"Sastra zarrahnya, sastra debunya berikhtiar menuliskan Kalimat Yang Baik Dan Indah, dengan ibarat pohon yang ditanamnya ini, yang rimbun daunnya diharapkan meneduhi musafir lewat serta menyubur-kan pohon-pohon lain pula. Pohon yang mudah-mudahan menyajikan buah pada setiap musim, seizin Sang Maha Pencipta Musim. Buah yang ranum lezat bermanfaat bagi lingkungan masyarakat sekitar pohon itu."
Taufiq Ismail - Penyair dan sastrawan Indonesia, dalamhalaman beranda taufiqismail.com.
Suatu hari, saya tak bisa tidur di waktu biasanya. Untuk mencari kantuk, saya nyalakan televisi di ruang keluarga. Saya pindai seluruh acara TV malam itu dan tiba-tiba tangan saya terhenti menekan tombol.
Ada sebuah acara yang tidak umum tengah ditayangkan. Sebuah puisi tengah dideklamasikan oleh seorang penyair. Penyair itu dengan khusyuk menatap lembaran kertas di tangan kanannya. Sambil duduk di sebuah kursi kayu berpenopang empat tangkai besi. Sebelah kakinya memijak lantai, sebelahnya lagi menggantung di pijakan kursi. Dan ia pun membacakan puisi itu perlahan.
Saya semakin tertarik melihatnya, saat itu saya masih kelas 2 SMP, dan itulah pertama kalinya saya melihat deklamasi puisi oleh penyair sesungguhnya. Saat itu bagi saya, penyair adalah layaknya pemain panggung yang melolong-lolong menampakkan ekspresi berlebihan. Membaca dengan nada suara yang mengejutkan, dan tangan yang mengepal-ngepal tak karuan.
Lalu terdengarlah apa yang saya sebut 'alunan legendaris'. Penyair itu menangkap perhatian saya.
"Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak"
"Hukum tak tegak, doyong berderak-derak"
"Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia"
Baris demi baris dibaca penyair itu dengan tempo yang stabil namun cukup cepat, dengan nada yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
"Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata"
"Dan kubenamkan topi baret di kepala."
"Malu aku jadi orang Indonesia... ".
Tanpa teriakan, hanya nada yang dalam.
Apa yang saya lihat tidak seperti yang saya bayangkan. Tak ada ekspresi seram, suara melolong, dan tangan yang belingsatan. Secara tak terduga, beliau membawakan puisi seperti orang berbicara biasa. Seperti orang yang sedang bercerita. Sederhana, namun menghanyutkan. Wajahnya tenang, tidak meraung-raung seperti yang saat itu saya kira. Pembawaan beliau khidmat membawakan puisinya. Dan puisinya pun terdengar syahdu memancarkan perasaan yang dalam.
Beliau adalah Bapak Taufiq Ismail, seorang penyair senior yang baru pertama kali saya lihat di layar kaca. Belakangan saya ketahui beliau sebagai pencipta lagu-lagu Bimbo, dan hanya menulis sepenuh hati apa yang merupakan nilai kebajikan, bertambahlah kekaguman saya. Entah bagaimana, saya sangat terpengaruh apa yang saya lihat saat itu.
Beberapa waktu berlalu hingga suatu hari pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, kelas kami mendapatkan tugas yang menarik. Kami tengah sampai pada bab deklamasi puisi, dan bisa ditebak, akhirnyakami wajib mepraktekkannya. Tidak langsung, tetapi direkam pada sebuah kaset. Untuk kemudian di minggu depannya, rekaman tersebut akan diperdengarkan ke seluruh kelas.
Dari semua puisi yang tersedia untuk dipilih, saya memilih puisi Taufiq Ismail "Beri Daku Sumba". Singkat cerita, sampailah pada waktu pemutaran kaset kami. Satu per satu kaset diperdengarkan dan mengundang reaksi yang beragam. Melihat itu saya jelas cemas sekaligus penasaran bagaimana jadinya nanti?
Dan tiba juga saatnya untuk puisi saya. Seisi kelas disuruh untuk diam. Ibu Guru menekan tombol 'play'. Kaset berputar perlahan dengan jeda yang hening beberapa saat. Kemudian mulai terdengar suara remaja tanggung itu membacakan puisi.
"Beri Daku Sumba karya Taufiq Ismail...". Sejauh ini cukup baik.
Saya pun mulai membacakannya, "Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu." Petaka dimulai.
Nadanya terdengar seperti "Bioskop segera dimulai. Mohon segera masuk ke gerbang satu" dengan penekanan pada kata 'bioskop' dan 'gerbang satu'.. Gawat..
Suara kaset masih berputar. "Aneh, aku jadi ingat pada umbu."
Tawa pecah di seisi kelas. Bisik-bisik mulai menggema. Suasana sedikit riuh dan ada yang berkomentar: "Kok, gak kayak baca puisi? Kayak baca dongeng."
Wah, rasanya saya ingin menelungkupkan kepala ke bawah bangku. Kaset terus berputar, suara saya kembali terdengar...
"Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka."
"Di mana matahari membusur api di atas sana".
Ini baru awalnya dan saya sudah merasa tidak sanggup mendengar lebih lanjut. Ingin rasanya menutup telinga. Duh, waktu cepatlah berlalu. Cepat ke giliran berikutnya! Temanku sebangku nampak agak salah tingkah harus berbuat apa. Mungkin ia juga ingin tertawa.
Lalu, 'alunan legendaris' itu muncul.
"Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari"
"Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda"
"Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari"
"Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba"
Pembacaan puisi itu mulai seperti orang yang bercerita. Saya jadi teringat perasaan saat membacanya, seolah itu adalah isi hati saya. Seolah sayalah anak Sumba itu, yang sedang merindukan kampungnya. Suasana sekelas pun hening mendengarkan. Tawa yang pecah di awal larut ke dalamnya.
"Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka"
"Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh"
"Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda"
"Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh."
Nampaknya, saya tidak seburuk yang saya pikirkan.
Akhirnya, saya berhasil membawakan puisi Bapak Taufiq Ismail, dengan suara setengah matang remaja di masa puber, meniru sebisa saya gaya beliau yang kharismatik itu. Saya puas saat itu.
Dan pada kesempatan berikutnya saat ada lomba membaca puisi, saya lah yang ditunjuk untuk mewakili kelas. Saya maju ke hadapan juri, membacakan puisi dengan resep yang sebelumnya terbukti, namun kaki kiri saya mendadak gemetar susah berdiri.. Saya siasati seolah-olah itu adalah 'penghayatan'
Sebatas itu semua yang saya ingat dan coba rekonstruksi, dengan puisi "Malu Aku Jadi Orang Indonesia", "Beri Daku Sumba", serta kaki kiri saya yang gemetar di hadapan juri yang paling terekam di ingatan saya. Dilihat dari kosongnya lemari saya, sepertinya tidak berjalan cukup sukses. Meski begitu, saya ingat merasa tetap senang atas kehormatan mewakili kelas. Rekaman deklamasi itu mengantarkan saya sejauh itu. Saat itu sangat membekas di hati saya.
Sepuluh tahun berlalu dan ternyata membaca puisi bisa menjadi sebuah pengalaman hidup yang terkenang.
Saya telah belajar soal kepercayaan diri melaluinya untuk berbicara di depan umum, meski proses mengasahnya masih terus berlangsung. Saya telah berhasil berbicara di hadapan ratusan orang, meski sekedar sebagai penanya dalam sebuah seminar terbuka. Reaksi orang di saat awal tidak lagi mempengaruhi saya, karena saya telah belajar menguasai diri saat di depan orang banyak. Kaki saya tidak lagi gemetar tanpa perlu lagi saya siasati, karena saya telah belajar menguasai diri saya.
Tapi, yang paling utama dari semua itu, yang saya pelajari sampai hari ini dari persinggungan kecil saya dengan dunia sastra di masa remaja, melalui perantara seorang pujangga yang taat beragama, adalah betapa dalamnya pengaruh sebuah tindakan kecil yang menyertakan hati, dengan berlandaskan kebenaran. Betapa yang 'sederhana' sekalipun, jika dibawakan dengan tulus menjadi hal besar dan bermakna, dengan berlandaskan kebenaran.
Ketulusan yang muncul dari kejujuran hati dan nilai-nilai kebajikan, itulah yang membekas di hati. Tersimpan bersama lembar waktu yang melewati, di hati kita semua yang mawas diri dan ingin memperbaiki diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H