Mohon tunggu...
Pejabat Riwiriwi
Pejabat Riwiriwi Mohon Tunggu... Pejabat -

Seorang pejabat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemahaman Gender dan Esai Kepesimisan Perempuan

10 September 2011   20:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:04 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik





Istilah Kesetaraan Gender baru sering terngiang-ngiang di otak saya dan mengendap di pemikiran saya sejak dua tahun lalu ketika saya mendapatkan mata kuliah Gender dan Seksualitas dalam Hubungan Internasional dalam program studi yang saya ambil. Mata kuliah itulah yang menyadarkan saya dengan sesadar-sadarnya mengenai kondisi kehidupan yang selama ini saya jalani secara taken for granted.

Saya sempat pesimis menghadapi persoalan kesetaraan gender. Ya, ada begitu banyak sarjana dan pegiat Gender di antara milyaran penduduk bumi saat ini. Pionir-pionir mereka pun telah berhasil mengantarkan tiga gelombang feminisme di seluruh dunia. Ketika saya dan jutaan perempuan lain dapat berpartisipasi memilih presiden di masing-masing negara kami, bersekolah setinggi-tingginya di seluruh belahan dunia, berperan menjadi diplomat, presiden direktur, pilot, atau bahkan kondektur bus, ya benar, kami memang merasakan kemajuan dari usaha penyetaraan gender. Namun demikian, pada tahun berapa saya dan perempuan atau bahkan laki-laki di seluruh dunia dapat merasakan kesetaraan gender pada ranah yang lebih privat?

Apa yang harus dilakukan para sarjana dan pegiat gender tersebut agar bisa menggoyang atau bahkan meruntuhkan system gender sehingga pada suatu hari nanti tidak akan ada lagi cibiran bagi perempuan yang tidak mau memasak, perempuan yang memilih bercerai, atau perempuan yang bentuk badannya seratus delapan puluh derajat berbeda dari bentuk badan Aura Kasih atau Syahrini pada masa ini?

Antara Publik dan Privat

Semua literatur yang saya baca menyebutkan bahwa jenis kelamin bersifat given, sedangkan gender terbentuk secara sosial. Sejak lahir, laki-laki dan perempuan sudah diajarkan berbeda dan mereka terus mengamini hal itu sepanjang hidup mereka. Praktek tersebut pun tidak musnah ketika mereka mati. Praktek itu diteruskan bergenerasi dan akhirnya menjadi suatu hal yang melekat, bahkan dianggap alamiah.Gender yang membagi peran perempuan dan laki-laki sebenarnya sama tidak bermasalahnya seperti ketika Tuhan menjadikan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Yang menjadi permasalahan dalam gender ini adalah peran yang dibagi kepada laki-laki dan perempuan ini begitu rigid dan menyeragamkan kondisi yang dihadapi setiap individu. Perempuan dan laki-laki tidak dapat saling bertukar atau menggantikan peran dengan mudah. Ada batasan-batasan yang diciptakan untuk memenjarakan kedua jenis kelamin tersebut dan parahnya, batasan tersebut berkembang menjadi suatu bentuk penindasan.

Penindasan yang diwariskan turun-temurun ini pun sulit digoyang. Eternalisasi pembagian gender tersebut diperkuat dengan postulat-postulat ilmiah yang melegalkan praktek gender. Gender pun makin dianggap sebagai hal yang alami, wajar, dan biologis. Tak sampai situ saja, teks agama pun dipakai untuk membuat gender sebagai hal yang dikehendaki tuhan. Kuatnya gender ini pun membuat saya pesimis akan adanya sebuah penyetaraan gender.

Namun sebenarnya saya juga pesimis terhadap kepesimisan saya akan kesetaraan gender. Apakah ilmu dan agama benar-benar kuat sehingga tidak memungkinkan adanya kemajuan dalam persamaan gender sedangkan pada perjalanan persamaan gender sampai hari ini para sarjana dan pegiat gender memiliki sumbangsih nyata dalam hak pilih saya pada tahun 2009 lalu, dalam gelar sarjana yang nanti akan saya capai, dan dalam kesempatan kerja saya nanti? Pada masa awal pemberian hak pendidikan kepada perempuan, ketika perempuan-perempuan mulai diperbolehkan pergi ke sekolah, bukankah hipotesis dari para ilmuwan yang mengatakan bahwa pendidikan akan merusak sistem reproduksi perempuan pun bisa terpatahkan? Ketika Indonesia, negara muslim terbesar di dunia memiliki Megawati sebagai presiden di tengah-tengah seruan ulama yang mengatakan keharaman pemimpin dari jenis kelamin perempuan, apakah Megawati turun akibat seruan tersebut? Bukankah ia dipilih, diangkat menjadi presiden, dan usai menjalankan tugas sebagai presiden sesuai dengan cara yang ditetapkan undang-undang? Jadi, apakah kesetaraan gender benar-benar utopis seperti yang saya bayangkan?

Namun demikian, sampai hari ini saya masih miris. Pemberian hak pilih, kesempatan bersekolah, dan kesempatan bekerja dan memimpin memang telah dimiliki oleh perempuan. Namun masalahnya, bagi saya itu hanya kesetaraan permukaan.

Bagi saya, perempuan masih mengalami penjajahan secara wacana dan praktek keseharian. Perempuan terlalu kuat diasosiasikan dengan urusan menyapu, mencuci, dan memasak. Lalu, dengan rahim dan kelenjar susunya, ia pun diagung-agungkan sebagai ibu. Ia pun tak hanya harus menjaga dan memelihara rumah, tapi juga memelihara dan menjaga anak. Tak hanya itu, ia pun harus menjaga dan memelihara tubuhnya. Dalam perjalanan hidupnya, ia diasingkan dari kebutuhannya yang sebenarnya. Ia terus-menerus harus memenuhi tuntutan sekelilingnya. Masalahnya lagi, ketiga hal tersebut sudah dianggap sebagai identitas utamanya. Agar dapat dianggap sebagai perempuan normal, ia harus mengerjakan hal-hal tersebut. Perempuan yang memilih berkecimpung di “dunia laki-laki” dan meninggalkan “kewajiban” menjaga rumah, anak, dan badan hanya akan membuat masyarakat kesulitan mengakui identitasnya sebagai perempuan. Secara fisik, ia memang perempuan, namun secara peran, ia akan dicibir masyarakat.

Pluralisme dan Kesetaraan Gender

Cibiran sosial bagi saya setali tiga uang dengan penindasan. Cibiran sosial memperlihatkan bahwa seseorang telah berlaku di luar kebiasaan wajar. Orang itu dianggap orang aneh. Dengan demikian, jika seorang perempuan memilih bekerja di luar rumah ketimbang menikah dan melakukan pekerjaan menjaga rumah, anak, dan badan lalu ia dicibir masyarakat, maka hal yang terjadi adalah sebuah bentuk paradoksal. Di satu sisi, dengan diterimanya ia bekerja di luar maka ia sedang mengalami penyetaraan gender, namun di sisi lain, cibiran yang ia dapatkan atas penyetaraan gendernya memperlihatkan bahwa ia masih mengalami penindasan. Cibiran sosial ini juga tak jarang diperparah dengan sebutan pendosa karena ia dianggap menyimpang dari petuah agama dan dibarengi dengan label anak durhaka karena melakukan hal yang tidak sesuai dengan pola asuhan yang diterapkan orang tua. Pemberantasan ketiga praktek itulah yang harus dilakukan oleh sarjana dan pegiat gender agar kesetaraan gender tidak berlangsung secara indah di permukaan namun borok di segi pondasi.

Celah yang saya lihat adalah perbaikan generasi masa depan melalui intensifikasi nilai-nilai pluralis seperti saling menghormati, menghargai, memahami, dan tenggang rasa serta penyebaran nilai-nilai pemahaman gender yang benar. Anak-anak dan orang-orang muda Indonesia harus kembali memaknai pluralisme yang ada di sekitar mereka dan melihatnya sebagai keragaman yang harus dihormati, bukan sebagai perbedaan yang menimbulkan celaan. Dengan tertanamnya nilai pluralis yang kuat, pertama, cibiran sosial yang tak lain adalah bentuk penindasan dapat diminimalisasi. Kedua, dengan adanya nilai pluralis, mereka akan mudah memahami laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang setara. Dengan demikian, kesetaraan gender pun tidak hanya akan terjadi dalam ranah publik tapi juga dalam ranah privat.

Nilai-nilai pluralisme dan kesetaraan gender ini pun harus disebarkan melalui beragam cara, baik melalui pendidikan di sekolah, maupun melalui pesan-pesan dalam wacana dan tayangan yang diakses orang banyak. Indonesia dan bahkan dunia membutuhkan model-model yang plural dan berkesetaraan gender dalam narasi, deskripsi, eksposisi, dan persuasinya untuk menciptakan harmoni antara perempuan dan laki-laki dan mengentaskan penindasan dalam pembagian peran gender.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun