Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Negeri atau Pesantren?

25 Maret 2012   17:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29 3262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Waktu saya masih di Jatibarang, Indramayu, sampai dengan tahun 1994-an yang namanya sekolah swasta Islam itu entah itu yang namanya Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, ataupun Nahdhatul ‘Ulama, semuanya  itu adalah sekolah-sekolah yang tidak diminati. Semoga sekarang bisa lain ceritanya yah.

Ada lagi sekolah swasta buat kalangan tertentu seperti Sekolah Dasar (SD) dan SMP Kristen. Disebut kalangan tertentu ini karena kebanyakan yang sekolah di sana adalah anak-anak keturunan Tionghoa yang kaya dan memegang kendali ekonomi Jatibarang. Yang menjadi populer dan jaminan mutu serta diminati oleh masyarakat pada saat itu adalah sekolah negeri, salah satunya SMP Negeri 1 Jatibarang. Setelahnya nanti bisa pergi ke Indramayu menuju Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 atau Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Indramayu atau ke Cirebon menuju SMA Negeri 1 dan 2 Cirebon.

Bertahun-tahun kemudian setelah bekerja di Jakarta dan tinggal di Bogor lalu mempunyai anak-anak yang kini tumbuh dewasa dan siap lepas dari SD apakah SMP Negeri akan menjadi tujuan utama dari saya? Sungguh, demi Allah, tidak terpikirkan sama sekali, babar blas, walau anak pertama kami, Mas Haqi, menginginkan untuk bisa masuk SMP Negeri. Mengapa?

Melihat kondisi dan situasi zaman sekarang terasa sekali bahwa sekadar sekolah gratis atau berlabel negeri plus RSBI, banyak prestasi yang diraih, pun dengan deretan piala yang terpajang tidak menjamin sekolah itu mampu membuat anak menjadi berakhlak dan kuat dalam menghadapi serangan-serangan modernitas. Muncul ketakutan-ketakutan yang terpikirkan seperti pergaulan yang salah arah hingga mengarah kepada pacaran sampai berhubungan seks, obat-obatan, serta akhlak yang tidak terpuji. Banyak pemberitaan yang mengabarkan hal itu.

Saya menyadari bahwa penilaian ini adalah penilaian subyektif dan relatif kami. Bahkan sebenarnya alasan yang paling mendasar adalah kelemahan kami berupa ketidakmampuan dalam memberikan pengawasan kepada anak-anak sehingga tidak berani untuk menyekolahkan anak kami di SMP Negeri.

Tetapi kami juga meyakini bahwa yang kami butuhkan untuk anak-anak kami adalah tidak sekadar sukses berprestasi secara akademik tetapi bagaimana mereka juga mampu untuk sukses berprestasi secara spiritual. Dan itu butuh miliu yang mampu membentuk semua itu. Pesantren, ya  hanya pesantren yang ada dalam pikiran kami. Dari ribuan pesantren yang ada di tanah air ini, pilihan kami jatuh pada pesantren berbasis tarbiyah.

Pesantren berbasis tarbiyah bagi kami mampu untuk membentuk keduanya secara seimbang. Bahkan menukik pada orang-perorang santrinya, lembaga seperti itu mampu untuk membentuk santri yang mempunyai akal yang cerdas, jasad yang sehat, dan ruh yang kuat. Bukankah itu adalah sebuah kombinasi dari sebuah ketawazunan?

Selain itu dalam pemikiran awam kami pesantren berbasis tarbiyah ini mampu bersikap moderat dalam fikih dan menekankan sekali pada interaksinya dengan alqur’an serta memberikan dasar-dasar atau pondasi tentang syumuliyatul Islam. Ini yang kami cari dan berharap banyak pada lembaga itu.

Dan bulan Desember tahun  lalu, kami mulai browsing mencari pengumuman pendaftaran pesantren berbasis tarbiyah itu. SMPIT dan Pesantren Assyifa yang ada di Subang menjadi bidikan kami yang paling utama. Lalu terlacak dan terbayang alternatif lain seperti Pesantren Al Kahfi yang dekat dengan Lido, lalu Ma’had Rahmaniyah Al Islami asuhan  Ustadz Bakrun Lc yang ada di Cilodong Bogor, serta SMPIT AlQalam. Yang terakhir ini tidak ada pesantrennya, hanya SMPIT.

Keempat-empatnya tidak mudah untuk dimasuki. Semuanya mengadakan tes seleksi masuk. Karena daya tampungnya masih lebih kecil daripada permintaan yang ada. Assyifa dan Al Kahfi dengan 1000  lebih pendaftar memang menjadi pesantren yang paling diminati.

Mas Haqi tidak lolos di Assyifa. Tidak apalah. Padahal kami memang berharap Mas Haqi bisa masuk ke situ. Hawa pegunungan yang melingkupi pesantren dan mendukung dalam proses belajar mengajar, serta sistem yang sudah mapan menjadi alasan utama kami memasukkan Mas Haqi ke sana. Ya sudah. Masih ada tiga alternatif lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun