Hampir semua orang di dunia sepakat  dengan konsep hitungan bahwa 4 -- 1 = 3. Kesepakatan akan konsep matematis yang universal ini hampir pasti tidak bisa diganggu gugat lagi.  Dalam narasinya, hitungan dari pengurangan angka 4 dikurangi 1 ini  akan menghasilkan angka 3.  Hal ini  menjadi sebuah warisan yang tidak akan berubah, baku, dan tak bisa ditawar lagi dari generasi ke generasi. Pada proses pembelajaran, hal ini dikonseptualisasikan sebagai perolehan pengetahuan dimana peserta didik selalu menyerap konsep informasi, melakukan operasi kognitif terhadap informasi yang diterima tersebut menjadi pengalaman dan pengetahuan dan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif,  menyimpannya dalam memorinya dan akan selalu menjadi respon yang tidak berubah.
Akan tetapi, dalam kenyataan tak selalu proses pembelajaran dengan pemberian stimulus soal 4-1 tersebut pasti dijawab dengan 3, karena dalam  kenyataannya seorang peserta didik dapat memberikan respon dengan menyebut angka 5.  Hal ini dapat dibuktikan dengan gambar sebuah papan persegi empat yang memiliki 4 sudut. Ketika papan persegi panjang tersebut hendak dikurangi 1 sudutnya dengan menggergajinya, maka alih-alih mengurangi satu sudutnya malah justru  menambah jumlah sudutnya sehingga jumlahnya bertambah menjadi 5 sudut.
Dalam pengalaman belajar tersebut, perkembangan level pengetahuan peserta didik terjadi ketika ekspektasinya tidak sesuai dengan struktur kognitif peserta didik pada waktu sebelumnya. Keganjilan yang dirasakan peserta didik atas hasil pembelajarannya menimbulkan upaya untuk mengemukakan penolakan pada konsep yang sudah ada. Adanya konflik kognitif yang diakibatkan oleh keterlibatan mereka secara aktif dalam proses asimilasi atau akomodasi ternyata mampu mengubah struktur internal yang sudah ada  dan bahkan mengkonstruksi suatu struktur  baru dengan level pengetahuan yang baru pula.
Dengan memahami proses pembelajaran di atas maka akan sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau konsep kognitif pada jawaban  atau respon peserta didik atas suatu masalah. Hal ini akan mebuka cakrawala berpikir (mengurangi egosentrisme peserta didik) lebih luas dan memungkinkan membuka dan mengemukakan hal -- hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, namun tetap logis, sehingga dapat diterima secara publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H