Pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan. Di tahun 2018 lalu, berdasarkan hasil studi Polling Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta jiwa dari 264 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 64 persen.
Survei ini melibatkan 5.900 sampel dengan margin of error 1,28 persen. Data lapangan ini diambil selama periode Maret hingga 14 April 2019. Dalam survei juga disebutkan, mayoritas yang mengakses dunia maya adalah masyarakat dengan rentang usia 15 hingga 19 tahun.
Dari data di atas, usia sekolah adalah golongan yang mendominasi penggunaan internet di Indonesia. Di sini, peran santri ditunggu dalam menyumbang konten positif, demi menjaga mereka dari pengaruh konten radikalis dan ekstremis.
Setidaknya, laporan dari Kemenkominfo, seperti yang dilansir sindonews.com menyebut banyak anak muda yang terpapar konten radikal. Untuk itu Kemenkominfo telah memblokir sedikitnya 11 ribu website berkonten radikalisme sejak tahun 2009. Selain itu, laporan Badan Intelejen Negara(BIN) mengatakan, anak dengan rentang usia 17-24 tahun rentan terpapar radikalisme.
Sementara itu, jumlah santri berdasarkan website pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id tercatat ada sekitar 25.938 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan jumlah santri sebanyak 3.962.700.
Jumlah ini sungguh fantastis, bayangkan jika hampir 4 juta santri membuat konten dakwah kreatif, menarik dan menampilkan wajah Islam yang ramah. Maka, ini bisa menjadi sebuah langkah preventif meluasnya konten radikalis di media sosial.
Pakar media sosial, sekaligus Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria menjelaskan, selain dibekali ilmu agama, langkah selanjutnya yang mesti dilakukan santri dalam memanfaatkan media digital sebagai sarana dakwah adalah dengan menambah wawasan kebangsaan. Hal ini dianggap penting, mengingat banyaknya corak keislaman di Indonesia.
Dengan demikian, santri akan dapat membuat konten sesuai dengan situasi keberagaman masyarakat Indonesia. Jika tidak, maka santri dikhawatirkan akan memproduksi konten hanya untuk kelompok islam tertentu dan rentan menimbulkan pergesekan di gress root.
"Kalau mereka tidak diberikan orientasi target audiens, mereka akan membuat konten-konten yang memang sebetulnya itu hanya segmen kepada kelompok Islam tertentu, dan ketika didengar oleh kelompok Islam yang lain, justru akan menimbulkan perdebatan," jelas Hariqo saat diwawancarai penulis.
Masih menurut Hariqo, untuk bersaing dengan komunitas lain, konten dakwah digital santri harus bisa membaca kebutuhan masyarakat. Tidak melulu membahas kajian berat yang kurang diminati dan sulit dipahami masyarakat awam.