Digenggam tatkala temaram.
Dilukis tatkala self-quarantine.Â
Ditinggalkan tatkala ingin sendiri.Â
Dikenang tatkala sepi.
Kau ingat genggaman pertama kita?
Momen tak disengaja yang kemudian disengajakan.
Momen tak disangka yang kemudian tak dapat diangkakan.
Momen tak diprediksi yang kemudian diadiksikan.
Genggammu mengerat tatkala roller coaster mini —yang iseng kita naiki— mulai bergerak naik turun. Hangat. Tapi, jujur aku takut, sedikit.
Sialnya, ketinggian dan kecepatan sukses memaksaku berlagak berani di depanmu.
Setelah dua putaran, sang operator roller coaster menghentikan mesin permainan.Â
"Ah, padahal kuharap ia lupa saja, selamanya juga tak apa, asal genggammu tetap terselip di jemariku," pikirku setelah memastikan letak jantungku tidak berpindah.
Syukurlah, masih tepat di sebelah jantungmu, berbagi detak yang sama dalam detik yang lama.
Adalah binar mata cokelatmu yang kau pakai menjawab pertanyaan "Seru, ya?" dariku.
Syahdan, kita mencoba mesin permainan lainnya.
Temaram tiba, selepas mencari kudapan, kita kembali berpegangan.
Aku memegang tanganmu, kau memegang hatiku, bahkan memenangkannya.
Kita berpisah tatkala taksi yang kau pesan tiba di pelataran gedung mal.
"Hati-hati, kabari setelah sampai, ya."
Taksi melesat mencabik malam.
Pun aku harus segera pulang, ke rumah yang sebenarnya.
"Aku sudah sampai, ya," kabarmu lewat ponsel, sejurus dengan melayangnya potret dua tangan yang tidak asing di mataku.Â
"Aku memfoto ini tadi, hehe."
"Cie, diem-diem," godaku. Sepertinya kau tersipu.
Obrolan malam itu berlanjut dan diakhiri dengan selamat malam titik dua kurung tutup.