Rumput-rumput pun kering, daun-daun jatuh berguguran, sesekali angin bertiup kencang, membuat debu jalanan berterbangan. Musim kemarau berkepanjangan, panas matahari terasa begitu menyengat, sehingga warga desa pun enggan untuk keluar rumah.
Jalanan begitu lengang, namun seorang pemuda berseragam terlihat berjalan bergegas menyusuri sepinya desa Rangkat siang itu.
Kakinya melangkah cepat, seirama dengan gerakan tangan, melawan teriknya matahari.
Baju seragam yang di pakainya tampak sudah mulai kusam, maklum saja sudah setahun baju itu melekat di badan, apalagi seragam itu adalah baju warisan, dari sang Komandan Hansip, Thamrin Dahlan.
Pentungan yang ada dipinggang, pun tak lebih baik bentuknya, sudah lecet disana-sini, padahal pentungan itu sudah sangat berjasa, tak terhitung berapa maling, copet, jambret dan rampok yang pernah merasakan pukulan pentungan istimewa itu.
Sesampainya di depan rumah Pak RT Ibay, yang kata orang suka lebay kalau sudah bertemu gadis Rangkat, pemuda itu berhenti. Ragu-ragu Ia mengentuk pintu, karena rumah tampak sepi, yang terdengar hanya burung ciblek, yang tergantung dalam sangkar di depan teras. Itulah satu-satunya burung milik Pak RT, burung yang paling disayang dan dipelihara dengan baik oleh Bu RT.
"Silahkan masuk mas," akhirnya Bunda Selsa membukakan pintu.
"Duduk sebentar ya, saya panggilkan pak RT"Â Â "Terimakasih bunda, koq tau saya nyari Pak RT?"
"Ya taulah mas, biasa kan warga klo ke sini, yang dicari pak RT"
Tak lama, setelah bunda Selsa masuk kedalam rumah, Pak RT pun keluar menemui mas Hans.