Pak Ahok, apakah diperbolehkan saya mengatai Anda sebagaimana Anda mengatai orang-orang yang Anda anggap ‘salah’? Bolehkah Pak?. Apakah nantinya para pendukung Bapak akan menyerang saya. Mengata-ngatai saya juga begitu?.
Lagi-lagi ini bukan soal SARA ya Pak. Melainkan menyoal apakah kiranya bahasa dan tindakan yang menjadi ciri khas Bapak pantas dan layak. Dalam subyektifitas saya lho ya. Dalam pandangan pribadi saya lho ya.
Sebelumnya, saya mohon maaf sekali kalau salah-salah menuliskan sesuatu. Saya tidak ingin di-bully atau apalah. Jika tidak sepakat dengan tulisan ini, monggo ditanggapi dengan tulisan juga. Artikel juga. Opini juga. Kan sepadan.
Saya orang Jawa Pak. Jawa tulen. Boleh dibilang tulen sekali. Saking tulennya kadang-kadang saya sendiri sadar kalau saya ini dalam berkomentar, berpendapat, bertingkah polah Jawa sekali. Selalu membawa-bawa unsur Jawa. Selalu membanggakan identitas saya sebagai orang Jawa. Buat saya Pokoknya Jawa is the best Pak.
Saat pemilihan Gubernur Jakarta kemarin saya mendukung Pak Jokowi namun -mohon maaf sekali- saya tidak ada niatan mendukung Bapak. Yah kepaksa aja, mau ndak mau aja. Lha wong Bapak pasangan Pak Jokowi e. Njuk kepiye maneh. Jujur saya waktu itu bagi saya, sing penting Gubernure wong Jowo.
Tidak hanya sekedar urusan Gubernur Pak, bagi saya juga, Presidennya harus orang Jawa. Pemikiran saya mungkin dangkal dan agak-agak gimana. Tapi itu kenyataan lho Pak. Bukan maksud saya tidak mendukung Bapak gara-gara Bapak keturunan China, jelas bukan. Nanti saya dituduh begitu lagi. Asal bapak tau, biarpun Mas Dhani ada Jawa-Jawa-nya, saya tetap ga mendukung dia jadi Gubernur. Wes lah, kok melantur jauh.
Saya tidak akan paparkan bahasa dan tindakan pada tataran Negara, terlalu besar dan terlalu berangan-angan barangkali. Lebih-lebih saya ga mengerti. Saya mah apak Pak. Saya hanya akan menceritakan bagaimana di tempat saya berasal, sebuah Desa kecil di Jawa Tengah yang masih mengedepankan kesantunan dalam berpolitik (tentunya politik lingkupan Desa). Hanya sekedar contoh kecil tentang makna deheman.
Tutur kata bagi saya, mungkin juga kami, orang Jawa sangat penting. Saya kadang sering dimarahi Ibu saya saat tidak menggunakan bahasa Jawa halus dengan yang lebih tua. Itulah mengapa di suku kami, Jawa, ada tingkatan bahasa dan peruntukannya. Kesantunan bagi saya sangat penting. Apalagi untuk ukuran pemimpin. Semestinya juga penting.
Di tempat saya Pak, seorang Kepala Desa saat berembuk di Balai Desa tentang sesuatu hal, tidak perlu mengatakan dan berteriak ‘Diam kalian semua’ atau ungkapan kasar lainnya ketika warganya berisik dan saling cela. Hanya dengan berdeham saja semua warga sudah diam. Mereka semua mengerti.
Arti deheman seorang Kepala Desa saja sudah menunjukkan sebuah perintah diam. Bahkan tanpa mengucap kata diam itu sendiri. Apalagi deheman Bapak. Tanpa mengucapkan ‘BPK ngaco’ pun saya rasa kita semua paham maksud Bapak.
Eheemmm, BPK yaaa… kan lebih keren kesannya Pak. Bukan maksud saya ngajari lho ya. Contoh saja. Perbandingan saja. Seperti yang saya bilang, saya ini Jawa tulen yang seringkali membandingkan yang bukan Jawa dengan Jawa. Tapi jujur saya tidak ada maksud SARA apalagi maksud menghina. Ini pendapat pribadi saya saja.