Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Festivalisasi Kemunafikan

16 Agustus 2013   19:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:13 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isi perutnya terburai. Tubuhnya berlumuran darah. Clurit perampok itu telah menghabisi nyawa keturunan Tionghoa yang terkenal kaya di desa Jatibarang puluhan tahun lampau itu. Selentingan kabar korban dibacok karena kukuh tidak mau menyerahkan hartanya. Harta bisa dicari lagi, nyawa cuma satu, lalu mengapa tidak menyerah saja? Sejatinya ini bukan sekadar masalah harta yang tak seberapa dan bisa dicari lagi itu. Sungguh.
*
Ini sebuah pembantaian. Ribuan nyawa demonstran damai melayang oleh tangan-tangan besi militer dan polisi Mesir. Dibidik, diasap, ditembak, dibakar, dibunuh, dilindas adalah cara-cara barbar yang digunakan aparat untuk membubarkan demonstran yang sedang menuntut haknya untuk mengembalikan  Mursi ke  kursi kepresidenannya.
“Ternyata semua ini tentang kursi kepresidenan,” cuit seorang ustadz. Tidak sesederhana itu wahai Ustadz yang terhormat. Kursi itu diraih dengan cara yang menurut orang zaman sekarang adalah cara yang paling beradab, moderen, sesuai kesopanan dan etika dunia abad 21: pemilihan umum. Diperoleh dengan cara yang sedemokratis mungkin. Maka ketidaksetujuan terhadap kebijakan presiden terpilih, selayaknya disalurkan dengan cara yang telah diatur pula sesuai dengan etika orang-orang yang beradab itu: tidak memilihnya lagi di pemilihan umum selanjutnya.
Maka wajar ketika kudeta yang dilakukan militer dan didukung oleh antek-antek Mubarak dan para liberalis itu dilawan dengan demonstrasi damai oleh para pendukung Mursi. Sebuah demo untuk melawan perampokan di siang bolong di sebuah tatanan dunia yang begitu mengagung-agungkan demokrasi.
Ini bukan sekadar kursi kepresidenan, melainkan sebuah perjuangan menuntut hak yang telah dirampas itu dengan demo marathon yang membutuhkan nafas esktra panjang. Dan ini sah. Bahkan sekalipun terbunuh dalam rangka mempertahankan haknya itu. Hadits riwayat Abdullah bin Amru Radhiallaahu‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu’alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang terbunuh demi mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. (Hadits Marfu’, Mutawatir).
Akankah mereka para pendemo itu tidak tahu syariat daripada orang yang saya ceritakan di atas yang tidak tahu Islam tetapi mampu untuk mati dalam rangka mempertahankan hartanya? Tidak. Mereka beda.  Mereka mencintai kematian. Dan tidak ada sesuatu apapun yang bisa mengalahkan orang-orang yang mencintai kematian.  Tidak Fir’aun atau Assisi sekalipun. Bahkan dunia yang sedang diam ini.

Festivalisasi Kemunafikan
Ya, dengan dunia yang diam, dengan Amerika Serikat (AS) sebagai pengasong dan penjaga demokrasi yang bermuka dua. Ini sebuah festivalisasi kemunafikan negara adidaya itu. Berderet panjang ambivalensi AS ketika demokrasi dimenangkan oleh partai-partai berlabel Islam. Jadi sebenarnya tidak ada ruang leluasa buat umat Islam ketika demokrasi sebagai alat perjuangan umat dimenangkan kecuali ia harus menjadi jongos AS terlebih dahulu.

Kemunafikan ini dijaga agar tetap eksis karena ini menyangkut eksistensi Israel sebagai satelit AS, belanja senjata trilyunan dolar AS oleh para raja Timur Tengah. Dus, sumber daya alam yang begitu berlimpah di sana. Maka kekacauan dibuat sedemikian rupa agar wilayah panas itu tak pernah jeda sejenak untuk mengambil nafas kedamaian.

Ditambah para penguasa diktator dan despotis itu membiarkan lenyapnya nyawa saudara sebangsanya itu selama berdekade AS mengambil peran di sana. Tak ada kegetiran sedikit pun bahwa mereka hanya jadi boneka yang bisa dipermainkan setiap saat oleh dalangnya. Tak heran anggapan ini marak: nyawa orang Arab itu murah. Tidak ada harganya. Satu dua mati, prihatin. Banyak yang mati cuma jadi statistik.
Peran kekhalifahan dengan eranya yang begitu mencengangkan sejarah tidak diambil oleh para raja itu karena mereka sadar, sekali mereka muncul akan dibabat habis oleh para diktator lain yang menginginkan peran yang sama tapi nirkerja dan nirmandat.  Sampai kapan kemunafikan ini terus difestivalisasi?
Lalu sampai kapan pembantaian ini didiamkan saja? Wahai para raja, muslim di seluruh dunia, dan para manusia di kolong jagat raya ini, letakkan dalam hati—jika kalian masih memilikinya—perkataan Erdogan ini: “Anda tak perlu menjadi rakyat Mesir untuk bersimpati, Anda hanya perlu menjadi manusia.”
***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Di satu hari menjelang kemerdekaan
08:37 16 Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun