Awan bergelantungan di langit. Warnanya pucat menghitam menahan berat beban di punggungnya. Sebentar lagi hujan pasti turun. Gemeletar halilintar sudah terdengar di atas sana. Suaranya melengkin bagaikan kuda yang meringkik terkena lecutan.
Aku masih duduk bersama Anya. Di hamparan rerumputan di sebuah padang di seberang bukit. Tempat yang menjadi favorit kami sejak kecil. Anya memang suka dengan rerumputan. Sebagaimana ia juga amat suka dengan hujan. Rerumputan mengajarkan akan kesehajaan karena tempatya di tanah. Demikian juga hujan. Mengajak kita untuk selalu ingat betapa pentingnyabersyukur. Bukankah tanah dan airadalah asal dari manusia.
Gerombolan awan semakin berkejar-kejaran menggulung dari arah barat. Aku jadi kuatir. Jika awan serta merta memuntahkan isinya, kami berdua pasti tak akan terselamatkan oleh kebasahan. Tak ada tempat berteduh. Hanya ada hamparan rumput dan ilalang.
Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda Anya akan mengakhiri suasana. Dia tetap duduk menekuk dengan kepala disandarkan di atas lututnya. Pandangannya lepas ke langit. Entah menatap awan, entah menatap desir angin atau mungkin kosong. Aku tak tahu. Yang kutahu, aku semakin kuatir hujan akan segera turun.
“Mengapa kau begitu takut dengan hujan?”. Anya membuka suara, seolah mengerti akan kegelisahanku.
Aku menggerakkan kakiku. Kutekuk danku posisikan seperti posisi Anya. Aku hanya diam. Di langit kelebat cahaya putih makin sering terjadi. Kupandang wajah Anya. Seperti cahaya di langit itu.
“Aku masih ingin disini, Ardi. Aku ingin agar hujan mengguyur tubuhku.”
“Bagaimana kalau nanti kau jatuh sakit,Anya.”
“Biarkan saja, toh selama ini aku memang sedang sakit. “
“Tapi kita harus berusaha menjaga diri kita dari sakit itu sendiri, Anya.”
Anya menatapku tak senang. Sorot matanya mengiris pandanganku. Bukankah ini memang yang dikendaki Anya datang di tempat ini. Lantas mengapa aku malah mencegahnya. Akh…betapa bodohnya aku. Aku tak mungkin mencegahnya. Inilah sebuah keinginan terakhir setelah sekian lama terpisah dalam waktu dan jarak.
“Aku ingin mendengar dengus angin dan meriahnya ketukan bulir-bulir air di tubuhku. Mungkin ini adalah hujan terakhir yang bisa aku nikmati bersamamu” Kata Anya tetap memandang langit. “ Maukah kau menemaniku bercanda dengan hujan,Ar?” lanjut Anya datar. Wajahnya menoleh padaku. Tatapan yang rasanya tak mungkin kutolak. Aku mengangguk
Dengus Angin semakin kuat. Berputar-putar menerbangkan pucuk-pucuk daun kering. Mungkin juga menerbangkan isi pikiranku. Meloncat melewati batas waktu, kembali ke masa lalu.
##
Anya adalah temanku kecil. Bersama ayah dan ibunya dulu ia tinggal bersama di desa kami. Ayahnya adalah seorang insiyur pertanian yang kebetulan mendapat tugas memberikan penyuluhan kepada para petani di desa kami. Kami bertemu pada suatu malam, saat ayahnya sedang memberikan penyuluhan di balai desa. Ia ikut bersama ayahnya. Seperti juga aku yang merengek agar bapak mengijikan aku untuk menemaninya (padahal apa yang bisa kulakukan untuk menjaga bapak).
Sejak pertemuan malam itu, aku dan Anya menjadi akrab. Tiap hari kami bersama. Kadang Anya datang ke rumahku (ia suka mengejar capung) atau sebaliknya aku yang menyambangi rumahnya. Kebetulan kami juga satu sekolah. Waktulah yang merekatkan persahabatan kita berdua. Aku dan Anya sudah seperti saudara.
Ketika menginjak bangku SMP kami berpisah. Keluarga Anya pindah. Ayahnya promosi sebagai kepala dinas di kota lain. Anya pun mengikuti ayahnya dan bersekolah di tempat yang baru. Sejak saat itu, kabar tentang Anya hanya kunikmati lewat tulisan surat. Satu tahun kemudian, surat dari Anya berhenti. Dan Anya seperti ditelan bumi.
Tapi sebulan lalu, datang sepucuk surat dari Anya. Ia rindu padaku. Rindu pada suasana desa. Rindu pada suara kodok di sawah. Dan tentu saja rindu pada dengus angin dan rintik hujan Ia ingin mengenang hari-harinya yang indah dulu ketika bersamaku. Bahkan katanya dalam suratnya, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya di sini.
Sesuatu menikam ulu hatiku. Kalimat Anya yang terakhir menyisakan tanda tanya pada otakku. Aku merasakan sesuatu sedang terjadi pada diri sahabat kecilku itu. Dan aku akan kehilangan dirinya. Tidak!. Mengapa perasaan itu muncul sementara sosok Anya belum hadir di depanku. Hanya sebuah surat yang membawa kabar tentang dirinya.
Dan semuanya terjawab ketika Anya berdiri di hadapanku. Bersama ayahnya ia datang siang itu. Anya telah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Namun, sesuatu tak bisa disembunyikan dibalik keindahan wajahnya. Anya, sahabatku itu, sedang sakit.
“Anya terkena leukimia. Sudah lama. Dokter sedang berusaha mengobati penyakitnya. Namun, Anya saat ini berkeras untuk kembali kemari. Ia ingin mengenang kebahagiannya di masa lalu. Bersamamu. Bersama udara desa ini. Mungkin ia sudah merasa bahwa ajalnya sudah menjelang. Dan bapak tak bisa menolak permintaannya itu “ Kata ayah Anya menjelaskan alasan ia membawa anak satu-satunya itukemari. Kulihat Kristal-kristal bening membelah pipi ayah Anya. Di beranda kami berbincang, sambil memandangi Anya yang gembira karena telah kembali ke suasana purba yang dulu ia besar bersamanya.Memetik bunga melati yang tumbuh di dekat pagar rumah.
Kegembiraan Anya bukan kegembiraan bagiku. Penjelasan ayah Anya tentang penyakit anaknya seperti bongkahan batu yang menyesak dadaku. Kulihat dahi bapak berkerut. Pasti, ia sama tak percayanya seperti aku. Bahwa gadis kecil yang dulu tawanya sering menghias rumah ini sekarang sedang sakit. Sekarat. Bahkan sedang menjemput ajalnya.
###
Sewaktu kecil dulu, kami mengisi hari dengan penuh keceriaan. Bermain di sawah. Berenang di kali. Memancing ikan gabus. Naik kerbau. Dan ketika musim penghujan datang, kami sering menanti hujan. Sebuah kegiatan yang amat menyenangkan bagi anak seusia kami.
Kami menantikan hujan di padang di seberang bukit. Tak jauh dari desa tempatku tinggal.Begitu awan mulai menebal. Dan angin mulai meniupkan nafasnya. Anya akan berlari-lari untuk kemudian berhenti sambil memandang langit. Tanganya di sikapkan di dada. Seperti sebuah ritual agar hujan segera turun. Dan ketika titik air mulai jatuh. Kami akan berteriak. Meluapkan kegembiraan karena hujan turun. Dan kami akan meninggalkan hujan ketika bibir kami telah membiru. Sesampai di rumah, segelas wedang jahe telah ibu siapkan agar badan kami tetap hangat.
###
Kupandang gundukan tanah di hadapanku. Masih basah. Hujan juga masih menyisakan gerimis. Kulihat awan berwarna coklat kehitam-hitaman. Warnanya seperti perasaan kami yang gelap dalam duka.
Derap kaki satu-pesatu meninggalkan tempat dengan membawa tanya dan rasa masing-masing. Aku, bapak dan ayah Anya masih berdiri mematung. Kami masih menengadahkan tangan untuk memohon kepada Tuhan demi keselamatan sahabatku, Anya. Kami telah ikhlas melepas kepergiannya. Meskipun air mata kami tak bisa menyembunyikan betapa kami telah kehilangan seorang yang sangat kami cintai.
Aku masih ingat kata-kata Anya tentang hujan terakhir. Ya..itulah terakhir kalinya aku dan Anya menghabiskan waktu di bawah bulir-bulir hujan. Betapa bahagianya Anya waktu itu. Ia dekap hujan. Ia ciumi hujan. Ia lepaskan hasrat dan kerinduannya pada hujan. Rasanya, ia seperti ingin berpamitan pada hujan. Kulihat senyum Anya mengembang padaku. Kurasa ia puas. Meskipun dua hari kemudian aku harus menelepon ayahnya. Suhu badannya naik tinggi.Dan kami segera membawanya ke rumah sakit.
Tangan Anya memegangi tanganku. Senyumnya tipis padaku. Ditariknya tanganku. Didekatkannya badanku dengan tubuhnya. Dan kudengar bisiknya padaku, “Ar, apakah di luar hujan?”
Aku hanya menangis. Dan langit pun menangis. Hujan turun sore itu mengantar kepergian sahabatku.
Bedas, 19/2/12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H