, serta dihadiri oleh sejumlah pengurus besar MPI untuk membahas tantangan dan peluang dalam sektor kemaritiman Indonesia.
Ketua Umum MPI Sutia Budi menjelaskan bahwa FGD ini diadakan untuk memperluas pemahaman pengurus terkait isu-isu geopolitik yang berpotensi memengaruhi ekonomi maritim Indonesia. Menurut Sutia, pemahaman mendalam mengenai dinamika ini diperlukan agar Indonesia bisa bersikap proaktif menghadapi perubahan global.
Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak, pendiri MPI, menambahkan bahwa pemahaman masyarakat tentang isu maritim masih terbatas. Melalui kegiatan ini, ia berharap semakin banyak orang sadar akan pentingnya sektor maritim bagi kedaulatan dan kesejahteraan Indonesia.
Marsetio dalam pidatonya menyoroti posisi strategis Indonesia di kancah maritim dunia. "Secara demografi, Indonesia memiliki keunggulan dari sisi populasi, kultur, dan psikografi," ujarnya. Ia menambahkan bahwa letak geografis Indonesia yang mengapit jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar, dan Selat Lombok, menjadi aset penting dalam arus perdagangan internasional.
Namun, Marsetio menggarisbawahi bahwa infrastruktur dan keterampilan di Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk mengoptimalkan potensi ALKI. Ia menyebutkan bahwa kekurangan pandu yang andal dan berbahasa Inggris menjadi hambatan, dan pihaknya telah berdiskusi dengan Kementerian Perhubungan untuk menyusun program pelatihan terkait.
Dalam diskusi lebih lanjut, Marsetio menyinggung rencana Indonesia untuk bergabung dengan BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa). Menurutnya, BRICS dapat memberikan pengaruh besar terhadap geopolitik Indonesia, terutama dalam mengambil keputusan di kawasan Asia.
Marsetio juga menjelaskan beberapa potensi konflik global yang disebut "Potential Theater of War." Tiga zona konflik utama saat ini adalah antara Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, dan China-Taiwan. Ia menilai situasi ini sebagai ancaman yang dapat mempengaruhi stabilitas global, terlebih dengan isu-isu seperti proliferasi nuklir di Timur Tengah dan Asia.
China, lanjut Marsetio, memperkuat posisinya melalui proyek ambisius "One Belt One Road" (OBOR) dan "Belt and Road Initiative" (BRI), yang bertujuan menghubungkan jalur perdagangan global. Selain itu, China mempertegas klaimnya di Laut China Selatan dengan mengubah nine-dash line menjadi ten-dash line, sebuah langkah yang berpotensi mengancam batas wilayah beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Menurutnya, klaim China ini didasari potensi sumber daya laut yang melimpah di kawasan tersebut. "China tengah memposisikan dirinya sebagai pemimpin geostrategis dengan mengembangkan kekuatannya hingga Asia Tenggara," kata Marsetio.
Di sisi lain, Amerika Serikat juga aktif memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara dengan mengirim kapal induk di sekitar Samudera Pasifik bagian barat dalam rangka mengimbangi dominasi China di Laut China Selatan.