Pada tahun 1960-an hingga awal 1970-an, Hongkong merupakan salah satu negara paling korup di dunia. Saat itu, adalah hal biasa ketika masyarakat melakukan penyuapan terhadap pejabat pemerintah. Bahkan lebih parahnya, lembaga penegak hukum di sana adalah sarang korupsi. Namun praktik korupsi ini semakin berkurang sejak dibentuknya Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada Oktober 1973. Berkat kerja keras lembaga independen ini dan didukung oleh masyarakat luas, akhirnya Hongkong menjadi salah satu negara terbersih dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, kesuksesan Hongkong dalam memerangi korupsi tidak bisa dilepaskan dari partisipasi masyarakat. Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, pada masa Orde Baru, terjadi praktik mega korupsi secara sistematis. Pejabat yang melakukan praktik korupsi secara besar-besaran ini bukan hanya untuk memperkaya diri, tetapi juga untuk membiayai kegiatan politik guna mempertahankan kekuasaan. Hingga saat ini, mega korupsi dan korupsi berjemaah masih terjadi. Banyaknya pejabat-pejabat dan juga petinggi partai politik yang akhir-akhir ini berhadapan dengan hukum akibat korupsi, merupakan contoh nyata. Sepertinya mereka tidak memiliki rasa malu dan takut.
Sialnya, sebagian besar masyarakat menganggap korupsi sebagai hal yang biasa dan merupakan tradisi, serta merupakan karakteristik budaya. Ketika korupsi dianggap sebagai kenyataan yang wajar, maka dalam contoh sederhana, tidak mengherankan ketika pungutan-pungutan tidak resmi terus mewarnai pelayanan publik, seperti pada saat pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), izin mendirikan bangunan (IMB), dan surat-surat lainnya.
Memang sejak era reformasi 1998, semangat dan harapan untuk memerangi korupsi begitu besar. Hal ini didukung oleh kebebasan pers, dibentuknya lembaga independen komisi pemberantasan korupsi (KPK), dan lembaga swadaya masayarakat (LSM) maupun organisasi masyarakat (ormas) yang giat menyuarakan dan memperjuangkan pemberantasan korupsi. Tetapi upaya memerangi korupsi ini tidak berjalan dengan lancar karena minimnya partisipasi masyarakat. Padahal, masyarakatlah yang paling dikorbankan atas praktik korupsi tersebut. Di sisi lain, tantangan dan hambatan dari pihak pro status quo semakin besar dan kuat.
Membangun Partisipasi Masyarakat
Bagaimanapun juga, pemberantasan korupsi tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, sudah menjadi hukum wajib masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Setidaknya ada empat alasan mengapa masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam memerangi korupsi. Pertama, dengan melihat akar korupsi. Kedua, dampak korupsi bagi masyarakat. Ketiga, manfaat dari pemberantasan korupsi. Keempat, lemahnya aparat pemerintah dan penegak hukum dalam menangani korupsi.
Pada umumnya, korupsi dapat terjadi karena adanya niat dan kesempatan. Niat untuk melakukan korupsi muncul ketika adanya situasi yang kondusif maupun longgar atau lemahnya sistem pengawasan. Sebaliknya, situasi yang kondusif atau lemahnya sistem pengawasan menimbulkan niat seseorang untuk melakukan korupsi. Situasi yang kondusif/longgar maupun lemahanya sistem pengawasan itu tercipta ketika lemahnya penegakan hukum dan minimnya pengawasan dari masyarakat.
Sangat tidak adil ketika koruptor yang terbukti mencuri uang rakyat miliaran rupiah hanya divonis rata-rata di bawah lima tahun. Itu belum termasuk remisi dan keringanan lainnya. Sementara rakyat kecil yang mencuri karena terpaksa memenuhi kebutuhan sejengkal perutnya, divonis lebih lama. Itu pun sesudah mendapatkan perlakuan kekerasan fisik. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi bukan hanya mengawasi dan mencegah korupsi, tetapi juga mengawal serta menegakkan hukum.
Partsipasi masyarakat sangat dibutuhkan, apalagi dengan mengingat bahwa masyarakatlah yang paling dirugikan dari korupsi. Ada pun dampak buruk korupsi bagi masyarakat adalah: harga barang semakin mahal dan upah buruh murah karena perusahaan harus membayar “suap” sejak masa perizinan hingga produksi; sektor pelayanan publik (pendidikan dan kesehatan) semakin mahal; bantuan tidak sampai ke tangan masayarakat karena sudah “disunat” dari atas; petani semakin terjepit karena harga faktor produksi semkin tinggi; kebijakan politik tidak merakyat karena pejabat dipilih berdasarkan politik uang; dan merosak moral generasi bangsa.
Dampak buruk tersebut akan hilang jika upaya memerangi korupsi sungguh-sungguh dilakukan sebagai gerakan bersama dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu manfaatnya adalah terciptanya pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih tentu menciptakan pelayanan publik yang bersifat menolong, terbuka, bertanggungjawab, responsif, dan adil.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam memerangi korupsi. Tetapi masyarakat tidak bisa (hanya) mengandalkan pemerintah karena aparat pemerintah memiliki keterbatasan. Selain itu, yang menjadi masalah besar adalah karena sarang korupsi sekarang ini ada di lembaga pemerintahan dan lembaga hukum. Oleh karena itu, masyarakat harus bergerak, masyarakat harus berpartisipasi. Berputarnya roda partisipasi masyarakat akan seirama dengan perubahan di lingkungan pemerintahan. Pertanyaan sekarang, bagaimana partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi?
Seberapa besar pun partisipasi masyarakat dalam memerangi korupsi, pasti tidak akan menghilangkan korupsi 100 persen. Tetapi, partisipasi masyarakat yang terorganisir pasti akan membawa perubahan besar di negeri ini. Agar upaya memerangi korupsi membawa manfaat besar, maka yang pertama dan terutama dilakukan adalah membentuk kesadaran dalam diri masyarakat bahwa mereka adalah “majikan” sedangkan pemerintah adalah “pelayan”. Seorang majikan berhak mengetahui dan mengawasi kinerja pelayannya. Seorang majikan berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari pelayanannya. Proses penyadaran ini sejalan dengan pengikisan budaya feodal.
Selanjutnya, strategi pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan tiga hal. Pertama, strategi preventif, yakni strategi yang sifatnya mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Misalnya dengan menolak peermintaan pungutan liar dalam pengurusan apa pun. Masyarakat harus membiasakan transaksi keuangan sesui dengan bukti penerimaan (kwitansi).
Kedua, strategi detektif, yakni strategi mendeteksi apakah telah terjadi tindak pidana korupsi. Partisipasi masyarakat diharapkan menjadi gerakan sosial yang rapi, sehingga masyarakat perlu membentuk komunitas anti korupsi. Komunitas anti korupsi ini tentu akan memiliki energi yang lebih besar dalam melakukan pengawasan .
Ketiga, strategi advokasi, yakni strategi membangun sistem yang dapat menyelesaikan kasus-kasus korupsi secara hukum. Dalam tahap ini, masyarakat bisa melaporkan kasus korupsi kepada aparat hukum dan mengawasi proses penanganannya. Selain itu, sistem politik yang relatif demokratis serta adanya kebebasan pers dapat dijadikan sebagai ruang partisipasi masyarakat, misalnya dalam kampanye anti korupsi bahkan dengan jalan demonstrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H