Mohon tunggu...
Slamet Riyadi
Slamet Riyadi Mohon Tunggu... -

JKW-JK, 2 orang baik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Megawati Mengajari Kita Arti Demokrasi

16 Mei 2014   14:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PDIP dan Jokowi tengah memasuki fase sulit. Kesepahaman diantara mereka selama ini terbukti telah mampu menghantarkan Jokowi sebagai capres yang berpotensi tinggi memenangkan pikpres 2014.  Fase sulit dimaksud adalah ketika hendak memutuskan siapa cawapres yang bakal mendampingi Jokowi. Strategi PDIP yang mengulur waktu pengumuman cawapres seakan menjadi bukti terjadinya tarik ulur kepentingan di saat masa sulit.

Megawati sudah menegaskan bahwa keputusan cawapres ada di tangannya (berdasarkan mandat yang diberikan oleh PDIP) dan Jokowi sebagai anggota PDIP tentunya diharuskan mentaati keputusan tersebut. Di lain sisi, Jokowi yang diusung sebagai capres juga berkepentingan untuk membentuk tim yang solid bagi keberhasilan program kerja dia saat memegang jabatan presiden kelak.

Permasalahan yang sedang dihadapi PDIP adalah konsekuensi logis dari mandat yang diberikan oleh Megawati kepada Jokowi untuk maju sebagai capres. Niat baik Megawati yang bagaikan negarawan sejati malah ditanggapi secara miring oleh sebagian kalangan masyarakat. Tanggapan miring tersebut adalah Jokowi sebagai boneka Megawati.

Dalam konteks ini, saya mendukung pernyataan Megawati yang menegaskan Jokowi adalah petugas partai. Bahkan Megawati mengingatkan ada upaya yang sedang digalang kalangan tertentu untuk memisahkan antara Jokowi dan PDIP. Sesat pikir seperti itu jika tidak segera diperbaiki akan semakin menyulitkan Jokowi dan Megawati dalam mempertahankan prinsip saling kesepahaman di antara mereka.

Megawati sedang memberikan pelajaran kepada kita arti pentingnya demokrasi. Hal ini tidak bisa kita dapatkan dari Prabowo, Amien Rais, SBY maupun Aburizal Bakrie.

Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina Gerindra mencalonkan diri sebagai capres yang didukung penuh partainya. Pola kepemimpinan yang diterapkan Prabowo dalam Gerindra adalah otoriter, karena tidak memberikan kesempatan kepada ketua umum dan elite Gerindra untuk menentukan sikap. Apapun  keputusan yang diambil partai berlambang burung garuda tersebut adalah keputusan sepihak Prabowo. Masyarakat tidak pernah disuguhi adanya friksi internal yang diselesaikan secara demokratis dalam sidang partai. Kesimpulan yang saya ambil adalah Partai Gerindra menjadi tunggangan Prabowo maju capres.

Sebaliknya, Ketua Umum PPP, PKB dan Golkar dalam mengambil keputusannya senantiasa mengacu kepada keputusan partai. Suryadharma Ali, Ketum PPP yang mencoba melanggar aturan dengan merapatkan diri secara pribadi kepada Gerindra akhirnya harus tunduk kepada keputusan Rakernas PPP. Muhaimin Iskandar, Ketum PKB dalam mengambil keputusan untuk bergabung dengan PDIP menunggu hasil Rakernas PKB, begitu juga Golkar dengan Rapimnasnya.

Partai Demokrat serupa tapi tak sama dimana konvensi partai Demokrat hanya menjadi mainan SBY. Disini membuktikan ketokohan SBY malah menjadi bumerang bagi berlangsungnya proses demokrasi di partai berlambang mercy tersebut. Bahkan cibiran masyarakat mengungkapkan niatan SBY yang menjadikan partai Demokrat tak lebih sebagai alat untuk melanggengkan tradisi trah cikeas. Kini, nasib partai Demokrat yang di ujung tanduk dibiarkan begitu saja oleh SBY tanpa adanya usaha untuk menyelamatkannya. Ibarat habis manis, sepah dibuang.

Setali tiga uang dengan SBY adalah Amien Rais. Tokoh musiman dikala menjelang pilpres itu tiba-tiba menjadi aktor penentu kemana PAN akan berkoalisi. Berbeda dengan SBY, PAN hanya dijadikan Amien Rais sebagai alat untuk mempertahankan eksistensinya dalam lingkaran kekuasaan. Setidaknya begitulah pengakuan Goenawan Muhammad hingga memutuskan untuk keluar dari PAN.

Mencermati uraian di atas, saya menjadi sadar bahwa Megawati dengan kharismanya yang tinggi di PDIP tidak memanfaatkan ketokohannya tersebut untuk mengejar kepentingan pribadi. Bahkan, dengan legowo dia berikan mandat kepada Jokowi untuk maju sebagai capres. Elite partai PDIP yang menerima keputusan mandat Megawati tersebut sekaligus membuktikan betapa proses demokrasi telah berlangsung dengan apiknya di partai berlambang banteng moncong putih tersebut.

Untuk itu, saya menjadi tidak habis pikir dengan omongan orang yang masih saja mencemooh Jokowi sebagai bonekanya Megawati. Hendaknya, kita menjadi lebih bijak dalam menerima pelajaran demokrasi yang sedang diajarkan oleh Megawati Soekarno Putri dalam pilpres kali ini.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun