Mohon tunggu...
Rivando Siahaan
Rivando Siahaan Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Tampil sederhana dengan ketulusan,\r\nada untuk sebuah perubahan yang lebih baik dari hari ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pilkada DKI 2017, Antara Demokrasi, Tuhan dan Mayat

12 Maret 2017   19:00 Diperbarui: 13 Maret 2017   04:00 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pilkada DKI putaran pertama telah memilih jalannya sendiri. Ketika ayat kitab suci yang sengaja diplintir oleh orang-orang yang notabene adalah seorang terpelajar punya kedudukan sebagai pengajar. Rela menggunting kata-kata sehingga kelihatan ambigu. Sasarannya supaya petahana terancam kehilangan karir sebagai paslon yang memiliki kesempatan untuk beradu gagasan dan visi dan misi di pilkada ini. Tetapi apa daya sampai sekarang sudah menjalani sidang demi sidang di pengadilan belum menemukan Titik terang. Begitu banyak pendapat dari saksi ahli tak ada satu pun bisa membawa dia ke BUI. Sampai sang Pemimpin yang katanya pembela agama heran sehingga berdalih pihak tersangka menggunakan dukun serta ilmu hitam untuk menghambat proses kriminalisasi ini. Masa sih masih percaya takhayul pada zaman milenia ini. Sungguh primitif kali ya. Saya sih tidak bisa menebak bagaimana jalan sidang yang katanya "Penista agama itu". Tetapi kebenaran akan menemukan jalannya walaupun terjal, penuh kerikil-kerikil tajam. Pasti ada titik terang ada yang menang dan yang kalah di pengadilan itu. Cuma yang saya tau Tuhan tak jadi daftar Pemilih Tetap di pesta demokrasi . Tuhan adalah Penentu jalanNya pertarungan ini. Siapa yang menang di pertengahan sudah DIA Tentukan serta maju sampai babak akhir.

Pilkada DKI kedua akan berlangsung saya melihat sungguh prihatin. Ketika seseorang yang berjuang menentukan pilihannya. Baik di Pilkada nanti maupun jalan kehidupannya kelak di dunia orang mati. Saya miris dan menyesal peristiwa ini terjadi. Ketika mayat yang sedang menjelajahi dunianya orang mati. Hanya dihiraukan begitu saja, tanpa memenuhi hak nya sebagai orang yang sudah meninggal untuk dishalatkan sesuai ajaran agama. Hanya karena beliau memilih orang yang katanya kafir, kasar, serta penista agama. Apa sebenarnya salah beliau? Bukan kah kita harus melapangkan jalan menuju sang Pencipta. Sungguh tragis jika orang meninggal pun kita jadikan alat untuk mempertahankan doktrin yang kita bangun selama ini. Sesungguhnya dunia orang mati tak mengenal doktrin. Dia kenal hanya 2 jalan menuju alam baka. Dunia orang mati tak mengenal demokrasi UUD (ujung-ujung nya duit) atau Asal Bapak Senang (ABS). Dunia orang mati hanya mengenal penghakiman oleh sang Khalik. Tubuh ini akan lenyap oleh siklus rantai makanan dalam tanah dan roh akan menghadap sang penciptanya kelak. Jadi saya bertanya kepada bapak Kapolri dan Presiden apakah ketika kita meninggal nanti kita kehilangan hak-hak asasi di Bumi?
(Ini masalah serius mohon diusut)

Terima kasih
R.D.R.S

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun