Mohon tunggu...
Yuniar Riza Hakiki
Yuniar Riza Hakiki Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

Peneliti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membangun Indonesia Bermartabat dari Lingkungan Kampus

25 April 2015   09:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : Yuniar Riza Hakiki



Berawal dari tema “Peran Intelektual Muslim dalam Pembangunan Indonesia Bermartabat”, dalam kesempatan ini penulis mencoba menuliskan gagasan dari analisa permasalahan yang sangat berpengaruh terhadap martabat suatu Bangsa, Negara maupun Agama. Kita ketahui bersama bahwa di Indonesia terjadi cukup banyak permasalahan di berbagai bidang. Mulai dari kemiskinan, pengangguran, kriminal, korupsi, kisruh/konflik antar kelompok masyarakat, sengketa-sengketa antar lembaga negara, dan berbagai permasalahan yang lain. Memahami kondisi seperti inilah yang mendorong penulis untuk turut berpartisipasi menganalisa dan mengungkapkan gagasan.

Menurut Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kementerian dalam negeri dari sekitar 234,2 juta penduduk Indonesia, sekitar 14,15 % adalah penduduk miskin, dan mereka umumnya tinggal di perdesaan. Data tersebut menunjukkan keadaan bahwa 14,15 %dari jumlah penduduk Indonesia miskin secara ekonomi. Namun, pada dasarnya “kemiskinan” dalam arti sebenarnya merupakan akar permasalahan utama yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan lain. Kemiskinan intelektual, emosional, dan spiritual menyebabkan kemiskinan moral, ekonomi, dan sosial, kemudian kemiskinan moral, ekonomi, dan sosial ini dapat menyebabkan tindakan amoral dan berujung timbul permasalahan-permasalahan yang lainnya. Hal ini dapat dipastikan salah satu penyebabnya dikarenakan aktor-aktor kehidupan belum memerankan diri dalam lingkungan sosialnya dengan baik.

Manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna dan merupakan khalifah di bumi, dalam menjalani hidup didunia seharusnya tidak sekedar beraktivitas untuk keperluan pribadinya. Melainkan juga berperan atas kemampuan yang dimiliki untuk kemanfaatan semesta alam ini. Dalam memberi kemanfaatan manusia harus melakukan dan menyeru untuk kebaikan (ma’ruf) dan menghindari keburukan (munkar). Hal ini dijelaskan sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ali-Imran ayat 110, Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah….”.[2] Telah jelas dan nyata bahwa sebagai makhluk yang berakal sehingga manusia disebut sebagai umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Kemudian Firman Allah tersebut disederhanakan lagi oleh Rasulullah SAWyaitu Khairunnas anfa uhum linnas” bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang banyak bermanfaatnya (kebaikannya) kepada manusia lainnya.[3] Sehingga, mengandung konsekuensi logis bahwa jika manusia ingin tinggi derajat dan martabatnya maka harus banyak bermanfaat (kebaikannya) bagi manusia lain.

Memahami landasan filosofis tersebut penulis memahami bahwa untuk membangun suatu kehidupan yang bermartabat harus mengoptimalkan kemampuan manusia untuk kemanfaatan bagi sesama dan lebih-lebih bagi seluruh makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dengan banyaknya manusia yang bermartabat maka Bangsa, Negara, dan Agama pasti akan bermartabat pula. Akan tetapi, sangat tidak mudah membangun kehidupan yang bermartabat tersebut apabila tidak diawali dari hal terkecil. Karena logika dasarnya adalah “Adanya uang 1 triliun rupiah pasti karena adanya uang 1 rupiah”. Dari logika dasar tersebut penulis mencoba mengungkapkan gagasan untuk membangun Indonesia yang bermartabat dengan “Membangun Budaya Dakwah dilingkungan Kampus”.

Dari gagasan tersebut muncul berbagai kemungkinan tanggapan dan pertanyaan yang tidak asing kita dengarkan. Mendengar kata “Budaya” dan “Dakwah” seolah-olah ini merupakan gagasan klasik yang hingga sekarang dipercaya sebagai upaya baik namun ternyata belum juga menghasilkan sesuatu yang baik. Dan pertanyaan yang juga tidak asing lagi yaitu mengapa harus berdakwah, dan mengapa harus dikampus.

Untuk menjawab kemungkinan tanggapan dan pertanyaan tersebut penulis akan terlebih dahulu menguraikan maksud gagasan yang penulis ajukan. Ketika kita mendengar kata “Dakwah” sering kali secara spontan terfikirkan dengan Khutbah, Da’i, Agamis, Dalil-dalil, dll. Namun, disini sedikit lain dengan apa yang menjadi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Dakwah yang penulis maksud adalah aktivitas ketika antara seseorang dengan lainnya sedang berkomunikasi dan interaksi secara langsung baik one by one maupun group by group dengan maksud saling menyeru dan mengingatkan terhadap kebaikan serta menjauhi keburukan-keburukan/larangan.

Pada dasarnya nilai baik dan buruk bagi masing-masing individu adalah berbeda-beda (relatif). Akan tetapi, dengan parameter manfaat dan mudharat penulis dapat memastikan bahwa nilai kebaikan dan keburukan tersebut bagi tiap-tiap individu dapat dipersepsikan sama. Karena, tolak ukur mengenai baik atau buruknya suatu hal dikehidupan sosial cukup jelas tertera dalam norma-norma sosial seperti, norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum. Oleh karena itu, penilaian masing-masing individu terhadap baik atau buruknya perilaku tidak menjadi suatu hambatan terhadap gagasan ini.

Selanjutnya, alasan gagasan ini diterapkan dikampus adalah kampus merupakan lingkungan akademik yang dalam aktivitas sehari-harinya memiliki tujuan untuk membentuk pribadi yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Disisi lain, kampus diisi oleh para pemuda yang mana menurut Anies Baswedan, Pemuda adalah harapan bangsa,kiprah mereka selalu menentukan,dalam sejarah kita lihat rata-rata anak mudalah yang membangkitkan bangsa.[4] Selain alasan tersebut, membangun budaya dikampus dengan target manusia-manusia yang telah menginjak dewasa penulis rasa cukup efektif. Sebab, komunikasi dan interaksi untuk merealisasikan maksud cukup mudah. Karena penulis yakin 80-90 % (persen) dari keseluruhan mahasiswa dalam suatu kampus telah memahami jati diri dan posisinya masing-masing. Dengan dimikian, tidak ada alasan untuk menolak upaya membangun budaya dakwah dalam lingkungan kampus.

Mengingat urgensi tersebut, kampus merupakan lingkungan kecil yang sangat strategis untuk membangun martabat bangsa. Hal ini dikarenakan, elemen mahasiswa yang sedang duduk dibangku Perguruan Tinggilah yang kemudian akan terjun dilingkungan masyarakat. Parameter tinggi/rendahnya martabat suatu bangsa salah satunya adalah sejauh mana orang-orang yang berada dilingkungan akademik berperan dalam lingkungan sosial dengan sebaik-baiknya. Sehingga, apabila dinegeri ini banyak terjadi krisis integritas yang menimbulkan berbagai macam persoalan, maka perlu dipertanyakan seperti apa metode pendidikan yang dibudayakan dilingkungan akademik.

Suatu budaya, berangkat dari aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus (continue). Kemudian aktivitas tersebut akan menjadi suatu kebiasaan (usage), sehingga apabila telah dilakukan cukup lama maka akan menjadi budaya (culture). Kemudian, apabila budaya tersebut diikuti oleh banyak orang akan menjadi suatu adat (custom), dimana jika aktivitas yang telah membudaya menjadi adat tersebut ditinggalkan maka akan terasa ganjil dalam lingkungan tersebut.[5] Akar untuk menumbuhkan kebiasaan ini, dimulai dengan menumbuhkan rasa cinta terhadap aktivitas dakwah dengan dilakukan secara berulang-ulang. Sehingga, dengan rasa cinta akan timbul keinginan untuk terus melakukan aktivitas dakwah tersebut. Dan aktivitas dakwah yang terus-menerus dilakukan tersebut akan menjadi kebiasaan, sehingga dapat menjadi budaya positif dilingkungan kampus.

Gagasan tanpa strategi pasti hanya akan menjadi angan-angan belaka. Oleh karena itu, dalam penulisan essay ini penulis juga menyertakan strategi-strategi yang cukup sederhana dan dapat menjadi rekomendasi dalam membangun budaya dakwah ini. Setidaknya terdapat 6 (enam) strategi sederhana yang dapat dilakukan dalam setiap aktivitas.

Pertama, mengubah paradigma bahwa “dakwah” tidak sekedar dipahami dalam arti sempit (khutbah,da’i,dalil-dalil,dll.) namun saling sapa mengingatkan pada kemanfaatan dan kebaikan juga merupakan dakwah. Kedua, membiasakan senyum, sapa, salam (3S) dengan siapapun dalam lingkungan kampus. Ketiga, mulai membangun pembicaraan mengenai isu-isu yang sifatnya ringan dengan disertai sharing pesan-pesan moral dalam setiap kesempatan bertemu kawan atau siapapun. Keempat, memanfaatkan kekosongan waktu untuk membaca dan berdiskusi terkait masalah-masalah yang sedang hangat terjadi sehingga hal itu akan menimbulkan spontanitas ungkapan pemikiran yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Kelima, mengurangi aktivitas yang tidak efisien (banyak mengeluarkan tenaga, namun tidak ada manfaatnya), misal membicarakan keburukan orang lain/gosip, bercanda yang berlebihan, dan aktivitas non produktif lainnya. Dan yang terakhir atau Keenam, selama menjalani pergaulan (muamalah)dengan sesama berusaha bersikap aktif terhadap hal-hal positif dan pasif/diam untuk tidak melakukan apabila terdapat suatu perbuatan yang negatif. Karena hal ini juga merupakan suatu dakwah yang dapat menimbulkan orang lain berfikir terhadap sikap yang kita tunjukkan.

Sebagai pernyataan penutup (closing statement) yang juga merupakan simpulan pada bagian penulisan essay ini, akan penulis bangun kembali latar belakang,analisa hingga solusi/gagasan yang telah teruraikan secara lebih ringkas.Pada prinsipnya, akar tumbuhnya persoalan disuatu bangsa yang menimbulkan merosotnya martabat adalah tidak berfungsinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal ketika berperan dilingkungan sosial. Penulis menyadari bahwa pribadi sendiri belum mampu mengoptimalkan peran ini dengan baik dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, dengan bersama-sama berupaya menerapkan budaya dakwah sebagaimana yang penulis ungkapkan maka akan terbangun hubungan timbal balik/resiprokal antar sesama untuk saling berperan dengan sebaik-baiknya.

Melalui kesepahaman bersama membudayakan aktivitas positif antara intelektual-intelektual muslim khususnya dilingkungan Universitas Islam Indonesia, penulis optimis akan menjadi upaya mengurangi sedikit demi sedikit berbagai persoalan. Baik persoalan kemiskinan intelektual/moral maupun kemiskinan material yang berujung pada persoalan bangsa seperti pengangguran, korupsi, kejahatan/kriminal, konflik fisik maupun batin, dan persoalan-persoalan yang lain. Sehingga, martabat suatu bangsa akan terwujud seiring bagaimana tiap-tiap individu khususnya para intelektual muslim dapat memerankan dirinya dengan baik, yaitu menjauhi kemudharatan dan mengupayakan kemanfaatan.



DAFTAR BACAAN

-Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 110

-HR. Qadha’ie dari Jabir

-Syukur,Yanuardi. 2014. Anies Baswedan Mendidik Indonesia, Yogyakarta : Giga Pustaka

-Teori Antropologis tentang metode historis terbentuknya Hukum dalam perkuliahan “Antropologi Hukum”

[1] Essay ini pernah diikutkan dalam Lomba Essay Al-Azhar Berdakwah FH UII

[2] Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 110

[3] HR. Qadha’ie dari Jabir

[4] Yanuardi Syukur, Anies Baswedan Mendidik Indonesia, (Yogyakarta : Giga Pustaka, 2014), hlm.172

[5] Teori Antropologis tentang metode historis terbentuknya Hukum

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun