Hari ini, saya tertarik dengan tulisan Pak Gunawan, "Pak Jokowi lebih Aman Jadi Diri Sendiri". Tulisan yang lugas dan langsung mengena, seperti halnya isi pesan yang disampaikannya. Bahwa, kelebihan Jokowi adalah menyampaikan pesannya secara to the point, tanpa dibungkus dengan basa-basi yang tidak perlu. Sehingga, memudahkan pendengar untuk mencernanya.
Selain itu, Pak Gunawan juga menekankan agar Jokowi tetap orisinal alias apa adanya. Tanpa harus berusaha menjadi tokoh lain. Karena kuatan Jokowi terletak pada jati dirinya.
Publik sudah mengenal siapakah diri Jokowi sebenarnya. Karakter Jokowi yang pekerja keras, mengayomi dan sederhana serasa lekat di hati masyarakat. Jokowi dipandang sebagai pemimpin yang mampu memikat hati rakyat. Dan, pemimpin seperti itulah yang selama ini diidam-idamkan oleh rakyat Indonesia.
Rakyat sudah jenuh dengan pemimpin yang berada di awang-awang. Pemimpin yang tidak mau hadir ketika mereka menderita. Pemimpin yang memanipulasi penderitaan rakyat, hanya untuk memuaskan kepentingan dirinya dan kelompoknya. Â Pemimpin seperti ini, tentu tidak akan mampu memikat hati rakyatnya.
Sebagai contoh, Prabowo yang dielu-elukan seperti Soekarno. Karena mirip dengan fisik tubuh dan cara berpidato Soekarno. Walaupun lucu mendengarnya, saat Amien Rais mengatakan dari samping kiri, samping kanan, mirip Soekarno. Mungkin bagi sebagian orang manggut-manggut saja mendengarkan perkataan Amien Rais.
Namun, bagi kebanyakan orang malah menjadi bahan tertawaan. Sambil bergumam, "yah, begitulah bahasa yang sering digunakan penjilat". Kalau dipikir-pikir, darimana dibilang mirip Soekarno? Penampilan dan cara berpidato Soekarno jauh berbeda dari Prabowo.
Penampilan Soekarno yang berwibawa terpancar dari pemikirannya. Soekarno selalu menggeluti persoalan-persoalan yang menghimpit bangsanya. Pemikirannya ditujukan bagi mengentaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Tindakannya sepadan dengan idealisme Marhaen yang diperjuangkannya. Hingga mendapatkan julukan "Sang Penyambung Lidah Rakyat". Pidato Soekarno juga memancarkan semangat yang ada dalam dirinya. Terlalu naif, untuk menyamakannya dengan pidato Prabowo yang penuh basa-basi. Soekarno jelas dan to the point.
Prabowo, dalam kesehariannya, terkesan eksklusif, istana hambalang, pemelihara kuda bernilai miliaran, tumpangan helikopter. Mana bisa memikat hati rakyat? Jengah, mungkin itulah bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hati rakyat, ketika melihat keseharian Prabowo.
Tidak heran, apabila timsesnya musti bekerja keras memoles penampilan Prabowo. Seperti halnya Amien Rais, bagaikan perias wayang, mematut-matut cara bicara hingga postur tubuh Prabowo, agar mirip Soekarno. Nyatanya, ini bukan panggung sandiwara. Melainkan, panggung kehidupan yang sebenarnya. Alhasil, rakyat makin jauh dari diri Prabowo yang sebenarnya.
Mungkin juga, rakyat merindukan untuk bisa berinteraksi langsung dengan Prabowo tanpa embel-embel yang mengikutinya. Mungkin juga, rakyat merindukan untuk bisa berkomunikasi dengan Prabowo secara tulus apa adanya. Rakyat tentu menginginkan sekat-sekat yang terjadi antara dirinya dan Prabowo dapat diruntuhkan.
Namun, keinginan itu sukar didapatkan. Karena, timses Prabowo bersikeras untuk membentuk jati diri Prabowo. Prabowo kini, hanyalah sebagai figur sesuai selera timsesnya. Jiwa Prabowo menjadi hampa dan semakin terasing dari rakyatnya. Persis, seperti kondisi Soekarno, ketika dijebloskan oleh Soeharto ke dalam tahanan rumah.