Sama-sama kebanjiran imigran atau pengungsi dari suriah, dua negara eropa mengambil sikap yang berbeda.jika Hongaria secara tegas menolak dengan menempatkan aparat keamanan untuk memblokade gelombang pengungsi yang masuk kenegaranya, tidak demikian halnya dengan Negara Jerman. Gelombang pengungsi yang sebagian besar masuk Jerman menggunakan kereta api, langsung di sambut tepuk tangan hangat dari warga negara jerman yang berada disetasiun , sebagai bentuk ucapan selamat datang dinegaranya, bahkan pemerintah Jerman sudah menyiapkan tempat transit dengan fasilitas lengkap guna menampung korban perang yang mencari perlindungan. Lebih jauh dari itu, kanselir Jerman Angela Marker siap membantu dan menampung para pengungsi dalam jumlah yang besar.
Pemandangan menarik juga terlihat ketika Tim Panser Jerman berhadapan dengan Timnas Polandia dalam lanjutan kualifikasi Piala Eropa 2016. Sejumlah suporter Jerman membentangkan sepanduk bertuliskan “ welcome refugess”(selamat datang pengungsi).Tentu bukan tanpa alasan jika negara Jerman atau lebih khusus pecinta sepakbola Jerman begitu perhatian kepada imigran yang mencari suaka kenegaranya. Dalam sejarah sepakbola negara ini, banyak anak –anak dari imigran atau warga keturunan yang kelak menjelma menjadi pahlawan pahlawan yang mengharumkan nama negara. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Timnas Jerman berhasil merebut Piala Dunia tahun 2014 lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa aktor-aktor dibalik kesuksesan Die Mannschact (sebutan Timnas sepakbola Jerman) di ajang tersebut sebagian besar adalah berasal dari pemain warga keturunan. Sebut saja nama Mesut Ozil (Turky), Samy Khedira (Tunisia), Jerom Boateng (Ghana), Lucas Padolski dan Miroslave Klose (Polandia). Bagaimana peran besar kelima pemain yang notabenya “bukan” orang jerman ini menjadi kunci rakyat jerman bisa berpesta, turun ke jalan-jalan kota sembari menyanyikan lagu kebangsaan Jerman„ Einigkeit und Recht und Freiheit für das deutsche Vaterland dengan penuh penghayatan.
Kita tidak pernah peduli bagaimana perjuangan orang tua Mezut Ozil bisa sampai ke Jerman, untuk menjadi buruh di negara Jerman Barat kala itu, dan kita tidak pernah tahu bagaimana Jerom Boateng kecil yang bisa jadi harus terombang-ambing di lautan mempertaruhkan nyawa demi menyeberang dari Ghana menuju Jerman, atau kisah perjalanan Miroslave Klose dan padolski kecil yang harus dibawa orang tuanya dari sebuah desa dipinggiran Polandia menuju Jerman ketika masih berusia dua tahun.
Bagi orang Jerman, kehadiran pengungsi suriah jumlahnya sudah mencapai 20.000 ribu orang dalam satu pekan terakir ini adalah sebuah anugerah. Orang Jerman sangat yakin dan percaya, 20 atau 25 tahun kedepan akan muncul Mesut Ozil-Mesut Ozil baru, akan lahir pemain-pemain haus gol seperti Miroslave klose, dan juga akan muncul bek-bek (pemain belakang) tangguh seperti Jerom Boateng dari bayi-bayi yang dibawa para pengungsi suriah dengan cara bedesak desakan di gerbong kereta.
Jika negara Jerman saja bisa sebegitu manusiawi dalam memperlakukan pengungsi, kenapa tidak dengan negara kita. Beberapa waktu lalu dalam konteks yang hampir sama, pemerintah kita terkesan ragu dan sangat lambat dalam merespon pengungsi Rohingnya yang masuk ke Indonesia.Sikap pemerintah tersebut, bisa jadi karena pemerintah beranggapan pengungsi rohingya dari negara Myanmar akan menjadi beban baru bagi negara. Sepertinya pemerintah indonesia harus banyak belajar tentang makna gotong royong dari pemerintah Jerman. orang Indonesia juga harus belajar apa itu “tepo seliro” dari Orang jerman. dan yang paling mendesak, guru-guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia harus belajar banyak tentang kapita Selekta Pancasila dari guru-guru di Jerman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H