Mohon tunggu...
Rizal Maruf Amidy Siregar
Rizal Maruf Amidy Siregar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Manajemen Keuangan Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

Dosen Matakuliah Manajemen Keuangan di UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Literasi Keuangan dalam Menghadapi Pemilu

26 Januari 2024   15:20 Diperbarui: 26 Januari 2024   15:30 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
            Sumber: IMF, 2023, diolah.

Amandemen UUD 1945 menyaratkan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus menyediakan pendidikan dasar secara gratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketika UUD 45 menyaratkan hal tersebut, masyarakat pada umumnya belum mengetahui bahwa pendidikan dasar gratis adalah kewajiban yang melekat.
Fenomena ini banyak dikapitalisasi oleh para calon pemerintah daerah. Walikota Bogor terpilih pada pilkada 2004 menjanjikan jika dia terpilih, maka pendidikan dåsar di kota Bogor akan digratiskan. Banyak sekali warga Bogor yang mengaku memilih beliau pada saat pemilu dikarenakan oleh janji tersebut, tanpa menyadari bahwa hal tersebut adalah amanat undang-undang, siapa pun walikota yang terpilih. Strategi yang sama kembali dilakukan oleh orang yang sama pada tahun 2009. Dan lagi-lagi beliau kembali terpilih dengan hastag utama yang sama ketika kampanye: “pendidikan dasar gratis untuk seluruh warga kota Bogor”. Dengan demikian, dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2009, masyarakat Bogor tetap belum melek undang-undang. Dan saya yakin, fenomena yang sama banyak terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Dari paparan singkat di atas, kita dapat melihat bahwa ketidaktahuan (illiterate) masyarakat tentang amanat amandemen UUD45 bisa dimanfaatkan oleh para politikus untuk meningkatkan elektabilitasnya. Rendahnya literasi masyarakat juga bisa digunakan oleh para politikus untuk kampanye negatif, khususnya melawan petahana.
Sudah menjadi kebiasaan di negeri ini, setiap menjelang pemilu, khususnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Utang Negara menjadi topik yang banyak digoreng sebagai isu politik. Salah satu narasi yang banyak digunakan adalah seperti ini: “Utang Indonesia sekian ribu triliun, sehingga jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka setiap rakyat Indonesia berutang sekian ratus juta rupiah per jiwa”. Narasi ini selalu menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, minimal di kafe-kafe tempat saya pernah nongkrong (saya sudah nongkrong di ribuan kafe di Jawa-Sumatera).
Jika saya sedang dalam ‘mode pengajar’, saya akan menjelaskan ke teman-teman nongkrong saya “what is Country-Debt actually”. Mulai dari penjelasan sederhana sampai dengan penjelasan setingkat artikel terindeks Scopus Q1, tergantung siapa lawan bicara saya.
Penjelasan saya yang paling sederhana adalah sebagai berikut. “Utang Indonesia masih tergolong sangat sehat. Cek saja di google, Indonesia peringkat berapa jumlah Utangnya, kemudian cek juga, Indonesia di peringkat berapa penghasilannya (Produk Domestik Bruto – PDB).” PDB merupakan indikator yang lebih tepat dalam mengukur penghasilan suatu negara dibandingkan Produk Nasional Bruto (PNB). Karena PDB menggambarkan nilai seluruh produksi (barang dan jasa) di suatu negara. Sedangkan PNB lebih bermanfaat untuk melihat seberapa mampu rakyat suatu negara berwirausaha yang tersebar di seluruh dunia.
Jika ingin praktis, silahkan cari saja hasil penelitian badan internasional yang langsung membandingkan Utang Negara terhadap Penghasilan Negara masing-masing. Dalam waktu kurang dari 30 detik pencarian di dunia maya, kita dapat menemukan informasi perbandingan antara Utang Pemerintah suatu negara terhadap penghasilan pemerintah negara yang bersangkutan seperti tabel berikut:
Peringkat NegaraPerbandingan Utang terhadap Penghasilan Negara (PDB)


                                                                                     

                                                                          

Sebagaimana dapat dilihat dari tabel di atas, Indonesia tidak masuk dalam “10 besar negara dengan  pasak lebih besar daripada tiang”. Dari 10 besar negara tukang utang tersebut, hanya 1 negara (yunani) yang kondisi ekonominya terpuruk. Dengan kata lain, pada umumnya negara yang banyak utang adalah negara maju (sejahtera). Ha ini dapat dimaklumi, karena semakin produktif suatu negara, akan semakin banyak yang mau memberi pinjaman. Sambil berseloroh saya sering menutup penjelasan sederhana saya dengan pertanyaan; “jika kalian punya uang dingin 1 miliar, kalian memilih saya atau Raffi Ahmad untuk diberikan pinjaman?”.


Begitu juga dengan negara, Indonesia belum layak untuk memiliki Utang yang lebih besar daripada penghasilan.

Seandainya mayoritas warga Indonesia memahami utang negara secara sederhana, minimal seperti yang saya gambarkan, saya yakin masyarakat Indonesia tidak akan mudah dihasut mengenai Utang Pemerintah (Utang Negara). 

Bagaimana dengan penjelasan yang lebih akademis mengenai utang negara? Insya Allah akan saya bahas di lain waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun