Mohon tunggu...
Rivando Siahaan
Rivando Siahaan Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Tampil sederhana dengan ketulusan,\r\nada untuk sebuah perubahan yang lebih baik dari hari ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Skip Challenge benarkah untuk Popularitas?

10 Maret 2017   22:48 Diperbarui: 12 Maret 2017   02:00 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permainan zaman dahulu sangat berbeda dengan zaman sekarang. Kalau anak sekarang permainannya banyak dilakukan di dalam ruangan banyak mengandalkan saraf-saraf sensorik dengan kata lain banyak melatih rasio seperti main puzzle, rubik, sampai pada game online di HP ataupun di laptop. Sedangkan zaman dahulu permainan di mainkan diluar ruangan biasanya masih tradisional seperti main karet untuk anak perempuan, main gundu atau kelereng sampai main petak umpet.
Kegiatan tersebut banyak melatih saraf motorik kita karena otot-otot bergerak. Permainan seharusnya memberikan penghiburan bagi orang-orang yang sedang melakukannya. Terlepas dari menang atau kalah dia di permainan tersebut. Permainan juga menuntut kita untuk bersosialisasi, beradaptasi dan berinteraksi satu dengan yang lain. Kalau menang bisa jadi mgkin seseorang jadi populer di sekolahnya karena bisa menguasai permainan .Yang jelas tujuannya baik untuk perkembangan anak. Bukan malah membahayakan bagi mereka yang melakukan permainan tersebut.

Salah satu contohnya akhir-akhir ini yang sedang viral di media sosial adalah skip challenge. Tantangan permainan Skip Challenge dilakukan dengan menekan dada sekeras-kerasnya selama beberapa saat. Ini menyebabkan aliran darah ke otak terhambat dan membuat seseorang kekurangan oksigen sehingga mencapai fase "high", sampai ia kejang dan kehilangan kesadaran atau pingsan. Beberapa lama kemudian mereka akan kembali sadarkan diri.

Hal tersebut bisa membahayakan si pemenang dan yang kalah. Yang kalah akan pingsan dan kemudian bisa saja tiba-tiba mati karena peredaran oksigen di otaknya jadi terhambat dan yang menang akan masuk penjara karena telah menghilangkan nyawa temannya. Permainan ini memang sudah terkenal di luar negeri pada dan sudah jelas mencabut nyawa seseorang. Jadi mengapa dilakukan lagi? Apa pura-pura tidak tau atau mengejar popularitas di medsos supaya orang lihat bahwa kita hebat. Sungguh hanya orang yg bodoh jatuh pada lubang yang sama. Sungguh permainan ini adalah permainan idiot. Bayangkan seseorang yang di bawah IQ rata-rata. Karena sudah jelas tidak melatih saraf motorik atau pun sensorik bagi kita. Tetapi kehilangan denyutan saraf-saraf di otak kita. Sebaiknya jangan diulang kembali. Kalau pun diulang permainan ini dilakukan pada saat kita mengalami ancaman bahaya dari penodongan dan perampokan atau sebagai bela diri.

Permainan yang baik akan terus melatih mu untuk mencari jati diri sesungguhnya. So antara sensorik dan motorik mana yang yang dirimu kembangkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun