Kalau bukan urusan yang penting bagi hidupku tak mungkin aku sampai disini. Di sebuah desa di lereng kaki Merbabu. Melewati jalan berbatu, sungai dan hutan pinus di kanan-kiri yang mengiringi sepanjang perjalananku. Keringat yang keluar dari tubuhku sudah seperti lumpur lapindo saja. Tapi aku tak mau menyurutkan langkahku.
Tengah hari aku baru sampai. Tak sulit bagiku untuk menemukan tempat dimana Eyang Barja tinggal. Namanya sudah sangat terkenal di dusun itu hingga tak ada orang yang jika ditanya tentangnya menggeleng tak mengerti. Orang-orang dusun itu sudah paham bahwa Eyang Barja adalah orang sakti yang sering dimintai pertolongan untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan. Tamunya tidak hanya penduduk desa saja. Tetapi juga orang-orang kota. Bahkan banyak pejabat daerah dan pusat juga sering sowan kesana.
“Nakmas kesini ada maksud apa?” Tanya Eyang Barja kepadaku setelah membiarkan aku beristirahat beberapa saat. Dia menemuiku di pendapa rumahnya. Rumah yang sederhana karena terbuat dari kayu-kayu hutan tetapi tetap mengesankan aura tersendiri pemiliknya.
Aku bercerita masalahku panjang lebar.Kakek tua itu mendengarkan kata-kataku dengan seksama sambil menghisap rokok klobotnya. Aku berapi-api berbicara. Tapi di akhir cerita suaraku melemah. Parau. Ada kesedihan tergurat disana.
“Jadi maksud Nakmas kemari, Nakmas ingin supaya gadis itu menjadi milik Nakmas?”Tanya Eyang Barja lagi kepadaku.
“Begitulah, Kek.”
“Nakmas sudah siap dengan resiko yang bakal Nakmas tanggung?”
Aku diam. Menebak kemana arah pembicaraan orang tua itu.
“Maksud kakek bahwa perbuatan Nakmas ini dosa. Jangan sampai Nakmas membebankan dosa itu pada kakek. Kakek hanya sebatas membantu nakmas. Apakah nakmas sudah siap?” Eyang Barja menjelaskan maksud kata-katanya tadi.
Keraguan sempat menyelinap dalam diriku. Kata-kata Eyang Barja tentang dosa mengembalikan ingatanku tentang pelajaran agama yang pernah aku pelajari di sekolah dulu. Meskipun aku kini jarang ibadah tetapi akumasih tetap mengakui adanya Tuhan. Aku masih percaya tentang adanya surga dan neraka. Dalam hal ini aku ingatkata-kata seorang ustad di televisi yang menjelaskan bahayanya perdukunan. Bahwa ibadahnya tidak akan diterima selama 40 hari.
Setan mungkin telah begitu mendarah dalam dagingku. Bayangan tentang dosa itu lenyap digantikan seringai wajah Ambar. Wajah yang selalu menghiasi hari-hariku. Tapi juga menorehkan luka dalam hatiku. Mengingat kepahitan yang saat ini kurasakan rasanya resiko apapun akan siap kutanggung.
***
Di coffe biru, tempat aku biasa melepaskan lelah sepulang kerja Martono menemuiku. Kami duduk di sudut ruang mencari tempat yang agak tersembunyi agar tak mudah dilihat orang. Kami telah berteman sejak lama. Sejak pertama kali aku bekerja di sebuah perusahaan otomotif kami menjalin hubungan pertemanan. Kami hanya beda bagian saja. Aku di bagian gudang, sedangkan Martono di marketing.
Kedekatan kami sudah seperti saudara saja. Dimana ada Martono disana pasti ada aku. Kami saling bantu jika ada kesulitan yang menimpa salah satu dari kami. Apa yang menimpa Martono seperti juga menimpa aku. Demikian juga sebaliknya. Termasuk ketika aku patah hati dengan Ambar, Martonopun tampak sedih.
Karena kasihan melihatku yang tampak murung terus-menerus, Martono menawarkan sebuah solusi. Solusi yang menurutku gila. Martono menyuruh aku ke orang sakti. Ia kenal salah seorang sakti hebat yang tinggal di lereng gunung Merbabu.
Mulanya aku ragu. Sejak aku kecil hingga dewasa seperti sekarang ini sekalipun aku belum pernah berurusan orang sakti, dukun, paranormal atau apalah namanya. Musrik kata orang tuaku. Tapi karena desakan Martono yang terus-menerus dibumbui kata-katanya yang manis maka kuterima juga solusi gilanya itu.
Berbekal alamat serta denah yang Martono berikan akupun berangkat sendiri ke lereng gunung Merbabu.
“Bagaimana hasilmu kemarin. Berhasilkah?” Tanya Martono tak sabar begitu pantat kami menyentuh ke kursi.
Aku memesan dua minuman dingin sebelum menjawab pertanyaan Martono. Aku keluarkan sebotol air dari dalam tasku.
“Ini hasilnya.”
“Apa ini?”
“Ini pemberian Eyang Barja kepadaku. Ia suruh aku meminumkannya pada Ambar. Maka gadis itu akan takluk padaku.” Kataku menjelaskan sambil meneguk minuman dinginku.
Martono tersenyum. Senyum yang aku sendiri tak tahu. Entah senyum bahagia atau apa. Matanya sebentar terpejam sambil mengoyang-goyangkan kepalanya yang tak berat. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu.
“Begini saja. Air ini biar menjadi urusanku. Aku yang akan merekayasanya agar Ambar mau minum air ini.”
Aku tak bisa mengatakan tidak dengan tawaran Martono. Lagi pula ada benarnya juga ucapannya. Tentu Ambar akan curiga apabila aku sendiri yang langsung memberikan air itu padanya. Tapi dengan Martono?. Martono memang cerdas, pikirku.
Di dalam hatiku, tumbuh rasa bangga juga karena mempunyai teman yang sebaik Martono. Martonopun mungkin tak mau tanggung-tanggung menolong sahabatnya. Aku. Ia ingin membantuku hingga tuntas. Bukankah memang Martono sudah berpengalaman dalam hal ini. Paling tidak, ia sudah sekali merasakan kehebatan Eyang Barja.
Kakek tua itu telah berjasa pada keluarga Martono. Menutupi aib yang akan mencoreng kehormatan keluarganya. Adiknya yang baru lulus dari Sekolah Menengah Atas kedapatan hamil. Pelakunya yang tak lain seorang pejabat di kecamatan berusaha menghindar dan tidak mau bertanggung jawab akan ulahnya itu. Adiknya stress dan hampir gila. Martonopun meradang. Ia pergi ke lereng gunung Merbabu minta pertolongan Eyang Barja. Entah apa yang dilakukan orang sakti itu. Esoknya pejabat kecamatan itu muntah darah. Untung ia cepat menemui Martono untuk minta maaf atas segala tindakannya. Dan yang lebih penting mau bertanggung jawab dengan keadaan adiknya. Terlambat sebentar saja, Martono akan mengirim lelaki itu ke liang kubur.
Maka sesuai kesepakatan Martonolah yang bertanggung jawab dengan pesan Eyang Barja yang diberikan kepadaku. Katanya aku disuruhnya menunggu. Ia akan mencari akal dulu supaya air itu bisa terminum Ambar tanpa curiga sedikitpun.
“Berilah aku waktu dua atau tiga hari.” Janji Martono ketika hendak pergi meninggalkanku. Ditinggalkannya aku sendiri di café itu. Aku hanya memandanginya hingga hilang dari pintu sambil membawa botol air keberuntunganku.
“Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar.” Bisikku dalam hati.
***
Sejak pertemuan terakhir dengan Martono, aku selalu gelisah. Gelisah menunggu kepastian. Waktu yang biasanya seperti pesawat tempur kini begitu sangat lambat. Seperti mengiringi seekor keong yang berjalan di atas pasir.
Malam-malamku adalah malam-malam penantian. Malam seekor pemburu yang menunggu hewan buruan masuk ke perangkap. Untuk kemudian menembaknya demi sebuah kepuasan.
Imajinasiku jadi melayang kemana-mana. Ditiup angin puting beliung hingga menerbangkan aku dari tanah kenyataan. Wajah Ambar yang mempesona bulan purnama membuatku untuk tak bosan menunggu dan menikmati keindahannya.
Seperti sebuah pita seloid semua memori yang terekam terputar kembali. Melintas sangat jelas di atas kepalaku. Begitu nyata gambaran Ambar. Senyumnya yang merekah indah. Rambutnya yang tergerai angin lincah. Caranya berbicara. Gaya berjalannya. Dan semuanya…ah tak kuasa aku untuk mengambarkan semua detil tentang dirinya dalam baris kata-kata.
Sekitar lima bulan yang lalu. Aku ingat hari itu adalah undangan ulang tahun Dyah. Temanku sewaktu SMA. Rasa suka yang pernah Dyah pendam padaku dulu tak melupakan diriku dalam hatinya walau kami sekarang jarang bertemu. Tapi kami seiring menyapa lewat sms atau telepon. Aku datang bersama Martono. Saat itulah aku mengenal Ambar.
Dari Dyah kukorek semua keterangan tentang Ambar. Meskipun dari cara ia menyampaikan sebenarnya aku tahu jika Dyah tak senang dengan maksudku. Dyah memang masih suka padaku. Dan itu pernah ia sampaikan padaku berkali-kali. Tapi entah mengapa saat ini aku tak tertarik lagi. Meskipun dulu aku juga pernah menjalin hubungan dengannya.
Aku dan Dyah banyak berbeda dalam mensikapi kehidupan. Gaya hidupnya yang serba ada karena berasal dari keluarga mampu sangat kontras denganku yang sejak kecil terbiasa hidup menderita dan harus bekerja keras. Dari cara pakaiannya saja kami berbeda. Ia selalu berpenampilan serba luks, berbeda denganku yang terkesan asal-asalan dan tak memenuhi seni modiste. Itu baru contoh kecil. Belum lagi yang lain. Kalau mau dikorek satu-persatu maka sangatlah banyak. Perbedaan-perbedaan itulah akhirnya yang membuat aku mundur teratur.
Sejak saat itu aku mulai mendekati Ambar. Meskipun supel tapi Ambar tak mau membuka diri pada sembarang orang. Termasuk aku. Tapi aku tak putus asa. Beberapa kali aku main ke rumahnya. Tapi tampaknya dia tak senang dengan kehadiranku. Aku sendiri tidak tahu dibalik sikapnya itu. Mungkin dia merasa tidak enak berhubungan denganku sebagai mantan teman baiknya. Aku tetap saja nekat mendekatinya. Pengalamanku sebagai seorang pekerja keras tak membuatku menyerah untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Hingga suatu malam aku mempunyai kesempatan untuk mengajaknya keluar. Saat itulah aku berpikir untuk mengutarakan isi hatiku padanya.
Ternyata impianku menatap angin. Ambar menolak harapanku padanya. Dengan terus terang ia mengatakan bahwa ia sekarang sedang menjalin hubungan dengan seorang dosen muda yang kini sedang melanjutkan studinya di negeri Paman Sam. Ia menganjurkanku untuk kembali ke Dyah saja karena ia memang masih mencintaiku.
Seperti membentur dinding keras, dadaku sesak mendengar kata halus penolakan. Dan sejak malam itu aku menjadi daun kering yang terbang kemana saja ditiup angin. Aku seperti kehilangan tujuan hidup. Ternyata begini sesaknya rasa ditolak pujaan hati. Semua jadi kosong dan gelap. Pantas saja banyak yang gelap mata, hingga rela menghilangkan nyawanya sendiri karena patahnya hati. Seperti patahnya jembatan sebagai penghubung antara dunia kenyataan dan dunia impian.
Dan Martono datang menghiburku. Memberi semangat padaku untuk tetap hidup. “Pantang bagi lelaki mengibarkan bendera putih sebelum perang usai!”, katanya padaku waktu itu. “Bila perlu gunakan segala cara!”. Sejak itulah aku terperangkap untuk mengikuti nasehat Martono. Berangkat ke lereng gunung Merbabu.
***
Aku kaget ketika pintu kamarku digedor-gedor dari luar. Suara keras adikku membuyarkan mimpiku. Aku sedang berlari mengejar Ambar di sebuah taman bunga. Tiba-tiba seekor harimau meloncat dari atas pohon hendak menerkam Ambar. Seorang pemburu menembak sang harimau dan membawa Ambar entah kemana. Aku hendak mengejar. Tapi suara gedoran pintu itu menyadarkanku.
Dengan isyarat adikku menunjuk kearah ruang tengah. Kulihat beberapa orang duduk melingkari meja tamu. Aku tak mengenal mereka. Tapi aku tahu salah seorang yang berusia separuh baya yang duduk menghadap arahku. Dia adalah ayah Dyah.
Dadaku berdegup keras. Instingku mengatakan, suatu tak beres terjadi. Kutarik nafas dalam untuk menjaga keseimbangan emosiku. Aku melangkah dan duduk di sebelah ayah yang menungguku. Dari raut wajahnya tergambar gurat kebingungan.
Pelan dan sangat berhati-hati ayahku dan ayah Dyah berbicara kepadaku. Menjelaskan setiap rentet peristiwa yang terjadi. Mungkin mereka kuatir kalau aku tiba-tiba meledak. Maka diusapnya aku dengan bahasa yang halus dan santun. Tapi emosiku pecah juga takkala Ayah Dyah bicara. Apalagi ketika menjelaskan kondisi anaknya yang kini seperti orang kesurupan.
“Dia menjadi murung dan mengunci diri di kamar. Mengerang dan merasa terbakar tubuhnya. Lalu berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Dan yang dia sebut-sebut selalu nama adik, Panji. Bukankah adik yang bernama panji?”
Aku mengangguk pelan.
“Bapak ini kemari ingin menanyakan apa yang sedang menimpa anaknya. Hanya kau yang bisa menjelaskan hal ini, Nji” ayahku menambahi.
“Dyah adalah anak bapak satu-satunya. Dan bapak akan melakukan apapun demi kesembuhan anak itu. Bapak khawatir terjadi apa-apa!. Kalau nak Panji tak keberatan nikahilah Dyah!”
Duniaku bagaikan meledak. Hari itu menjadi hari yang gelap. Sulit bagiku untuk menjelaskan semua in kepada ayah Dyah tentang yang menimpa anaknya. Tak mungkin aku bercerita tentang Eyang Barja dengan air saktinya. Hanya Martono yang bisa menjelaskan semuanya ini. Mengapa malah Dyah yang jadi korban bukan Ambar.
Aku bingung apa yang harus kulakukan. Berkali-kali kutelpon Martono tapi HPnya tak aktif. Kata adiknya Martono berangkat pagi-pagi ke Merbabu. Apa yang dilakukannya?. Aku tak mengerti. Saat ini aku tak bisa berpikir jernih.
Justru kini yang muncul rasa kasihan pada Dyah. Apalagi sikap ayahnya yang begitu mengkhawatirkan kondisi anak kesayangannya itu. Juga permintaan orang tua itu padanya. Rasanya keinginanku untuk mendapatkan Ambar telah layu. Dan aku memang tak ingin melanjutkan niatku lagi. Apalagi untuk kembali menemui Eyang Barja. Aku tak berani. Mungkin orang tua itu akan murka jika tahu bahwa aku tak becus melaksanakan perintahnya.
***
Lampu warna-warni menyala garang. Liar berloncat-loncatan memenuhi gedung kebahagiaan . Aku dan Dyah berdiri di pelaminan menyambut tamu-tamu yang bergantian menyampaikan ucapan selamat. Hari ini kami resmi melangsungkan pernikahan kami. Mengikatkan diri kami pada ikatan suci sebagai suami istri. Semua yang hadir tampak bahagia malam itu. Apalagi Dyah. Wajahnya berseri-seri sambil mengamit lenganku. Ayah ibuku juga tampak bahagia mendapat ucapan selamat dari para tetamu. Demikian juga orang tua Dyah.
Tapi malam kebahagiaan pecah ketika Martono datang. Ia menyalamiku dan istriku. Jantungku berdegup sangat cepat menerima uluran tangannya. Sedetik kemudian kepalaku tersa berat dan akupun hilang kesadaran.
Suasana yang meriah sontak hiruk pikuk dengan suara Dyah yang menjerit. Beberapa orang laki-laki berlari dan menggotong tubuhku. Lamat-lamat kulihat wajah orang-orang yang mengerumuniku. Juga kulihat Martono yang bergandengan dengan Ambar menatapku. Dyah menangis sesegukan di dadaku. Pelan sekali aku membisikkan sesuatu ke telingnya.
“Aku akan ke kaki gunung Merbabu. Aku akan membunuh Martono!.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H