Mohon tunggu...
Riza Novara
Riza Novara Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta, dosen, penikmat sosial, musik, dan film

pengamat sosial, musik, dan film

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menggilanya Harga Tiket Pesawat

22 Juli 2024   15:36 Diperbarui: 25 Juli 2024   08:45 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pesawat Terbang (sumber: https://mappingmemories.ca/imagenes-transporte-aereo-k.html)

Komitmen Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap perkembangan industri pariwisata Indonesia sebenarnya cukuplah tinggi, baik itu peningkatan kunjungan wisatawan domestik maupun kunjungan wisata mancanegara. Diantara berbagai komitmen tersebut, yang terdengar terakhir ini adalah dengan mengalokasikan dana sebesar 2 triliun rupiah sebagai dana abadi untuk pariwisata Indonesia. Dana abadi ini direncanakan bisa dipergunakan untuk membuat berbagai event yang nantinya akan menggairahkan kembali sektor pariwisata ini.

Hanya saja, sepertinya ada yang tidak sinkron antara komitmen dari Presiden Joko Widodo ini dengan beberapa elemen pendukung kegiatan pariwisata di Indonesia, seperti misalnya adalah sektor transportasi udara atau penerbangan. Sebagai negara kepulauan, pariwisata di Indonesia mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi terhadap transportasi udara. Sesuatu yang terjadi dengan penerbangan, akan berdampak langsung kepada pariwisata yang dituju. Dan entah apa yang terjadi di sektor transportasi udara ini. Sesuatu yang hampir tidak bisa dipikirkan secara logika, terjadi dengan penerbangan domestik di Indonesia. Kondisi yang sama pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketika tarif tiket pesawat domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan penerbangan luar negeri, dengan tujuan yang sama.

Seperti misalnya apa yang saya alami sebagai berikut. Saya dan istri secara rutin melakukan perjalanan Padang -- Jakarta melalui transportasi udara, setidaknya setiap tiga atau empat bulan sekali.  Beberapa waktu lalu, kami mencoba untuk mencari tiket penerbangan Padang -- Jakarta melalui Online Travel Agent (OTA). Kami menemukan bahwa dengan maskapai domestik, tiket termurah untuk rute sekali jalan adalah Rp. 1.081.300,00 per orang. Sementara di waktu yang kurang lebih sama, harga tiket penerbangan dengan maskapai Malaysia untuk rute Padang -- Kuala Lumpur adalah Rp. 238.000,00 per orang, dan tiket Kuala Lumpur -- Jakarta dengan maskapai tersebut adalah Rp. 534.000,00 per orang. Jadi, total harga tiket Padang -- Kuala Lumpur -- Jakarta dengan adalah Rp. 772.000,00 per orang, dengan maskapai penerbangan Malaysia.

Kejadian ini mengulang apa yang terjadi beberapa tahun lalu, ketika selama hampir setengah tahun kami terus melakukan perjalanan Padang -- Jakarta dan sebaliknya, melalui Kuala Lumpur. Sebagai orang umum yang tidak mengerti cost structure dari penerbangan, hal yang terjadi ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin, perjalanan langsung dari Padang -- Jakarta yang menempuh kurang lebih 929,6 km dan ditempuh dalam waktu 1 jam 50 menit tersebut, bisa lebih mahal dibandingkan dengan perjalanan tidak langsung Padang -- Kuala Lumpur -- Jakarta?

Bila dicermati, jarak Padang -- Kuala Lumpur adalah 470,22 kilometer, dan biasanya ditempuh dengan penerbangan selama 1 jam 14 menit. Sementara jarak Kuala Lumpur -- Jakarta adalah 1.180,41 kilometer, dan ditempuh dalam 2 jam 9 menit. Sehingga, total jarak Padang -- Jakarta jika melalui Kuala Lumpur adalah 1.650,63 kilometer, dengan total waktu tempuh 3 jam 23 menit. Disamping itu seharusnya biaya penanganan pesawat di bandara pun menjadi lebih banyak apabila harus "mampir" terlebih dahulu di Kuala Lumpur.

Keingintahuan yang besar mendorong saya untuk melakukan simulasi perjalanan yang lain. Saya mencoba mencari tahu berapa harga tiket pesawat perjalanan dari Padang ke Medan. Harga tiket penerbangan langsung Padang -- Medan yang termurah pada saat pencarian tersebut adalah Rp. 983.000,00 untuk satu orang, satu kali penerbangan. Sementara apabila penerbangan melalui Kuala Lumpur adalah sebagai berikut: Padang -- Kuala Lumpur Rp. 238.000,00 untuk satu orang satu kali penerbangan. Dan tiket pesawat Kuala Lumpur -- Padang adalah Rp. 471.362,00 untuk satu orang satu kali penerbangan. Jadi total biaya Padang -- Kuala Lumpur -- Medan adalah Rp. 709.362,00 untuk satu orang satu kali penerbangan. Kembali terlihat perjalanan melalui Kuala Lumpur adalah lebih murah dibandingkan dengan penerbangan langsung Padang -- Medan. Padahal sudah pasti perjalanan melalui Kuala Lumpur lebih jauh dan lebih lama karena sebenarnya perjalanan tersebut memutar dulu menuju Kuala Lumpur.

Hal sama yang terjadi pada penerbangan kedua rute tersebut, Padang -- Jakarta dan Padang -- Medan. Yang muncul sementara di pikiran kami sebagai orang awam ini ada berbagai hal antara lain, apakah ini karena strategi pemotongan harga yang dilakukan maskapai penerbangan Malaysia untuk menarik wisatawan dari Padang atau Indonesia? Ataukah ada inefisiensi yang terjadi di penerbangan domestik Indonesia? Ataukah ada pungutan-pungutan yang terjadi pada maskapai domestik Indonesia yang berakibat tingginya harga tiket? Ataukah kombinasi antara kemungkinan-kemungkinan tersebut?

Apa yang terjadi ini seolah diamini oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Bapak Luhut Binsar Panjaitan, dimana baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang membuat kami sebagai pelaku pariwisata cukup prihatin yaitu bahwa tiket pesawat Indonesia termahal kedua di dunia. Apa yang terjadi ini sudah pasti menjadi kontra produktif terhadap segala upaya dan visi Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan sektor pariwisata khususnya keinginan agar wisatawan Indonesia untuk berwisata di dalam negeri saja. Setidaknya dari kasus di Padang ini membuat wisatawan akan lebih memilih pergi ke Kuala Lumpur dibandingkan ke Jakarta.

Kekecewaan Bapak Joko Widodo beberapa waktu lalu terhadap tingginya pejabat negara yang berwisata keluar negeri menjadi sesuatu yang bisa jadi terjawab. Ini bukan masalah nasionalisme atau pemborosan, malah bisa jadi ini adalah bentuk pengiritan karena berwisata ke luar negeri lebih murah dibandingkan dengan berwisata di dalam negeri.

Kondisi tingginya harga tiket pesawat ini direspon oleh Menteri Pariwisata Bapak Sandiaga Uno yang akan membuat sebuah satgas untuk membahas hal ini. Satgas? Perlukah dibuat sebuah satgas untuk mengatasi hal ini? Bukankah ini sepenuhnya wewenang Kementerian Perhubungan dan pihak swasta terkait?

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut dengan beberapa alasan sebagai berikut:

1. Seharusnya kewenangan penuh ada di Kementerian Perhubungan, dalam hal ini Direktorat Jendral Perhubungan Udara dibawah Direktur Angkutan Udara.

2. Dengan pembentukan Satgas membuat pihak yang mengambil Keputusan tersebut akan semakin "gemuk" yang berakibat proses pengambilan keputusan akan lebih panjang dan akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini sepertinya terbukti dari pernyataan Menteri Pariwisata Bapak Sandiaga Uno yang mengatakan baru-baru ini bahwa menargetkan harga tiket pesawat turun sebelum berakhirnya kepemimpinan Bapak Joko Widodo pada bulan Oktober (berarti kurang lebih 4 bulan untuk menuntaskan masalah ini). Apakah memang sepelik itukah masalahnya sehingga membutuhkan waktu kurang lebih 4 bulan dengan melibatkan banyak pihak?

3. Keterlibatan banyak pihak akan membuat kompleksitas tersendiri karena bukan tidak mungkin setiap pihak akan mempunyai sudut pandang yang berbeda dan dengan agendanya masing-masing.

4. Dan yang jelas bahwa keberadaan Satgas ini akan membutuhkan anggaran tambahan lagi, untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu karena sudah ada yang seharusnya bertanggung jawab dibidang ini.

Diluar hal tersebut diatas, pertanyaan baru muncul. Mengapa urusan tiket pesawat yang mahal ini sepertinya inisiatif dari Kementrian Pariwisata? Mengapa Kementrian Perhubungan tidak angkat bicara, atau menginisasi dan mengambil inisiatif untuk mencari solusi terhadap masalah ini? 

Salah satu solusi yang perlu untuk sangat dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan adalah membuka keran untuk maskapai asing khususnya yang berkonsep low cost carrier untuk beroperasi di rute "gemuk" domestik. Hal ini bisa menjadi solusi jitu agar persaingan yang lebih baik untuk penerbangan domestik. Tidak ada gunanya untuk memberlakukan proteksi untuk sektor ini apabila yang terjadi malah justru mencekik masyarakat dan tidak bisa memberikan kontribusi untuk pembangunan.

Sangatlah disayangkan bahwa keinginan Presiden Joko Widodo agar wisatawan Indonesia akan memprioritaskan kunjungan berwisata di Indonesia dulu dibandingkan keluar negeri sepertinya tidak terlalu didukung elemen elemen dibawahnya.

Bukittinggi, 20 Juli 2024

(Riza Novara -- pemilik hotel, pelaku pariwisata)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun