Mohon tunggu...
Riza Almanfaluthi
Riza Almanfaluthi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hamba Allah, abdi negara, penulis, blogger, rizaalmanfaluthi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dialog Imajiner: Aku dan Kucing Pejantan

21 Maret 2011   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:36 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13006728802023966356

Lama waktu berjalan tanpa sanggup mengingatkan saya untuk melakukan obrolan santai bersama kucing jantan yang satu ini. Bulunya didominasi warna putih, ada warna hitam di telinga kiri, punggung, dan ujung ekornya.

Baru kali ini di rumah saya ada kucing pejantan yang manja, mau dielus-elus, dan tak jiperan sama manusia. Kalau disapa push push, ketika lagi jalan santai, dia berhenti lalu menengok ke arah suara, melihat sebentar yang menyapanya itu bawa daging atau enggak, kalau enggak dia jalan saja terus. Cool.

Sering masuk rumah dan hobi banget menggosok-gosokkanbadannya di kaki saya. Tapi memang satu yang kurang ajar dari binatang ini adalah menyemprotkan air seninya sembarangan. Biasalah tabiat pejantan untuk menandai daerah kekuasaannya dengan cara itu. Pun, untuk memberitahu kepada kucing betinanya kalau dia itu available, jomblo, sendiri, siap untuk kawin. Yang jenis kelamin sama, “awas loh, gue siap bertarung dengan elo,” itu yang dipikirkan oleh kucing jantan ini.

Punya nama? Ah, enggak. Saya enggak pernah menamainya. Sempat berniat untuk memberi namanya dengan kucing garong. Kelakuannya memang begitu kok. Dia itu malu-malu kucing sama kita, di depan penurut banget. Tapi kalau kita enggak ada di depan matanya. Dia siap untuk menggarong apa saja. Lauk di atas meja atau kelinci yang di kandang di depan rumah habis disikat.

Ibu-ibu tetangga saya pun komplain, “Bi… hati-hati loh Bi sama kucing itu, digebukin sama sapu juga enggak mau keluar dari rumah, tukang nyolong pula.” Kucing jantan itu kalau dengar omongan sinis dari ibu-ibu itu dengan santainya cuma bilang: “ngeong…ngeong.” Bukankah sudah dibilang, rumah saya pernah dijejali dengan semprotan air seninya, maka karena ia merasa bahwa rumah ini sudah jadi daerah kekuasaannya, bahkan istananya yang terindah, digebukin juga kagak mau keluar dia.

Herannya dia tahu betul tempat yang enak buat melingkarkan tubuhnya dan tidur pulas. Di sofa, di bawah televisi, atau di kursi belakang dekat meja dapur. Kalau sudah begitu, suara mercon juga enggak bisa membangunkannya. Lebay sih pengungkapan demikian.

Mana mungkinlah, soalnya anjing saja yang pendengarannya lima kali lebih tajam daripada manusia kalah dua kali dibandingkan kucing. Artinya manusia kalah 10 kali pendengarannya. Jadi kalau manusia jika tidur cuma bisa mendengkur dan mimpi, kucing tambah satu lagi, telinganya bisa jadi radar untuk mengetahui yang datang menghampiri dirinya itu kecoa, tikus, tokek, atau manusia yang bawa penggebuk.

Nah, hari ini dia datang lagi ke rumah saya. Enggak mengucapkan “Assalaamu’alaikum” atau “sampurasun duluur” dia masuk dan langsung ke belakang, mengorek-ngorek tong sampah. Walau kita tak mau dianggap saudara sama dia, bukanlah lebih baik mengucapkan salam jika masuk rumah, nah apabila manusia enggak salam kalau masuk rumah seperti siapa tuh?

Sebelum dia pergi karena tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan di tong sampah, saya ajak dulu ngobrol atau bahasa kerennya saya ingin berdialog dengannya, dialog imajiner.

Riza: Push, jangan pergi dulu, saya mau bicara sama kamu. (Seperti biasa dia cool nengoknya)

Pejantan: Ada apa pak Tua?

Riza: Hussss…kan sudah pernah saya bilang dulu, jangan memanggil saya seperti itu dong!

Pejantan:Emang sudah tua, tuh ubannya tambah banyak lagi. Depan dan samping kanan. Mau memungkiri? Kalau enggak mau, gue pergi. (enak banget dia ngomong gue-gue)

Riza: Oke-oke, saya tak akan memaksa.

Pejantan: Satu lagi gue tak mau bicara politik dulu, Pak Tua. Bosaaaaan!

Riza: Iya, iya. Lagian siapa yang mau ngajak kamu ngomong politik? Sore ini saya mau bicara tentang …

Pejantan: Tunggu, tunggu dulu! Emangnya gue dapat apa nih sore ini?

Riza: Halah, transaksional banget sih kamu Cing, kayak politikus di istana itu. Tenang, kita makan bareng sore ini. Buka puasa bersama. Deal or no deal?No Deal? Kamu pergi saja. (Sedikit mengancam, memangnya manusia saja yang bisa ditekan?)

Pejantan: Ngeong… (Ini pertanda dia menyerah, saya tahu betul kok, kalau bersoal tentang makanan dia keok)

Riza: Saya mau cerita dulu tentang suatu hal Cing. Ternyata umur seseorang itu bukan penanda dari kedewasaan berpikir atau tepatnya bertambahnya wawasan kita. Jadi semakin tua kita belum tentu wawasan berpikir kita jadi banyak dan luas gitu loh.

Pejantan: Ya…sederhananya sajalah Pak Tua.

Riza: Contohnya saya ini Cing, hampir 35 tahun saya tuh baru tahu kalau aishiteru itu artinya aku padamu.

Pejantan : Halah ada yang kurang tuh, 5 huruf lagi.

Riza: Iya saya tahu, tapi tak perlu disebut di sini ah, malu saya. Tapi kok kamu tahu sih Cing?

Pejantan: Dari zaman jebot gue juga sudah tahu.

Riza: Saya tahunya tuh kalau aku padamu dalam bahasa Inggrisnya ya I love you, bahasa jermannya ich liebe dich, sunda: abdi bogoh ka anjeun, jawa: aku tresno karo kowe, arab: ana uhibbuk, cinanya: wo ai ni, bahasa dermayunya: kita demen ning sira. Itu saja. Tahulah pokoknya dari SMP.

Pejantan: Terus…

Riza: Waktu baca, saya nemu kata itu. Lalu saya tanya sama orang aishiteru itu apa? Kayaknya heboh banget gitu. Orang yang ditanya malah bilang: “di googling saja.”

Pejantan : Terus…

Riza: Saya kira awalnya itu nama band Korea yang nyanyiin lagu nobody-nobody. Eh tahunya, itu ternyata aku padamu. Tepuk jidat saya, plak…!!! Oh itu…

Pejantan: Ha…ha…ha…katro. Pak Tua memang bukan lagi zamannya.Terus apa lagi Pak Tua. Di kita mah, di dunia kucing, enggak butuh-butuh itu. Yang penting muka badak dan kuat begadang. Semalaman mengikuti betina, tak bisa langsung diterima gitu.

Riza: Oh gitu Cing…memangnya enggak ada tuh perasaan berdesir-desir, perasaan jatuh cinta, perasaan bergetar kalau disebut namanya, atau perasaan apapun yang mendominasi orang yang sedang jatuh cinta?

Pejantan: Itu cuma ada di manusia, kita cuma punya insting alami saja. Kalau pun ada itu cuma di walt disney pictures…

Riza: Oh gitu yah…

Pejantan: Pak Tua, sayangnya manusia kebanyakan lupa.

Riza: Lupa pegimane Cing?

Pejantan: Berdesir-desir, berbunga-bunga, bergetar-getar, berkebun-kebun itu saat manusia jatuh cinta pada sejenisnya. Berdesir saat disebut namanya, melihat orangnya, melihat gambarnya, saat menerima pesan-pesan darinya, panjang ataupun pendek, saat berbicara dengannya. Ada yang hilang ketika sapaan dan keberadaannya tak kunjung datang. Ada sebuah persatuan yang dicita pada orang yang dicintai. Ini sebuah kelaziman.

Riza: Wah wise banget Cing.

Pejantan: Belum selesai gue.

Riza: Oke teruskan.

Pejantan: Empati menjadi sebuah keharusan. Turut merasakan apa yang dirasakan yang dicintainya. Jika sedih, ia sedih. Jika bahagia, ia pun bahagia. Semua perasaan yang pernah ada di muka bumi yang dimiliki kekasih pun menjadi sebuah perasaan yang turut ia rasakan semuanya. Muncullah tanda-tanda cinta di sana seperti banyak mengingat, banyak memimpikannya, banyak menyebut, kagum, rela, berkorban , cemas, berharap dan ta’at. Masalahnya ketika Yang Nyiptain kita menuntut begitu, manusia sebaliknya.

Riza: Waduh nyindir Cing.

Pejantan: Ngerasa Pak Tua?

Riza: Kalau begini saya diam sajalah, dengerin.

Pejantan: Coba kalau ada nama Allah—yang wajib dicinta itu—disebut, gemetar enggak Lo?

Riza : Saya tertohok.

Pejantan: Atau kalaupesan-pesan dari langit dibacakan bertambah Iman kagak Lo?

Riza: Saya tertusuk Cing, hiks.

Pejantan: Nah, gitulah manusia. Bersyukurlah gue jadi binatang. Tidak dimintakan pertanggungjawabannya. Elo? Jangan salah ya Umar bin Khaththab saja kalau bisa memilih ingin hidup jadi binatang supaya jangan dituntut di sana.

Riza: Cing…

Pejantan: Yup.

Riza: Stop dulu deh sampai di sini. Saya kelu Cing.

Pejantan: Padahal ini baru awal Pak Tua. Masih banyak yang ingin gue sampaikan sama elo.

Riza : Iya…ya, saya tahu. Tapi nanti saja dulu deh. Tuh daging ayamnya sudah siap. Lagian azan maghrib sudah mau berkumandang. Tapi terus terang Cing dialog kita, dialog kau aku, sore hari ini, menyentuh saya. Kok bisa Cing kamu tahu banyak gitu?

Pejantan: Dengerin ceramahnya ustadz di masjid dan majelis taklim gitu Pak Tua. Gue kesana bukan cuma nyari Cicak yang lagi sial doang.

Riza: Yah sudah makan dulu aja. (Tumben nih gue baik banget sama kucing pejantan ini). Ohya Cing, sebelum kita mengakhiri ini, walau saya senang kamu, saya tak mau bilang padamu: aishiteru yah.

Pejantan: Halah, najis. Ogah gue juga.

Riza: Wadaw….

Akhirnya selesai sudah dialog singkat saya dan dia. Yang pada akhirnya juga dia tetap kucing yang cuma bisa mengeong-ngeong. Saya juga terbengong-bengong. Terdiam dan terlongong-longong. Seperti tersedak oleh biji kedondong. Masak saya ngomong sendiri sama kucing. Untung belum ada yang bilang: Edan!.

Senyatanya aku gila. Cuma padamu.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Cuma fiksi

08.13 21 Maret 2011

Tags: kucing pejantan, aishiteru, dialog imajiner, googling, google, deal or no deal, jepang, jerman, sunda, indramayu, jawa, inggris, korea, nobody nobody

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun