Mohon tunggu...
Rivka Vurkana
Rivka Vurkana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka mengaplikasikan dalam membaca dan melihat sbg sesuatu yang pantas didalami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kesempatan Kedua, Mungkinkah Hanya Wacana?

12 September 2014   17:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:53 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seseorang yang ingin memperbaiki diri dan mengaku bahwa dirinya bersalah sangat butuh bantuan untuk diyakinkan bahwa dirinya pantas menerima kesempatan. Tidakkah begitu sering menemui seseorang yang menelanjangi habis dirinya atas suatu cela hanya demi mendapat kelogowoan hati atau satu jabatan tangan yang mendamaikan? Misal dalam contoh kecil, seorang anak yang mengaku salah karena telah memecahkan vas bunga atau tidak mau tidur siang pasti masih akan tetap dimarahi Ibunya hanya demi alasanagar-ia-tahu-bahwa-hukuman-itu-perlu atau bahkan demi anggapan ‘ga marah ga lega’?  Demi memenuhi keyakinan yang begitu absolut bahwa pemberian ganjaran itu perlu. Andai saja "Apa kubilang?", "Coba kalau...", "Kamu sih....." dan kata-kata bernada menuntut lainnya tidak ada, mungkin rasa ikhlas dan kata maaf juga mudah untuk diberikan.

Mungkin memang benar bahwa hukuman itu perlu diberikan sebagai kontrol sosial atau sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar ketentuan. Tapi tak ada seorangpun yang ingin dibayangi oleh semua kesalahan yang dimiliki sepanjang hidupnya. Mengungkit kesalahan layaknya meminta kembali makanan yang telah kita berikan kepada seseorang, “Mana makanan yang kemarin aku kasih? Balikin!” mau dikembalikan juga pasti sudah tertelan, tidak dikembalikan tapi terus diminta. Tak ada pilihan. Terjebak, tersudut. Perasaan yang sama ketika seseorang terus menerus disalahkan sedang permintaan maaf diabaikan. Setiap orang pantas mendapatkan kesempatan dan lingkungan yang membuatnya merasa diterima. Betapa kata-kata seperti, “Sudah, tidak apa-apa..” atau “Semuanya akan baik-baik saja..” begitu perlu untuk menenangkan. Sungguh lebih baik untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dengan perkataan yang penuh kasih dibanding tuntutan atau ancaman.

Mungkin memang benar bahwa sesuatu yang terlahir dari emosijuga hanya akan berakhir disitu, tak akan pernah jauh. Sesuatu yang terjadi karena perasaan yang temporer juga akan membuat sesuatu yang lain menjadi sementara. Betapa penting untuk menjaga yang telah terbangun sekian lama dibanding pendaman amarah yang membuat lupa akan segalanya. Bila tak ada kata maaf, mungkin semua adalah pendosa.

Salam hangat dan pelukan yang sangat lama,

Rivka Vurkana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun