HUKUM KELUARGA DALAM ISLAM
Dr.H. KN. Sofyan Hasan, S.H., M.H.
Pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan tentang buku Hukum Keluarga Dalam Islam dan bagaimana posisi hukum yang sangat penting bagi manusia yang di perumpamakan seperti air dan ikan yang mementingkan satu dengan yang lainnya. Dan dapat di ketahui juga bahwasanya hukum ada ketika adanya perkumpulan manusia dan di sini awal adanya manusia yang kita yakini bersama iyalah awal dari Nabi Adam As dan Istrinya beserta anak-anaknya, ketika itu terjadilah hukum keluarga yang di mana di dalamnya mempunyai hak masing-masing baik dari segi suami, isti maupun jugu anak-anaknya. Defenisi pernikahan sendiri dalam fiqih bisa berarti bergabung hubungan kelamin dan akad. Yang mana dpat di simpulkan bahwa hubunggan antara suami istri yang sah melalui akad nikah sedangkan dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 1 "perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa"
Kedudukan hukum perkawinan dalam islam sangatlah penting bagi manusia, karena dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai denhgan kedudukan manusia sebagai mahluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga juga dibina dalam suasana damai, tentram, dan rasa kasi kasayang antar suami istri dan anak-anak. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, di atur pula cara mengatasinnya. Dituntut pula adat sopan santun pergaulan dalam keluarga denaga sebaik baik agar keserasian hidup terpelihara dan terjamin.
Sumber hukum keluarga islam, sebagaimana yang terlah kita ketahui bersama bawasanya sumber hukum keluarga dalam islam itu adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasul, dan Ijtihad. Yang di mana dari ketiga sumber ini akan menjadi landasan bagi umat muslim untuk menjalakan hukum yang berlaku dalam islam. Dan dalam ketiga sumber ini juga sudah mencakup fiqih, tasauf dan sebagainya.
Dapat kita ketahui bersama bahwasanya dalam buku ini juga di bahas menggenai apa-apa yang berhubunggan dari mulai persiapan perkawinan seperti dalam memilih jodoh, dan adapun yang pokok dalam pemilihan jodoh adalah karena kecantikan dan kegagahan dan adapun yang terpenting adalah ke agamaannya. Kemudian adapun itu peminanggan yang memiliki fungsi untuk lebih mengguatkan dan dapat saling menggenal satu sama yang lainnya.
Di dalam buku ini juga di atur bagaimana syarat-syarat yang harus di penuhi dalam hal syarat tersebut meliputi laki-laki dan perempuan yang mana sama-sama islam, tidak terlarang melakukan perkawinan, mencapi usia, dan setuju. Dapat kita ketahui bahwasanya di negara kita ini Indonesia mempunyai minimal usia untuk melangsungkan perkawinan adalah usia sembilan belas tahun seperti yang terterai dalam UU perkawinan pasal 7. Dan adapun juga tentang aturan menjadi wali juga di atur dalam buku ini di karenakan kedudukannya sangat penting sehingga apabila orang melakukan pernikahan tanpa wali itu akan di anggap tidak sah. Dan di dalam perkawinan juga kita tidak terlepas dari yang namanya saksi yang di mana di dalam buku ini akan di jelaskan bagai mana menjadi saksi dan apa aja syarat-syarat yang harus di penuhi untuk menjadi saksi dalam pernikahan. Trus di di sini juga ada dalam pembahasan mahar bagaimana bentuk mahar, apa yang terjadi jika mahar kurang, boleh kah tidak mentebutkan mahar dan adalagi yang banyak fi dapat dalam buku ini menggenai mahar, dan adapun hukum melaksanakan mahar ini adalah wajib dalam ajaran islam yang kita anut masing-masing.
Di dalam buku ini juga membahas hawa adasanya putusnya perkawinan atau bisa di bilang perceraian. Putusnya perkawinan merupakan istilah yang di gunakan dalam UUP No,1 Tahun 1974 yang di mana ini bertujuan untuk menjelaskan "perceraian" adapun hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan seperti halnya nusyus istri (istri durhaka kepada suami), nusyus suami (suami durhaka kepada ALLAH), dan syiqaq (pertentangan).
Setelah pemutusan perkawinan maka akan ada akibat dari pemutusan tersebut seperti mereka menjadi saling asing, adanya kompensasi, dan melunasi hutang. Dalam hal lain buku ini juga menjelaskan bagaimana Iddah (masa tunggu bagi istri) dan tentang Ruju (kembali). Ditambah buku ini terdapat pula pasal-pasal yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan perkawinan
Setelah melalui proses terjadinya putusan perkawinan atau yang di namakan dalam hukum adalah perceraian, maka akan ada akibat dari pemutusan tersebut seperti mereka menjadi asing saling merasa bener sendiri, dan sebagainya di keadaan itu juga mereka akan saling melunasi apa yang wajib untuk mereka melunasinya bersama maupun pribadi, karena ada harta yang di bawa sebelum menikah dan itu akan menjadi hak milik, dan ada juga harta yang di dapat sesudah menikah dan itu adalah harta bersama. Dalam hal ini juga buku ini menjelaskan tentang iddah (masa tungggu bagi istri) yang di mana iddah ini terjadi setelah terjadinya talak, dan dalam setiap talak bisa ada iddahnya. Dan tentang ruju (kembali) yang di mana ini juga akan terjadi dalam setiap talak yang di lakukan, jika kedua belah pihak sudah saling memaafkan antara satu dengan yang lainya tanpa harus nikah terlebih dahulu kepada orang lain lalu menikahinya setelah janda dalam pernikahan tersebut baru boleh menikahinya kembali itu terjadi ketika terjadi talak tiga yang telah fiks akan talaknya. Dalam buku ini juga terdapat yang megatur dalam pasal-pasal yang menjelaskan tentang perkawinan.
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
Dapat kita ketahui dahulu bahwasanya pengertian perkawinan di kalangan ulama Syafi'iyah rumusan yang bisa kita ambil adalah akat atau perjanjian yang mengandung maksut membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja. Maksut lafaz tersebut di sini adalah bahwa akat yang membolehkan hubungsn kelamin antara laki-laki dan perempuan, karna dalam kata tersebut sudah mengandung  tanggung jawab dan hak antar kedua belah pihak. Dan di simpulkan dalam buku ini pernikahan itu ialah ikatan lahir batin antar seorang peria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa
Hukum melakukan perkawinan menurut ulama Syafi'iyah secara rinci mengatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut. Pertama Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin, dan dia telah mempunyai perlenmgkapan untuk melangsungkan perkawinan. Kedua Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada, begitu pula iya telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka, dan dan kekurangan fisik lainya. Dan masi ada pendapat ulama yang lain yang belum di sebutkan, yang masing masing-masing mempunyai tujuan dan hikma perkawinan.
Rukun dan syarat perkawinan, berdasarkan pendapat, rukun dan perkawian itu secara lengkap adalah sebagai berikut pertama calon memplai laki-laki dan perempuan. Kedua wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawian. Ketiga dua orang saksi. Keempat ijab yang di lakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami. Dan adapun syarat perkawinan adalah pertama keduanya jelas identitasnya. Kedua sama-sama beragama islam. Ketiga antara keduanya tidak terhalang melangsungkan perkawinan. Keempat kedua belapihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang menggawininya dan saya menambahi di sini tanpa ada unsur paksaan. Keliama keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai di atur dalam UU perkawinan pada pasal 7 dengan rumusan sebagai berikut yang pertama perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kedua dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Di sini juag di jelaskan tentang wali dalam perkawinan yang di mana seorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak di lakukan oleh wali. Di sini wali di tempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut pendapat para ulama secara prinsip. Orang-orang yang berhak di jadikan wali ada tiga, yang pertama wali nasab yaitu wali berhubunggan tali keluarga dengan perempuan yang akan kawin. Kedua wali mu'thiq yaitu orang ysng menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang di merdekakannya. Ketiga wali hakim yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa. Adapun di sini di sebutkan tentang jumhur ulama yang terdiri dari Syafi'iyah, Hambaliyah, Zhahiriyah, dan Syi'ah Imamiyah membagi wali dalam dua kelompok yaitu pertama wali dekat atau wali qarib, yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak tergadap anak perempuan yang akan di kawininkannya. Kedua wali jauh atau wali ab'ad yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu.
Adapun di sini ab'ad adalah sebagai berikut yang pertama saudara laki-laki kandung, jikalau tidak ada pindah ke pada. Kedua saudara laki-laki seayah, jikalau tidak ada pindah kepada. Ketiga saudara laki-laki kandung, jikalau tidak ada pindah kepada. Keempat anak saudara laki-laki seayah jikalau tidak ada pindah kepada. Kelima paman kandung jikalau tidak ada pindah kepada. Keenam paman seayah jikalau tidak ada maka pindah kepada. Ketujuh anak paman kandung jikalau tidak ada maka pindah kepada. Kedelapan anak paman seayah. Kesembilan ahliwaris kerabat lainya kalu ada
Urtan hak kewalian, jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masi ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masi ada, walih yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali. Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab'ad menurut urutan tersebut di atas.
Dan adapun syarat-syarat menjadi wali yaitu telah dewasaa dan berakal sehat dalam arti kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum, dan ini lebih jelasnya yang pertama laki-laki tidak boleh perempuan menjadi wali. Dalilnya adalah hadis Nabi dari Abu Hurairsh. Kedua muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim. Ketiga orang merdeka. Keempat tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kelima berpikiran baik, orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena di khawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut. Keenam adil, dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara sopan santun. Ketuju tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
Saksi, keberadaan saksi dapat di ketahui dari dasar hukum keharusan saksi dalam akad pernikahan menurut Al-Qur'an dan beberapa hadis yaitu surat Al-Thalaq ayat 2 dan adapun hadis yang megatakannya sebagai berikut sabda Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Tirmizi sabda Nabi, "pelacur-pelacur itu adalah orang yang menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya saksi." Adapun syarat syarat untuk menjadi adalah berjumlah paling kurang dua orang, kedua saksi itu beragama islam, kedua saksi itu adalah orang yang merdeka, kedua saksi itu adalah laki-laki, kedua saksi itu bersifat adil, kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
Penggertian mahar dapat kita ketahui dalam kamus besar bahasa indonesia, mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika di langsungkan akad nikah. Dan di sini juga ada penyebutan mahar dalam bahasa arab disebutkan ada delapan nama yaitu mahar, nihlah, shadaq, faridhsh, hiba', ujr, 'uqar, dan alaiq.
Mahar, hukum taklif dari mahar adalah wajib, artinya laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menterahkan mahar kepada istrinya dan berdosa suami yang tidak memberikan mahar kepada istrinya, yang di lakikan ketika akad nikah. Setelah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dikerjakan ataupun di laksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsunggan hidup perkawinan. Dasar wajibnya menyerahkan mahar di tetapkan dalam Al-Qur'an dan dalam hadis Nabi. Dalil dalam Al-Qur'an adalah firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 4 dan ayat 24. Macam-macam mahar dari segi di jelaskan atau tidaknya mahar pada waktu akad nikah, mahar ada 2 macam yaitu yang pertama, mahar yang di sebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad, di sebut mahar musamma. Ini merupakan mahar yang umum dalam perkawinan. Kedua bila mahar tidak di sebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang di terima oleh perempuan lain dalam keluarganya.mahar ini di sebut mahar mitsl. Mahar mitsl ini di wajibkan dalam 3 kemungkinan pertama dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya. Kedua suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang di tentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras. Ketiga suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat di selesaikan. Â
Pergaulan suami istri sebelum penyerahan mahar, setelah berlangsungnya akad perkawinan, maka secara hukum suami telah halal bergaul dengan istrinya. Namun suami wajib membayar mahar meskipun baru di berikan separunya. Jumhur ulama berpendapat bahwa sebelum istri menerima pendahuluan mahar yang di tetapkan ia boleh menolak memberikan hak-hak suami seperti bergaul dan melakukan hubungan kelamin, karena mahar itu adalah haknya dan sebelum haknya itu di terimanya iya boleh tidak menjalankan kewajibannya. Menurut ulama Hanafiyah, bila suami tidak dapat memberikan mahar yang di tentukannya, istri tidak dapat menuntut batalnya perkawinan. Ulama malikiya berpendapat bahwa bila suami tidak sanggup membayar mahar iya tidak di paksa membayarnya, tapi di tunggu sampai ia berkelampangan untuk membayarnya.
Hilang atau rusaknya mahar, menurut ulama Hanafiyah, bila mahar rusak atau hilang setelah di terima oleh istri, maka secara hukum suami telah menyelesaikan kewajibannya secara sempurna dan untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab istri. Bila ternyata istri putus perkawinannya sebelum bergaul, maka kewajiban suami hanya separuh dari mahar yang di tentukan. Â
Bentuk dan jenis nilai mahar, umumnya mahar dalam bentuk materi, baik berupa uang ataupun barang berharga lainya. Namun syariat islam memungkinkan mahar dalam bentuk jasa dalam melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini lsndasannya ada dalam Al-Qur'an dan juga hadis Nabi. Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam Al-Qur'an adalah menggembangkan kambing selama delapan tahun sebagai mahar perkawinan seorang perkawinan (hal ini terdapat dalam surat Al-Qashash ayat 27)
 Bila mahar itu dalam bentuk barang maka harus memenuhu beberapa syarat yaitu yang pertama jelas dan di ketahui bentuk dan sifatnya. Kedua barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti di miliki zatnya dan memiliki pula manfaatnya. Bila hanya satu yang memiliki maka tidak sah di jadikan mahar. Ketiga barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk di perjualbelikan dalam arti barang yang tidak boleh di perjual belikan tidak boleh di jadikan mahar, seperti minuman keras daging babi, dan bangkai. Keempat dapat di serahkan pada waktu akad atau pada waktu yang di janjikan dalam arti barang tersebut sudah berada di tanggannya pada waktu di perlukan.
PUTUSNYA PERKAWINAN
Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwasanya putusya perkawinan adalah istilah hukum yang di gunakan dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 untuk menjelaskan "perceraian" atau berakirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang selama ini hidup dalam hubungan suami istri. Di sini di jelaskan tentang anti sipasi terhadap putusnya perkawinan seperti Nusyus Istri artinya menggangkat drajat Istri dan Nusyus suami menggangkat drajat suami, dan ada juga Syiqaq yang mempunyai arti pertentanggan. Biasanya timbul karena suami istri tidak melakukan kewajiban yang di pikulnya. Dan di buku ini juga di jelaskan tentang bentuk-bentuk putusnya perkawinan, macam-macam talak, khulu yang mempunyai artinya suami adalah pakaian untuk istri begitu juga sebaliknya, fasakh yang mempunyai arti membatalkan, zhihar yang mempunyai arti punggung maksunta di sini adalah menyamakan istrinya dengan yang mahronmya seperti ibu ataupun saudara kandungnya, ila artinya tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah atau sumpah, Li'an yang mempunyai arti saling melaknat.
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Akibat putusnya hukum perkawinan maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah pertama hubungan antar keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri. Kedua keharusan memberi mut'ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang di ceraikannya sebagai suatu kompensasi. Ketiga melunasi utang yang wajib di bayarnya dan belum di bayarnya selama masa perkawinan baik dalam bentuk mahar ataupun nafaqah begitu pula mahar yang harus di lunasinya setelah bercerai. Keempat berlaku atas istri yang di cerai ketentuan iddah. Kelima pemeliharan terhadap anak atau hadhanah. Setelah demikian ada juga yang namanya iddah (masa tunggu bagi Istri) dan hadhanah (pengasuan anak).
RUJU'
Ruju' dalam istilah hukum di sebut raj'ah yang artinya kembali, orang yang ruju' kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya. Hukum ruju dengan demikian sama dengan hukum perkawinan, dalam mendudukan hukum asal dari ruju' tersebut. Tujuan dan hukmah yang dapat di ambil dari ruju' ini adalah setiap manusia pasti mempunyai gelombang hati yang dimana terkadang itu akan menimbulkan rasa benci kesal dan begitu juga sebaliknya dalam hal inilah ruju' sebagai pemaaf tentang apa yang telah terjadi sebelumnya, akan tetapi ruju' juga mempunyai rukun dan syarat yaitu pertama laki-laki yang merujuk. Kedua perempuan yang di ruju'. Ketiga ada ucapan ruju'. Dan Keempat ada kesaksian dalam ruju'. Pegertian seterusnya dari lembaran buku ini adalah tentang pasal-pasal yang menggenai  hukum perkawinan yang di kaji dalam UUD 1945 dan di terapkan dalam UU yang nanti akan menjadi beberapa pasal dan dapat kita jalan kan sesuai peraturan pemerintahan pada waktu sekarang ini, mungkin cukup sekian penjelasan yang dapat saya sampaikan dalam buku ini kurang dan jangalnya sama mohon maaf atas kesalahan terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H