Salah satu tahapan penting dalam Pemilukada Jakarta 2012 adalah pendaftaran kandidat Gubernur pada tanggal 12 Maret yang berasal dari usulan partai-partai politik. Artinya, tanggal 11 Maret adalah detik-detik terakhir bagi setiap partai untuk mengambil keputusan: Siapa kiranya figur yang paling tepat untuk diajukan partainya masing-masing dalam rangka memenangkan suara publik pada momentum laga politik lima tahunan di ibukota negara ini. Empat tokoh kunci Road to DKI 1 adalah SBY dengan Partai Demokratnya, Aburizal Bakrie dengan Partai Golkarnya, Megawati dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangannya dan Hilmi aminuddin dengan Partai Keadilan Sejahteranya. Namun, dari keempatnya hanya SBY dan Hilmi Aminuddin yang bisa mengelus jagonya untuk berlaga tanpa perlu berkoalisi karena syarat perolehan suara telah dilampaui oleh PD 35 % dan PKS sebagai Runner Up 18%. PKS telah mengumumkan jagoannya untuk maju pada PilGub Jakarta 2012 ini namun, tidak demikian halnya dengan PD. Sampai dengan tulisan ini dibuat, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina PD masih juga belum mengumumkan nama yang akan dijagokannya untuk bertarung. Bisa jadi sikap SBY itu didasari oleh sikap mawas diri dan introspeksi. Secara nasional, pada pemilu 2009 lalu PD menyabet gelar juara umum akan tetapi, sampai detik ini belum ada satupun jagoan PD yang berhasil menyabet gelar Kepala Daerah di Pulau Jawa. Ironis memang, PD sebagai partai pemenang pemilu 2009 dan pendulang suara terbesar di pulau berpenduduk terpadat didunia, Jawa, belum mempunyai kesempatan untuk menempatkan kadernya sebagai kepala daerah, kecuali Jakarta. Itupun setelah Fauzi Bowo menjadi Gubernur DKI terlebih dahulu dan baru kemudian belakangan masuk PD. Kekalahan PD dalam ajang Pemilukada Banten baru-baru ini, mungkin juga menyebabkan PD semakin kehilangan kepercayaan diri untuk segera mengumumkan jago menuju DKI 1. Pemilukada Jakarta pada 11 Juli 2012 nanti akan menjadi hari penentuan bagi PD, DEAD or LIVE! Calon Gubernur Jakarta dari PD mengerucut menjadi tersisa dua nama : Incumben Fauzi Bowo atau Ketua DPD Nachrowi Ramli. Salah memilih satu diantara dua berarti PD melakukan aksi bunuh diri, apalagi memilih nama diluar nama keduanya! Apakah SBY akan melakukan langkah cerdas atau sebaliknya SBY mengambil langkah sama sekali tidak cerdas kuadrat berpangkat dua, publik Jakarta menunggunya! Periode ke- II kepemimpinan SBY diwarnai banyak sekali bencana politik yang sunguh-sungguh sama sekali tidak cerdas menerpa kubunya, diantaranya ;
- Mencuatnya gempaCentury ke publik. Hanya PD dan PKB fraksi di DPR RI yang membuat keputusan yang betul - betul sama sekali tidak cerdas / anti populer dengan menyatakan tidak ada unsur pidana pada skandal yang menguras keuangan negara bermega trilyun itu dengan mengesampingkan temuan audit BPK RI. Akhirnya, langkah men”Dubes”kan Sri Mulyani dari kursi Menkeu menjadi kaki tangan Bank Dunia menjadi gunjingan di tengah publik yang haus akan terciptanya Clean Government, “Pasti ada bangkai yang coba-coba disembunyikan!”
- Meletusnya gunung isyu “Jebakan Batman” pada kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Lahar panas mengalir ke tengah publik, bahwa sesungguhnya dibalik kasus Antasari ada dendam kesumat dari orang kuat yang merupakan besan dari seorang koruptor kelas kakap. Diluar segala fakta yang meragukan publik pada persidangan Antasari, mencuatlah gonjang-ganjing, apa rasanya di telinga seorang Raja bila putranya (Sang Pangeran) berkata padanya, “Percuma Ayahanda jadi Raja, nolong mertua saya saja tidak bisa! Ayahanda sama sekali tidak cerdas! Ananda malu, tahu!?”
- Terjadinya bencana puting beliung isyu rekayasa kasus Bibit-Chandra. Isyu “Jebakan Batman” kasus Antasari yang telah beredar sebelumnya, menambah hantaman psykhologis yang diterima masyarakat bahwa KPK sedang dikebiri oleh segerombolan mafia di dalam sistem hukum yang seharusnya independen. Munculnya perumpamaan Cicak lawan Buaya mengindikasikan ada Buaya besar ingin mencaplok seekor Cicak kecil. Sekali lagi masyarakat awam disuguhi isyu yang sama sekali tidak cerdas, “Masak sih, Buaya doyan Cicak!?”
- Berhembusnya Topan skandal perpajakan dengan biang kerok utama pegawai golongan IIIA, Gayus Tambunan. Fasilitas istimewa yang diterima Gayus sebagai terpidana, bisa bertamasya keliling dunia menuai kecaman publik. Santer beredar sebuah isyu, “Ada seorang anggota Satgas Mafia Hukum yang membuat segalanya jadi mungkin!” Gayus tersenyum simpul ketika bertukas, “Saya ini cuma ikan Teri yang tersangkut jaring di tengah para Kakap yang masih berenang bebas!” Maka masyarakatpun berkomentar, “Dasar sama sekali tidak cerdas! Masak lempar jaring ditengah sekawanan Kakap yang ketangkep cuma seekor Teri!”
- Terjadinya bencana Tornado isyu, “Sang Whistleblower, Si Peniup Pluit yang tahu benar kasus Antasari, Bibit-Chandra dan Gayus itu, sedang dibekukan di freezer yang super dingin oleh sebuah kekuatan yang dzalim!” Susno Duadji tersingkirkan dari KABARESKRIM menjadi pesakitan di ruang tahanan Mako Brimob yang terisolasi. Publik kembali dipertontonkan langkah yang sama sekali tidak cerdas, “Susno diasingkan, beberapa Pati Polri pemilik rekening gendut mencurigakan malah dibela mati-matian!”
- Munculnya bencana Badai dahsyat kicauan Burung Nazarudin, mantan Bedum membuat PD seolah semakin memacu diri menuju kehancuran total. Masyarakat semakin dibuat geleng-geleng kepala demi menyaksikan jalannya persidangan, “Kok, sama sekali tidak cerdas! Bagaimana mungkin, bisa terjadi tragedi buah apel ditengah euforia bebaskan negara dari cengkraman KKN!?”
- Bukan lagi bencana, tetapi memang benar-benar PD akhirnya melakukan langkah yang sama sekali terlalu tidak cerdas yaitu sempat memindahkan Angelina Sondakh yang saat ini sedang terbelit hukum (akibat kicauan Burung Nazar) dari posisinya sebagai anggota DPR RI Komisi X ke Komisi III yang membidangi hukum. Meski Angelina Sondakh sudah dikembalikan ke posnya semula yakni, ke Komisi X, tetapi sayang seribu sayang masyarakat sudah terlanjur mencap, “Pengendali kekuasaan politik berhasrat mengintervensi proses hukum!”
Begitu banyak bencana “sama sekali tidak cerdas” yang menerpa kubu PD membuat Pemilukada Jakarta menjadi sorotan kawan dan lawan PD. Pemilukada Jakarta menjadi Benteng kekuatan PD terakhir mengawal transisi/suksesi kepemimpinan nasional yang damai dan konstitusional di 2014. Jika calon Gubernur yang diusung PD menang, itu artinya PD masih layak diperhitungkan. Apabila calon yang diusung PD kalah, itu tandanya PD sudah tidak punya taring lagi dan dalam kata lain PD mendekati atau sama dengan NOL. Pemilukada Jakarta menjadi tolak ukur yang utuh dari kekuatan PD yang sesungguhnya dikarenakan semua kekuatan utama PD dalam merebut tempat di hati rakyat terpusat di Jakarta. PD adalah partai mayoritas di DPR RI, PD adalah partai mayoritas di DPRD DKI, PD adalah pemegang kursi Kepresidenan, PD merupakan partai mayoritas yang mengisi kabinet, terlebih lagi PD adalah yang memegang kendali Pemprov DKI dan semua dari keunggulan-keunggulan PD itu berada di Jakarta. Bila PD kalah dalam ajang Pemilukada Jakarta tempat segala keunggulan PD berada maka, PD akan ditinggalkan kawan dan tanpa ragu akan diterjang lawan. Kawan akan lari cari selamat karena tak ingin terperosok bersama PD dan Lawan-lawan PD akan menjadi sangat berani untuk segera bergerak menghabisi. Bila saja kekalahan itu terjadi, bukan tidak mungkin masyarakat Indonesia akan kembali disuguhi kekisruhan politik sebagaimana yang pernah terjadi di masa lengsernya Alm. Soeharto, masa BJ. Habibie dan masa kejatuhan Alm. Gus Dur. Otomatis, rakyat kecil lagi-lagi jadi korban, hidup normal dimasa pemerintahan yang stabil saja sudah cukup sulit. Tak tertahankan lagi derita rakyat bila kisruh. Bayangkan saat tulisan ini dibuat, beras seharga Rp.8000,- adalah sekualitas beras Raskin zaman orba dahulu. Tak heran, kini dipelbagai pelosok nasi aking kian terkenal dan semakin digemari. Sungguh alangkah tragisnya nasib puluhan juta rakyat yang masih mencari nafkah dengan bekerja serabutan. Bila PD menang dalam Pemilukada Jakarta, kekisruhan politik sebab ditinggal kawan dan diterjang lawan semakin kecil kemungkinannya terjadi. PD tetaplah tampil sebagai partai yang disegani kawan dan lawan. Pemerintahan periode ke II SBY dapat dipastikan stabil hingga akhir karena ternyata pada Pemilukada Jakarta, PD masih ada di hati masyarakat. Jika kemenangan ini terjadi maka, kestabilan situasi politik yang didapat! Pada akhirnya proses membangun masyarakat madani Indonesia tidak terganggu dengan carut-marut konflik elite politik. Lalu apa langkah penting PD sehingga berpeluang besar memenangi ajang Pemilukada Jakarta? Tentu saja :
- Tidak lagi menelurkan kebijakan yang sama sekali tidak cerdas seperti membeli kucing dalam karung. PD harus menentukan calon yang diusungnya itu memang sosok yang bersih dari segala KKN. Jika perlu lembaga/instansi yang dipimpinnya berhasil memperoleh predikat yang cukup memuaskan dari BPK RI.
- Bertindak benar-benar cerdas, yakni memilih calon Gubernur yang memang sudah terbukti kemampuannya dalam me-manage instansi pelayanan publik sebesar Pemprov DKI.
- Tidak membuat keputusan yang kontra populer seperti memilih satu dari dua Cagub diatas namun bukan Cagub terpopuler. Sekali lagi, apalagi bila PD berani memilih diluar dari nama kedua orang tersebut diatas, itu sama artinya dengan PD melakukan langkah yang benar-benar sama sekali tidak waras kuadrat pangkat dua!
- Membuat keputusan pro populer yakni, memilih Cagub yang benar-benar paling populer bukan berdasarkan bisikan orang-orang terdekat sang Cagub tetapi berdasarkan observasi lembaga-lembaga yang dikenal kenetralannya. Jika perlu, sang Cagub harus sudah dikenal se Jakarta walau oleh anak-anak setingkat kelas 2 SD sekalipun.
- Konsisten memenangi Pemilukada dengan cara yang jujur, adil dan bertanggung jawab. Jangan coba melakukan sedikitpun kecurangan karena akan berdampak balik sangat negatif, yakni musnahnya kepercayaan publik pada PD.
Pada dasarnya rakyat Indonesia memerlukan kestabilan pemerintahan walau hanya untuk sekedar makan. Alangkah baiknya bila para petinggi PD, partai besutan SBY ini, tidak memandang “medan” Jakarta sebagai hal kecil dan tak perlu diseriusi atau dirisaukan. Khusus untuk SBY, sebagai Presiden RI beliau wajib hukumnya menjaga agar pemerintahan tetap berjalan. Syarat mutlak bergeraknya roda pemerintahan adalah keberanian yang diiringi kewibawaan bukan belas kasihan kawan ataupun lawan. Sekalipun saat ini keadaan PD tidak lebih dari partai penuh kontradiksi dan carut-marut ketidakcerdasan tetapi, bukan berarti PD boleh sedikitpun kehilangan kepercayaan diri dalam ajang Pemilukada DKI, yang akan berakibat kehilangan kewibawaan. Bahkan bukan tidak mungkin kehilangan pemerintahan sebelum 2014 melalui cara-cara diluar konstitusional biasa. Demi stabilitas negara, SBY harus berani segera mengeluarkan Super Semar kepada kader PD terbaik pilihannya. Surat Perintah Sebelas Maret 2012 adalah surat perintah SBY kepada kader tersebut untuk memenangkan Pemilukada Jakarta, sekali lagi dengan jalan jujur, adil dan bertanggung jawab, demi stabilitas. Namun, bila nanti kemudian kader PD itu menang, rakyat Indonesia juga memiliki kewajiban untuk meningkatkan kepedulian terhadap jalannya sisa pemerintahan SBY dan pemerintahan itu haruslah berjalan bersih sebersih-bersihnya! Seyogyanyalah para petinggi PD menunjukan perilakunya sebagaimana buah yang matang di pohon, bukan buah yang matang dikarbit, sebab bagaimanapun, buah matang pohon lebih layak dan enak untuk disajikan bagi kami semua, rakyat Indonesia! Terakhir, hanya melalu medialah tulisan ini mungkin bisa sampai kepada Presiden SBY yang mungkin sedikit banyak tulisan ini membawa manfaat. Sehingga tak perlulah rasanya memenuhi seruan yang sama sekali tidak cerdas dari seorang kader PD untuk memboikot media!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H