Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mental Feodal - Mental Inlander

21 Maret 2013   15:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:26 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman ini feodalisme itu masih melekat pada jiwa-jiwa anak negeri. Plus inferiority complex. Sempurna sudah. Hasil dari penjajahan Belanda selama ratusan tahun dengan salah satu metodenya: pemisahan dan pembedaan kelas masyarakat.  Maka yang terbentuk dalam alam bawah sadarnya adalah mereka yang punya jabatan tinggi dan berwajah bule adalah simbol paling layak untuk mendapatkan segala penghormatan dari mereka dengan status yang berada di level terbawah.
Seorang satpam berkali-kali bilang kepada para pegawai kementerian tanpa tanda pengenal yang berada di gedung itu untuk memakai ID Card.  Kartu itu sekaligus sebagai kartu akses melewati berbagai pintu masuk lobi dan pintu ruangan kerja. Jangan pernah merasa tersinggung mendapatkan teguran seperti itu, karena memang tugas mereka.
Tapi sayang tugas itu terasa diskriminatif karena teguran itu tak pernah ditujukan kepada para pejabat kementerian yang tidak memakai kartu tanda pengenal. Maka yang terjadi adalah satpam itu membuka pintu akses dengan wajah penuh senyum dan rasa hormat ditulus-tuluskan. Padahal sesuai aturan yang berlaku memakai kartu tanda pengenal adalah kewajiban untuk setiap pegawai.
Ada argumentasi yang mengemuka bahwa satpam tidak menegur karena pastinya sudah mengenal wajah segelintir petinggi kementerian yang wajib dihormati itu. Jika menganut asas kesetaraan maka sudah selayaknya pula satpam itu harus mampu untuk mengenali ribuan wajah pegawai kementerian yang berada di dalam gedung itu. Mustahil.
Maka kerja satpam yang paling realistis adalah cukup dengan ketegasan yang diberikan kepada semua pegawai tak ber-ID Card tanpa memandang status kepegawaiannya. Tanpa  bersusah payah menghapal ribuan wajah. Ini namanya profesional.
Tapi akan ada saja yang tidak setuju dan ingin ada pengkhususan-untuk tidak mengatatakan priviledge-kepada para pejabat itu. Mengingat kita hidup dengan budaya timur yang kental dengan rasa penghormatan, tapi sebenarnya itu hanya eufeumisme dari feodalisme yang masih tertinggal.
Dus,  ada lagi yang akan berpendapat: satpam memberikan pengecualian itu wajar karena para pejabatlah yang membayar gaji mereka. Tapi ini sudah jelas kelirunya karena dari dana APBN gaji para satpam itu dibayarkan. Uang rakyat. Uang yang dikumpulkan dari para pembayar pajak.
Kita akan temukan lagi gestur berbeda jika para satpam itu kedatangan para bule. Perlakuan ini akan lebih-lebih bedanya. Tanpa ada pemeriksaan pemindai ke dalam tas mereka, tanpa ada ID Card buat tamu, dan memakai lift khusus. Penghormatannya bahkan lebih dari yang didapat para bule melayu itu.
Miris. Tapi inilah Indonesia sejatinya, saat aturan dibuat untuk dilanggar, saat para pemimpin miskin akan keteladanan, saat hukum hanya tajam ke bawah tetapi majal ke atas. Skeptis? Ah, harapan itu masih ada. Biarlah mimpi-mimpi datangnya sosok pemimpin yang kaya keteladanan menghiasi malam-malam. Karena mimpi dan harapan itulah yang selalu membuat kita hidup. Tanpa mental feodal. Tanpa mental inlander.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
23.59 20 Maret 2013

Gambar diambil dari sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun