Awal tahun 2010 merupakan awal tahun yang kelabu bagi kalangan industri ASEAN, khususnya Indonesia terkait pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Area. Iming-iming akses pasar yang lebih luas dan aliran investasi yang lebih ramai nyatanya tidak bisa menenangkan kekhawatiran mereka atas ancaman kalah bersaing. Dengan berat hati mereka mengakui bahwa industri mereka belum seefisien industri China. Mereka pesimis bisa bertahan di tengah gempuran produk China yang masuk tanpa hambatan.
Ancaman yang Menjadi Peluang
Menjadi negara pertama yang memiliki hubungan pasar bebas dengan ASEAN merupakan prestasi progresif bagi China. Bagaimana tidak, sampai tahun 90’an, China belum memiliki hubungan resmi dengan ASEAN meski telah memiliki hubungan bilateral dengan beberapa negara anggota ASEAN. China sendiri baru menjadi mitra dialog ASEAN pada tahun 1996. Sejak memiliki hubungan resmi dengan ASEAN, praktis persepsi ASEAN terhadap China berubah. Mereka tidak lagi melihat China sebagai ancaman karena komunismenya. Sebagai gantinya, mereka menyimpan harapan pada kedigjayaan ekonomi negeri Tirai Bambu tersebut. China sendiri pun pandai. Dalam perjalanannya menjadi mitra dialog yang masih singkat, ia mampu membaca kebutuhan ASEAN lewat keseriusannya bekerja sama dalam bidang politik dan keamanan, ekonomi, dan sosial budaya.
Dalam bidang politik dan keamanan, China telah menandatangani kesepakatan dengan ASEAN untuk menangani penyelesaian ketegangan di Laut China Selatan. Dalam ekonomi, komitmen China terhadap ASEAN tak hanya terlihat dari peningkatan volume perdagangan ASEAN-China dari tahun ke tahun, tapi juga dari keseriusan China dalam merencanakan pembangunan pipa gas dan minyak melalui Myanmar, meningkatkan pembangunan di kawasan Sungai Mekong, membangun ASEAN Centre untuk mempromosikan ekspor, investasi, dan pariwisata ASEAN di China, serta membangun jaringan transportasi sepanjang selatan China hingga daratan Asia Tenggara dalam proyek Singapore-Kunming Rail Link.
Dalam berbagai komitmen China terhadap ASEAN, sulit sekali bagi ASEAN untuk mengacuhkan China. Penerimaan ASEAN yang cepat atas proposal China mengenai kawasan pasar bebas ASEAN-China merupakan sinyal kepercayaan ASEAN atas China. Melalui ACFTA, kedua pihak sama-sama melihat bahwa demi mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih tinggi, peningkatan keeratan kerja sama merupakan kebutuhanmutlak.
Belum Diikuti Kesiapan Domestik
Namun, harus diakui, persepsi pemerintah ASEAN atas China yang tidak lagi menjadi ancaman tidak dirasakan oleh kalangan industri. Bagi kalangan industri di Indonesia, di ASEAN, dan di seluruh dunia, keunggulan komparatif China merupakan hal yang meresahkan. Di Indonesia, ancaman besar dari industri China tersebut diperparah pula oleh kondisi domestik yang minim mendukung peningkatan keunggulan komparatif dan efisiensi. Kita harus mengakui bahwa industri kita masih terbelit efisiensi yang rendah yang berasal dari persoalan birokrasi yang mahal, infrastruktur yang kurang memadai, dan persoalan energi yang semakin langka. Persoalan yang membelit kita ini akan menjadi masalah di masa depan karena justru motivasi China dalam membangun kesepakatan pasar bebas dengan ASEAN selain karena pasar yang besar juga karena China ingin mengamankan jalur perdagangan laut dan mendapatkan akses energi yang lebih besar untuk membiayai industrinya yang sedang booming. Ketidaksiapan kebijakan domestik Indonesia sebagai potensi pasar dan pusat sumberdaya terbesar di ASEAN dalam menghadapi ACFTA malah akan mematikan industri lokal sekaligus mendorong penjualan energi ke China yang akan meningkatkan keunggulan komparatif China di dunia.
Ada dua hal yang seharusnya diperhatikan ASEAN dalam menyetujui ACFTA. Pertama, gap kekuatan ekonomi di ASEAN sebenarnya tidak hanya terjadi di antara ASEAN6 dengan ASEAN CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam), tapi juga di antara ASEAN6 sendiri. Secara agregat, volume perdagangan ASEAN dengan China memang besar, namun perlu diperhatikan porsi ekspor di kesemua negara. Bahkan, ketika satu negara di ASEAN menjadi negara yang terbesar melakukan ekspor ke China pun, perlu dilihat perbandingan ekspor China ke negara itu dan apakah nilai ekspor negara tersebut merata pada seluruh industrinya. Kedua, ASEAN seharusnya menyadari kelebihan dan kekurangannya sebelum menerima proposal ACFTA dari China. Sebagai kawasan yang memiliki sumber daya alam dan pasaryangbesar serta jalur maritim strategis, namun masih kurang dalam maksimalisasi pengolahan kapabilitastersebut, ASEAN seharusnya mampu menawar China untuk membantu kesiapan ASEAN dalam meningkatkan keunggulan komparatif dan efisiensi industrinya sebelum mereka terikat dalam kawasan perdagangan bebas.
Keresahan kalangan industri Indonesia atas ACFTA seharusnya tidak terjadi jika saja sejak awal China menawarkan proposal ACFTA, pemerintah ASEAN, khususnya Indonesia mendengar persepsi kalangan industri sekaligus serius memperbaiki kondisi industri, baik dengan meningkatkan posisi tawar di hadapan China maupun berusaha secara mandiri. Kenyataannya tidak, kawasan pasar bebas yang dicita-citakan mampu meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi malah menyisakan kekhawatiran atas neokolonialisme negara kuat terhadap negara lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H