Lelaki tua itu dipanggil Mbah Kromo. Entah itu nama sebenarnya atau hanya panggilan untuk menyebut dirinyayang memang telah renta aku tak tahu. Tapi yang jelas , lelaki itu telah menyita waktuku. Mencurah segala perhatianku padanya. Membuatku begitu sangat menghormatinya seperti aku menghormati guru-guruku yang lain. Ya…Mbah Kromo memang akhirnya menjadi bagian kehidupanku. Menjadi darah yang mengaliri seluruh nadiku.
Aku sudah lupa kapan awal pertemuanku dengannya. Mulanya aku hanya mendengar namanya dari obrolan teman-temanku sehabis pengajian tiap malam jum’at. Umumnya mereka menceritakan tentang keganjilan-keganjilan yang sering didapatkan pada Mbah Kromo.Entah teman-temanku itu pernah melihat langsung atau hanya ceritayang didapat dari orang lain aku juga tidak tahu. Tapi umumnya mereka semua sepakat untuk menyebut Mbah Kromo sebagai orang keramat.
Setahuku Mbah Kromo hanyalah seorang tua yang tinggal di sebuah masjid di tengah-tengah perkampungan kota agak jauh daritempattinggalku. Aku memang pernah bertemu dengannya. Lama sebelum aku mendapat cerita tentangnya dari teman-temanku itu. Beberapa kali aku sholat di sana. Mungkin karena kebodohanku aku tak melihat sesuatu yang istimewa pada diri Mbah Kromo. Yang timbul justru rasa iba. Tubuhnya kering kerontang. Benjolan-benjolan tulang tampak menyembul pada dadanya yang tipis papan.
“Kalian tahu tidak?” Mbah Kromo itu dapat melipat bumi?. Ia selalu terlihat di setiap pengajian Ahad pagi, padahal kalian sendiri kan tahu kalau pengajian itu selalu berpindah-pindah tempat tiap minggunya bahkan sampai ke daerah yang jauh. Tapi anehnya Mbah Kromo selalu hadirdisana tanpa ada yang tahu dengan siapa dan dengan apa beliau datang. Jangankan pergi jauh. Untuk jalan saja susah. ”kata Arif ketua pengajian kami suatu waktu ketika kami sedang mengobrol sehabis pengajian. “Bahkan yang lebih aneh, pernah suatu kali ada yang menawari Mbah Kromo untuk mengantarnya pulang naik motornya tapi Mbah Kromo menolak. Eee…ternyata ketika yang menawari itu lewat di depan masjid Mbah Kromo sudah ada disana sambil leyeh-leyeh” kata Arifmelanjutkan. Membuat kami yang hadir terkagum-kagum.
Begitulah salah satu kisah kekeramatan mbah Kromo yang pernah aku dengar.
Rupanya cerita teman-temanku tentang diri Mbah Kromo membuatku tak bisa menyembunyikan hasratku untuk menemuinya. Meskipun, masih cerita temanku, tidak semua orang yang datang padanya akan ia temui. Katanya, Mbah Kromo hanya mau menemui orang yang datang dengan niat yangbaik, yang ikhlas. Sedangkan yang mempunyai maksud tidak baik bahkan kotor bersiaplah untk kecewa. Kalaupun berjumpa denganya akan ditinggalnya pergi atau malah tidur.
Ketika aku menemuinya malam itu, Mbah Kromo sedang duduk di singgahsananya. Sebuah tikar daun pandan yang sudah usang. Di tempat itulah ia biasamenerima tamu-tamunya, atau untuk mengawasi orang yang keluar masuk masjid. Dan dari tempat itu pula dengan suara yang parau ia akan berteriak memperingatkan siapa saja termasuk anak-anak agar tidak bercanda atau gaduh di dalam masjid.
Belum sempat aku mengucakan salam, ia telah mengucapkannya lebih dahulu padaku. Rupanya kedatanganku telah ia ketahui. Mungkin ini salah satu kekeramatan yang dimiliki Mbah Kromo, pikirku dalam hati.
Aku jawab salam itu dengan suara parau. Bukan karena suaraku habis. Tapi tenggorokanku tercekat tak bisa bersuara demi melihat matanya yang tertuju padaku. Tajam setajam pedang menembus pandanganku.
Aku dipersilahkannya duduk. Aku mengambil tempat tepat dihadapannya. Bersila .. Kusentuhkan kakiku pada kakinya. Aku jadi teringat kisah ketika Jibril datang kepada Muhammad SAW menanyakan ikhwal iman, islam dan ikhsan. Saat itu Rasul Pilihan menyentuhkan kakinya pada kaki Jibril. Dan Rasul pun menjawab semua pertanyaan Jibril dengan cerdas.
Hatiku berdegup kencang. Terus terang aku kuatir bahwa nasibku akan sama seperti orang-orang yang diusir keluar seperti cerita yang aku dengar dari temanku. Aku sendiri tak yakin dengan niat yang kubawa untuk menemuinya. Rasa penasaran dan ingin ngalapberkah kekeramatan Mbah Kromo lebih cenderung di hatiku daripada keinginan untuk belajar menjadi orang yang makrifatullah. Tapi aku bisa berlega hati, karena hingga aku meninggalkan tempat itu tak ada satu kalimatpun yang bernada mengusir yang aku dengar dari mulutnya.
Tidak banyak yang kuingat dari pertemuanku itu. Karena tak banyak juga yang diucapkan Mbah Kromo padaku. Yang kuingat Mbah Kromo menanyakan tentang apakah aku telah mengisi lemariku?. Sebuah pertanyaan yang aneh. Di tengah kebingunganku aku jawab saja sudah.
Ketika aku ceritakanpertemuanku dengan Mbah Kromo padaArif, dia hanya tersenyum. Rupanya Arif geli denganjawabanku. Arifyang memang lebih tahu dengan bahasa-bahasa symbol para pencari Tuhan –karena kebiasaannya mendatangi orang-orang jadab(aneh)- menjelaskan padaku bahwa Mbah Kromo itu tidak bermaksud menanyakan tentang isi lemari yang kumiliki, Yang dimaksud lemari –menurut penjelasan Arif- adalah hati. Bukankah hati adalah lemari bagi segala hal ikhwal rohani kita?. Intinya kata arif, apakah saat ini rohaniku sudah kuberi makan vitamin ? .
Aku hanya mengangguk-angguk saja mendengar penjelasan ketua pengajianku ini. Dalam hati aku terus terang kagum padanya. Dia seperti jembatan yang menghubungkan jalanku dengan Mbah kromo. Hal ini membuatku tambah semangatuntuk belajar dan mengambil barakah dari orang tua itu.
Mbah Kromo tak seperti guru-guruku yang lain. Ia tak pernah berbicara panjang lebar tentang suatu permasalahan seperti yang aku dapatkan selama ini. Bahkan ia terkesan pelit omomgan. Ia hanya bicara sangat sedikit dan kadang menggunakan isyarat tangannya untuk menggambarkan sesuatu yang dimaksudnya. Aku hanya perlu untuk mengingat setiap apa yang diucapkan dan diperagakan Mbah Kromo padaku. Setelah itu aku akan meminta bantuan Arif untuk menjelaskannnya padaku. Ternyata – kata Arif- banyak sekali hikmah kehidupan yang diajarkan Mbah Kromo padaku.
Satu hal yang aku ingat dari Mbah Kromo, bahwa beliau selalu mengajarkan tentang kesehajaan. “Tak usah silau gemerlap dunia” katanya padaku suatu waktu “Ingatlah bahwa dunia hanya permainan dan kesia-siaan” lanjutnya. Aku mengangguk mengiyakan petuahnya.
Mbah Kromo memang bersahaja. Kalau saja ia menginginkan kekayaan mungkin Tuhan akan mengirimkan Malaikat untuk memenuhinya. Atau Tuhan akan merubah Bedug masjid menjadi emas. Dan rasanya tak mustahil bagi orang-orang yang dekat pada Tuhan semacam Mbah Kromo. Aku sendiri pernah membaca tentang seorang tokoh sufi yang dapat merubah butiran-butiran pasir di pantai menjadi mutiara. Tapi karena kejernihan hati yang mereka miliki maka kekayaan dunia yang berlimpah itutak pernah menyilaukan mereka. Bahkan mereka telah mentalak tiga dunia karena dapat menghalangi proses perjalanan ruhani mereka.
Satu kebiasaan Mbah Kromo yang aku ingat dan sekaligus mengheranku adalah kebiasaannya setiap Jum’at bersedekah. Biasanya Mbah kromo membagikan beras pada keluarga kurang mampu di sekitar masjid. Ia sendiri yang mengantarkan. Setahuku Mbah Kromo tidak bekerja. Tapi darimana ia mendapatkan uang untuk bersedekah ?. Aku sendiri sampai sekarang tidak tahu dan tidak berani untuk menanyakan hal itu padanya. Mungkin itu salah satu kekeramatan mbah kromo.
Memang kalau dipikir banyak kejadian aneh yang menjadi kekeramatan Mbah Kromo yang aku temui selama aku berguru padanya. Aku sendiri pernah membuktikan cerita Arif-ketua pengajianku- tentang Mbah kromo yang mempunyai kemampuan melipat bumi. Pernah di suatu malam aku datangke tempat Mbah Kromo. Saat itu kulihat beliau sedang shalat. Aku menunggu di luar Masjid sambil menikmati wedang jahe diwarungKang Amat yang tidak jauh letaknya. Dua puluh menit kemudian aku kembali ternyata Mbah Kromo sudah tidak ada di tempatnya. Aku mencarinya di tempat wudhu atau di kamar mandi tetapi aku tak menemukannya. Putus asa mencarinya akhirnya kuputuskan pulang. Di tengah perjalanan, menjelang memasuki perumahan di daerahku aku menemukan Mbah Kromo sedang berjalan menuju arah pulang dengan membawa ember dan payung –peralatan yang tak pernah ia tinggalkan-. Saat itu aku hampir tak percaya dengan penglihatanku. Kukucek mataku berkali-kali tak percaya kalau lelaki yang berdiri di hadapanku adalah Mbah kromo. Tetapi rasa tak percaya itu segera sirna demi kudengar suaranya yang berwibawa “Kowe teko ndi, le? Neh meh ketemu kuwi yo kudu sabar. Ojo kesusu” .
Rupanya Mbah Kromo tak suka dengan sikapku yang terburu-buru. Harusnya aku sabar menunggu. Beliau memang selalu menekankan sabar dalam segala hal. Apalagi dalam menuntutilmu. Karena kesabaran –kata beliau- adalah kunci istiqomah. Mustahil seseorangberhasil dalam segala hal kalau tak ditopang sifat sabar.
Aku menyesali tindakanku. Tapi nasi sudah jadi bubur. Dan untungnya Mbah Kromo tak marah pada sikapku malam itu. Aku pun makin kagum padanya. Pada hal-hal aneh yang menjadi kekeramatan Mbah Kromo.
###
Waktu mengejar hari dan bulan. Suatu malam yang sepi aku menemui Mbah Kromo. Seperti ada yang berbisik di telingaku untuk menemuinya. Kutemukan Mbah Kromo duduk di tempatnya seperti biasa. Sepertinya ia telah menunggu kedatanganku. Tak seperti biasanya ia banyak berbicara malam itu. Salah satu yang ia terangkang adalah masalah kekeramatan. Rupanya Mbah Kromo ingin menyindir ku yang terpaku pada perkara yang aneh dan ganjil yang menjadi kekeramatan seseorang.
“Ngertiyo, Le! Ojo golek keramat tapi golek wae istiqomah, mergo istiqomah iku sak apik-apike keramat”
Akupun mengangguk mengerti. Meresapi setiap nasehatnya yang malam itu seperti hujan. Membasahi kegelapan hatiku. Menyingkap tabir cahaya yang terselubung nafsu. Akupun banyak mendapat pelajaran kehidupan yang berharga malam itu. Kudongakkan wajahku ke langit. Rembulan ditutup awan hitam.
Penjelasan Mbah Kromo jadi gamblang setelah aku membaca sebuah buku. Ternyata kekeramaatan itu bukan tujuan. Ia hanya sebuah efek dari sebuah perjalanan rohani. Para pencari sejati tidak mau berhenti pada keramat semata. Karena hal itu akan menyibukkan dirinya dan akan membuatnya lalai pada tugasnya yang utama. Mereka selalu berusaha untuk bisa menjaga hari-harinya dalam kesibukan bersama Tuhan.Itulah yang dinamakan istiqomah. Menjaga kesinambungan kedekatan pada Allah. Kalau seseorang bisa mencapai derajat demikian, maka itu lebih baik dibanding seribu kekeramatan yang ia miliki.
Kekeramatan ternyata tak bisa diukur dengan kejadian luar biasa yang dialami seseorang seperti bisa berjalan di atas air, bisa terbang, tak mempan dibacok senjata, dsb. Karena ternyata yang demikian itu tidak hanya menimpa pada diri orang taat saja. Ahli maksiat pun juga bisa melakukan hal seperti itu yang disebutisti’draj. Oleh karena itu, bagi pencari kekeramatan sangat dijauhi karena dikuatirkan akan merusak tugasnya yg utama pada Allah SWT.
Itulah malam terakhir aku bertemu dengan Mbah Kromo. Karena setelah malam itu aku tak lagi menemukan senyumnya. Mendapati petuah-petuahnya yang menyejukkan bak air hujan. Mbah Kromo telah tiada tanpa kudengar beritanya. Bahkan Arifpun tak tahu tentang meninggalnya orang yang selalu ia ceritakan padaku.Aku hanya mendapati tempatnya yang kosong. Dan seseorang telah memberitahu padaku bahwa lelaki tua itu telah dikubur 4 hari lalu sehabis subuh. Hari tepat aku terakhir kali menemuinya.
Mungkin Mbah Kromo tak ingin melihat aku menangisi kepergiannya. Atau beliau tak ingin aku menganggapnya sebagai orang keramat sebagaimana pesannya bahwa kekaguman pada kekeramatan bisa menghalangi jalan kepada Sang Rabb. Mbah Kromo hanya ingin menjadi orang biasa. Takmembutuhkan pengakuan siapapun akan kesetiaannya pada Tuhan. Dan –mungkin- ia ingin aku seperti dirinya.
Selamat jalan Kekasih Allah. Selamat jalan guruku. Aku percaya engkau masih setia menemani perjalananku.
Bedas 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H