Korupsi memang sudah menjadi budaya bangsa kita, Indonesia. Â Bahkan jauh sebelum kita merdeka, korupsi telah menjadi bagian dari sejarah bangsa. VOC semasa penjajahan Belanda pun hancur karena mental penjabatnya yang korup dan maruk. Tidak hanya pejabat, kelas pegawai rendahan pun sudah membiasakan korupsi. Raden Said atau dikenal dengan Sunan Kalijaga pun konon keluar dari lingkungan bangsawan akibat banyak praktek dan perilaku korup.
Ya begitulah hidup bermental tempe, mau enak dan kaya cepat menipu dan berbuat culas pun dilakukan. Merugikan orang lain pun tak disoal.
Lalu bagaimana dengan adanya para pejabat korup yang saat ini membuat kontraktor mau tidak mau, suka tidak suka, harus melakukan praktek-praktek entertain serta suap guna mendapatkan sebuah tender? Pada kenyataanya, inilah yang hampir selalu terjadi.
Kita sendiri pasti sering berhadapan dengan suap, entertain dan titipan dalam keseharian dan pekerjaan kita. Hingga anda merasa, mau berbuat benar kok seperti kayak penjahat. Orang disekeliling anda mengatakan anda sok suci, sok hebat, dan munafik. Buat yang tidak pernah mengalaminya, jangan sampai.
Bagi saya, meski terlalu kerdil dan perlu dibuktikan, banyak suap dan entertain yang menjadikan banyak pengusaha tersandung kasus korupsi ini akibat dari mental korup para pejabat. Entah ditataran Pemerintahan atau pejabat di perusahaan besar yang sering kali membuka tender bagi para kontraktor. Sering saya lihat meski sekedar indikasi saat sebuah Perusahaan mencari Kontraktor jarang atau hampir tidak pernah murni. Sebelum tender dibuka pun kadang sudah ada pemenangnya.
Yang menyedihkan adalah, pegawai level biasa pun ramai-ramai diperintahkan untuk memenangkan kontraktor tertentu dan mengagalkan kontraktor tertentu juga. Semua sudah diatur. Bos besar harus senang. Meski nurani kita sendiri merana. Lalu kita sendiri mulai berpikir ‘Sing penting selamat’, kurang lebih begitu.
Saya sendiri suka misuh-misuh saat menghadapi kejadian yang demikian. Kontraktor yang kurang layak dipaksa untuk diloloskan entah dengan alasan apa. Lha aku iki opo ra melu nanggung dosane? Lagipula jajaran pegawai level biasa seperti saya ini tak mendapatkan apa-apa. Harapannya paling banter Bos merasa senang, hingga kita bisa diberikan posisi yang lebih bagus atau kenaikan gaji. Menjadi penjilat. Itulah sebabnya saya Cuma bisa misuh-misuh. Melu nandur ora diajak panen su.
Waktu saya bekerja di sebuah kontraktor, meski hanya tahap mengarah suap, kadangkala praktek menyuap ini sering dilakukan. Tatkala dokumen yang kita submit ke klien tak kunjung disetujui dalam jangka waktu yang lama, sedangkan disisi lain pekerjaan harus segera dilakukan. Saya diajarkan untuk mencari tahu, ‘kenapa?’ Kenapa kok dokumennya nggak kelar-kelar. Pada kondisi tertentu, anda patut curiga. Bisa jadi dokumen kita tidak disetujui bukan karena tidak layak. Melainkan ada motif lain. Inilah korupsi level karaoke, pijet dan klub. Bahasa dewanya entertain. Lha bagaimana, memang klien atau perusahaan pemberi kerjanya pegawainya begitu. Mau tidak mau kita juga terseret menjadi pelaku.
Lain hari pernah ada pegawai di Perusahaan pemberi kerja menitipkan saudara entah siapanya untuk ikutan bekerja. Jadi posisi apapun gakpapa. Asal bekerja. Jika tidak, anda sudah bisa menebak apa yang kemudian akan terjadi. Dia tidak senang. Proyek anda akan molor dan berlarut-larut. Dokumen anda akan ditahan dan tak kunjung disetujui.
Praktek korupsi sepertinya terbukti sudah menjadi budaya.
Contoh paling mudah adalah proses pembuatan SIM. Mohon maaf sekali jika ini terkesan menjatuhkan instansi tertentu. Saya tidak katakan semua. Tapi masih ada praktek-praktek suap untuk membuat SIM. Yah walaupun hanya sebesar 300 ribu sampai 500 ribu, sama sajakan. Korup juga. Kita nyuap juga. Meski ga sampai miliaran seperti suapnya Bos Podomoro ke Sanusi.