Mohon tunggu...
Adiyadh Riyadh ML
Adiyadh Riyadh ML Mohon Tunggu... profesional -

ART IS AN ACTIVISM

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konstitusi di Tangan Regime Patriarkhat

8 Oktober 2014   19:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:52 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Riyadh ML.

Konstitusi merupakan secuil wilayah tafsir etik dalam bangunan besar Moral Pancasila, namun sepanjang usia republik ini tafsir yang secuil itupun mendapatkan wilayah yang juga secuil dalam praksis hidup dan kehidupan kita sebagai Nation dan kita sebagai State.

Kecurigaan yang hampir mendapatkan legitimasi dan legalitasnya (dalam perjuangan panjang membangun supremasi sipil-hukum di Indonesia) adalah bahwa memang republik ini didominasi oleh Regime Patriarkhat yang berwatak dasar diminasi, otoriter, hegemonic, partisan, dan anti-politik, yang dibayang-bayangi oleh ruang kesejarahan dalam wajah simbolisma yang berbentuk Regime Eufimisme, Regime Metafora, dan Regime Voluntarisme.

Karena memang representasi alam fikir raja-raja jawa dan kaun toean tanah (feudal) pada masa pra dan pasca kolonisasi oleh VoC, Pemerintahan Hindia Belanda, dan Kekaiasaran Jepang, kembali hadir dalam bentuk yang samar, atau reinkarnasi pada ruang sosial yang sangat luas, hal ini terkonfirmasi dari data bahwa para bangsawan (pedagang) Boemi Poetra dulu menolak tawaran Pemerintahan Hindia Belanda (Guvernoor Hindia Belanda) tentang pemberian hak kepemilikan tanah yang luas dan bebas mempekerjakan orang-orang Indonesia dengan sistem kerja dan jenis tanaman yang harus sesuai dengan permintaan pasar global, tapi para toean tanah itu lebih memilih menjadi pegawai-pegawai di kantor-kantor pemerintahan hindia belanda.

Kalau hari ini data itu kita temukan wujud reinkarnasinya pada para pemimpin nasional kita, dimana sepanjang sejarah Orde Baru dan Orde Reformasi, kita sangat,…sangat didikte oleh Neraca Perdagangan Luar Negeri dan sistem-sistem perdagangan internasional lainnya, para pemimpin kita lebih memilih mengimpor segala jenis produk pangan, sepeda motor, mobil, minyak dan gas, dari pada bekerja keras mengorganisir kekuatan alam dan rakyat untuk membangun industry dalam negeri yang kuat, minimal untuk kebutuhan dalam negeri.

Dominasi, sejatinya, data yang kita catat selama ini adalah tidak terjadinya “pertempuran” di ruang public. Media mengumbar konsumtifisme, mencitrakan wajah cantik pembangunan, mencitrakan kredibilitas absolute para pejabat public, mencitrakan tanggungjawab sosial perusahaan-perusahaan besar terhadap lingkungan dan masyarakat, mencitrakan mitos sucinya dunia pendidikan, mencitrakan hal-hal yang indah dalam pembangunanisme, tanpa banyak mencitrakan tumbal-tumbal yang diajukan demi untuk sebuah proposal pembangunanisme.

Dalam pertempuran di ruang public, mensyaratkan budaya demokrasi yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Budaya demokrasi yang kuat dapat dilihat dari kehati-hatian setiap warga bangsa dalam menerima dan mengolah setiap informasi yang didapatnya dari media mainstream dan media sosial. Selain itu masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai tentang isu-isu dasar perihal bagaimana seharusnya pemerintah bekerja.

Selain itu budaya demokrasi yang kuat juga dapat terlihat dari kompetisi yang sehat, medan konflik dikelilingi oleh dorongan-dorongan berkehendak untuk bekerjasama secara komunal, bukan saling memakan dan menjatuhkan.

Terjadinya dominasi juga disebabkan oleh kesenjangan yang sangat lebar perihal pesatnya perkembangan sistem dan struktur ekonomi-politik disatu sisi dengan pengetahuan masyarakat yang sangat sedikit tentang struktur dan sistem tersebut, ini mengakibatkan dominasi yang luas terhadap tafsir-tafsir kinerja pemerintah dalam kerangka konstitusi.

Otoriter, regime patriarkhat selalu melihat semua tafsir tentang isu-isu dasar konstitusional sebagai subversive. Kaca mata ini melahirkan otoritarianisme, sebagai sebuah rumus dasar kecendrungan kekuasaan, siapapun manusianya. Kita melihat Jokowi sebagai persona dan juga Jokowi sebagai Mr. President, sepanjang masa kampanye Pilpres 2014 Jokowi menggunakan dana public (public goods), sebagai Mr. President Jokowi tentunya pemegang mandate konstitusi, tapi sebagai persona tentunya ia masih terikat dengan banyak kepentingan yang mendukungnya selama masa kampanye.

Kita melihat bagaimana pertemuan SBY dengan ParPol-ParPol yang masuk dalam lingkaran koalisi “Garuda Merah” yang pada intinya dalam pertemuan itu SBY mengirimkan pesan kepada ParPol-ParPol itu untuk “mengunci” isu Bank Century pada 5 tahun mendatang dalam parlemen, dan pertemuan SBY –Jokowi di Bali yang menghasilkan penolakan SBY atas saran PDIP agar mengurangi subsidi BBM pada semester kedua tahun 2014 ini, kedua fenomena ini menunjukkan bahwa tidak utuhnya proses transisi, tidak murninya proses transisi.

Otoritarianisme selalu memiliki kawan setia, yang mewujud dalam bentuk oligarchy serta persekutuan dengan Militer. Kita masih ragu apakah pada prosesnya Jokowi memang sangat tergantung pada para petinggi militer, atau memang hanya elite-elite PDIP, NasDem, Hanura, PKB, dan PKPI yang coba dengan tidak sadar menarik militer pada masa transisi ini, bukan bermaksud untuk mendikotomi sipil-militer, tapi ini data yang patut dicatat dalam kaitannya dengan agenda penertiban bisnis militer, isu keamanan pada wilayah sekitar perusahaan eksplorasi asset-aset strategis bangsa, Penuntasan Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat dan Penghilangan Orang Secara Paksa, serta yang paling krusial adalah Reforma Agraria, atau memang para petinggi militer ini yang coba mengetuk pintu beranda si calon penguasa.

Hegemonik, manusia Indonesia sebagai persona dan sebagai civic dipaksa harus tunduk pada simbolisma-simbolisma yang diproduksi oleh struktur dan sistem kenegaraan, tanpa ada ruang untuk koreksi, pembelajaran, pendidikan, dan membangun komunikasi yang berdimensi dialog.

Berkaitan dengan watak hegemonic ini, kita uji pada frase “Revolusi Mental” yang dikumandangkan Jokowi, yaitu apakah frase itu sudah menjadi discourse bagi rakyat banyak?! Atau hanya euphoria yang hadir dari akutnya ketergantungan rakyat banyak terhadap penguasa atas simbolisma-simbolisma yang berwajah alternative, yang memuaskan sesaat atas kegelisahan pada ketidakpastian nasib hidup sebagai warga bangsa.

Partisan, kegagalan konseptual sebuah regime memberikan resiko-resiko politik-ekonomi kepada bangsa dan negara Indonesia. Kegagalan konseptual ini sangat tidak konstitusional, karena meredistribusi resiko-resiko sosial-ekonomi dari kelompok-kelompok kelas tengah kepada kelompok-kelompok yang masuk dalam lingkaran kerentanan.

Kegagalan konseptual sebuah regime bisa kita deteksi dini, misalnya saja pengalaman kita pada program-program Millenium Development Goal’s (MDG’s), yang gagal mendeteksi kerentanan pada warga masyarakat (khususnya perempuan) untuk menjadi korban Human Trafficking, dan ini terus dilembagakan menjadi pola yang sangat membosankan, intinya kasus jutaan Tenaga Kerja Indonesia/Wanita yang dibiarkan berangkat ke luar negeri melalui perusahaan-perusahaan jasa penyalur tenaga kerja tanpa dibekali keahlian khusus (vocational), pemahaman tentang hak-haknya sebagai warga negara dan pekerja, bahkan tidak ada jaminan dari negara tentang resiko-resiko yang akan mereka dapatkan selama bekerja di luar negeri.

Resiko yang secara macro dapat kita identifikasi adalah Potential Crack of Policy yang disebabkan oleh kegagalan konseptual sebuah regime yang merupakan pintu masuk bagi Kartel Internasional dan Regime Hukum International.

Jika Jokowi (atau tim sukses dan konsultannya) menyimpulkan “Tiga Problem Pokok Bangsa” yaitu (1) Merosotnya Kewibawaan Negara; (2) Lemahnya sendi-sendi perekonomian nasional; dan (3) Merebaknya Intoleransi dan Krisis Kepribadian Bangsa, dan Jokowi mengklaim bahwa Ideologi (Pancasila dan Tri Sakti) dapat menjadi formula untuk menyentuh dan menyelesaikan Tiga Problem Pokok Bangsa tersebut, maka ia harus paham betul ruang sosial dan rentang kesejarahan yang membentuk alam jiwa warga bangsa kebanyakan sealma ini.

Anti Politik, adakah diantara kita yang dapat menjelaskan dimensi kesadaran seluruh warga bangsa sebagai prasyarat untuk sebuah bentuk kehendak? Adakah diantara kita yang dapat menjelaskan alam fikir warga bangsa kebanyakan tentang apa yang dimaksud oleh Jokowi sebagai Ideologi Nasional?

Dari data itu kita urai dan menemukan informasi bahwa partisipasi masyarakat sepanjang usia kekuasaan SBY dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan adalah samar dan semu, sejatinya yang terjadi adalah mobilisasi, bukan partisipasi. Para pejabat public di desa alam fikirnya yang dulunya memiliki konsep kepamongan, saat ini diambil alih oleh konsep pejabat public, sehapal dan sekhatam apapun mereka tentang konsep profesionalisme pejabat public, tidak akan terjadi kualitas pelayanan public, karena paradisgma yang dibangun adalah bentuk relasi penjual-konsumen, dimana negara sebagai penjual barang dan jasa sedangkan masyarakat sebagai pengguna (konsumen) dari barang dan jasa tersebut.

Pertanyaan itu harus dijawab agar kita dapat menjinakkan watak dasar patriarkhat yang berupa Anti Politik tersebut, sebab jika kita berbicara tentang Pancasila dan Tri Sakti maka kita akan kembali pada Pertanian dan Maritim, sebab intervensi negara untuk ideologisasi pada pengalaman Orde Baru hanya menghasilkan petaka politik. Sedangkan Jokowi belum clear dalam menjelaskan bagaimana ia membumikan Ideologi ini, paling-paling hanya mengintervensi melalui kurikulum pendidikan, maka kepemimpinan nasional kita akan kembali pada regime metafora, yang partisan dan anti politik.

Bayang-Bayang Watak Dasar Regime Patriarkhat

Regime Eufimisme, Soeharto membangun citra Anak Desa dalam penampilannya, yang penuh penderitaan dan perjuangan, yang penuh kasih dan bersahaja, itu adalah realitas kesadaran Soeharto sebagai persona yang ia gunakan untuk mengobati luka hatinya dari kenyataan bahwa ia hanya boneka dari para actor internasional yang punya kepentingan strategis di Indonesia, yang menhasilkan Talangsari, Kedung Ombo, Tanjung Prioek, G.30/S/PKI, Marsinah, Wiji Tukul, Malari, dan kengerian-kengerian semacamnya yang menhasilkan tumbal-tumbal dalam pembangunan, ini mengoreksi efektifitas pisau analisis yang selama ini kita gunakan yang kita kenal sebagai postmodernism dan postcolonialism.

Regime Metafora, kecendrungan regime ini adalah melemparkan kegagalan konseptualnya agar menjadi beban masyarakat yang dipimpinnya, maka ada kecendrungan ini pada Jokowi dengan memopulerkan istilah “Revolusi Mental”, sah-sah saja jika ia berangkat dari kegagalan birokrasi, sebab kerancuan birokrasi adalah kerancuan regime penguasa.

Regime Voluntarisme, ada kecendrungan yang bergerak sangat tidak teratur perihal naiknya Jokowi ke tampuk pimpinan nasional republic ini, dan ini sekaligus ujian berat bagi semua elemen bangsa-negara ini, bahwa masyarakat sebagian besar merasa seolah-olah semua permasalahan bangsa sudah selesai dengan kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 ini, menyerahkannya pada seorang Jokowi.

Bau yang Sudah Tercium Dini

Sebuah bangsa, nation adalah komunitas besar yang memiliki arthefact peninggalan kesejarahannya, sebagai ilmu, sebagai kekuatan, sebagai wahana, sebagai modal untuk membangun peradaban. Jokowi belum bicara tentang ini, apakah Jokowi sadar bahwa struktur dan sistem kenegaraan ini beserta perangkat dalam pemerintahan pada semua level adalah hasil import dari peradaban Eropa Kontinental yang dijarah oleh kaum Anglo-saxon pada pertengahan abad ke –XV yang saat ini menjadi komoditi perdagangan jasa dalam pergaulan internasional? Misalnya MDG’s, Open Governmental Partnership (OGP), dan lain sebagai macamnya.

Yang realistis bagi saya adalah, negara ini menentukan standarnya sendiri tentang kesejahteraan rakyatnya, tentunya tetap dalam kerangka konvensi Sipol dan Ekosob juga Cedaw. Negara ini seharusnya menciptakan sistemnya sendiri, yang lahir dari ilmu dan hukum masyarakat itu sendiri.

Jika terus menerus kita menggunakan produk luar, maka politik bebas aktif hanya ilusi dan slogan. Berjalan diatas Konstitusi juga hanya ilusi dan Slogan, jika BBM dan TDL terus naik maka semua hanya ilusi dan slogan, jika kekerasan terhadap anak dan perempuan tetap marak maka semua hanya ilusi dan slogan, jika human trafficking tetap terjadi maka semua hanya ilusi dan slogan, jika Utang Luar Negeri tidak dirampungkan maka semua hanya Ilusi dan Slogan.

1.Sullivan, Arthur; Steven M. Sheffrin (2003). Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. hlm. 462. ISBN0-13-063085-3.

2.Sir Thomas Smith; dalam Jose Rizal, The Wheels of Commerce, vol. II of Civilization and Capitalism 15th–18th Century, 1979:204;

3.Emmanuel Subangun, (2005). Negara Anarkhy. ElKis Yogyakarta.

4.Sugandi, Yulia.  2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES);

5.Handbook of Asean Economic Community. Kementrian Perdagangan RI. Tahun 2014.

6.Risalah Majelis Umum PBB. Konvensi Hak-Hak Sipil-Politik (sipol) dan Ekonomi-Sosial-Budaya (ekosob) Nomor 2200 A Tahun 1965.

7.Risalah Majelis Umum PBB, Konvensi Cedaw. Tahun 1974.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun