Mohon tunggu...
Rivalia Lutfi Ana
Rivalia Lutfi Ana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

Seorang yang talk active

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mahasiswa Apatis terhadap Pemilwa: Refleksi Miniatur Demokrasi Kampus

15 Desember 2024   22:41 Diperbarui: 15 Desember 2024   22:54 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto merupakan dokumen pribadi dan diambil saat Kampanye Dialogis di kampus kami

Kampus sering disebut sebagai miniatur negara, sebuah ruang di mana mahasiswa belajar menjalani kehidupan demokrasi dalam skala kecil sebelum terjun langsung atau berperan ke masyarakat yang lebih luas. Selain belajar tentang kehidupan bermasyarakat kampus juga menjadi wadah mahasiswa untuk belajar berpolitik, dan berdinamika sosial. Salah satu wujud nyata dari proses demokrasi ini adalah Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa). Namun, fenomena yang terlihat di banyak kampus, termasuk kampus saya, adalah rendahnya minat mahasiswa dalam berpartisipasi. Padahal, mahasiswa generasi Z yang dikenal sebagai digital natives seharusnya lebih sadar akan pentingnya peran politik dalam perubahan sosial. Digital natives adalah generasi yang lahir dan tumbuh besar dalam era teknologi digital. Mereka terbiasa menggunakan internet, media sosial, dan perangkat teknologi sejak usia dini, sehingga memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perkembangan teknologi. Sebagai digital natives, mahasiswa Gen Z memiliki akses tak terbatas pada informasi dan media yang seharusnya mempermudah mereka untuk terlibat dalam proses politik seperti Pemilwa. Namun, meskipun memiliki keunggulan dalam hal akses dan literasi teknologi, sebagian besar dari mereka justru cenderung memprioritaskan konten hiburan atau sosial. Kondisi ini menjadi ironi tersendiri, mengingat generasi yang memiliki potensi besar ini seharusnya mampu menjadi motor penggerak perubahan di dalam maupun luar kampus. Fenomena apatisme ini menjadi objek yang menarik untuk dianalisis melalui aspek mikro dan makro.

Pada tingkat mikro, apatisme mahasiswa terhadap Pemilwa dapat diamati melalui sikap individu, seperti tidak menghadiri acara kampanye, jarang membaca visi-misi calon, atau bahkan tidak memilih pada hari pemungutan suara. Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya minat atau informasi yang mereka miliki tentang Pemilwa. Beberapa mahasiswa merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan berarti, atau menganggap politik kampus penuh dengan konflik internal yang tidak menarik untuk diikuti.
Fenomena ini juga dipengaruhi oleh gaya hidup mahasiswa zaman sekarang. Generasi Z cenderung lebih fokus pada hal-hal yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan pribadi mereka, seperti pencapaian akademik, hiburan, atau peluang kerja. Sikap ini mencerminkan kurangnya rasa tanggung jawab sosial individu terhadap komunitasnya, meskipun mereka memiliki akses yang luas terhadap informasi.
Di sisi lain, pada aspek makro, apatisme ini mencerminkan lemahnya sistem sosial politik di dalam kampus. Misalnya, proses Pemilwa yang kurang inklusif atau promosi yang tidak efektif membuat mahasiswa merasa jauh dari proses tersebut. Selain itu, isu-isu seperti rendahnya transparansi panitia atau minimnya keterlibatan mahasiswa dalam perumusan kebijakan organisasi kampus turut memperbesar jarak antara mahasiswa dan Pemilwa.
Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan budaya politik yang masih minim di kampus. Mahasiswa tidak melihat Pemilwa sebagai alat untuk memperjuangkan aspirasi mereka, melainkan hanya sekadar formalitas yang harus dijalani setiap tahun. Padahal, kampus adalah miniatur negara di mana mahasiswa seharusnya belajar memahami pentingnya politik sebagai sarana perubahan sosial.
Untuk mengatasi apatisme ini, perlu ada integrasi antara perubahan di tingkat individu (mikro) dan sistem (makro). Pada tingkat mikro, mahasiswa perlu diedukasi tentang pentingnya peran mereka dalam proses politik kampus. Sosialisasi dan pelatihan literasi politik, baik melalui seminar, media sosial, atau komunitas, dapat meningkatkan kesadaran mereka.

Di tingkat makro, organisasi kampus perlu menciptakan sistem Pemilwa yang lebih transparan, inklusif, dan menarik. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan platform digital yang akrab bagi generasi Z untuk kampanye, debat kandidat, dan pemungutan suara. Ketika mahasiswa merasa sistem itu relevan dan adil, mereka akan lebih tertarik untuk terlibat.
Apatisme mahasiswa terhadap Pemilwa bukan hanya masalah individu, tetapi juga refleksi dari sistem sosial di kampus. Sebagai miniatur negara, kampus memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik mahasiswanya agar lebih peduli pada politik dan demokrasi. Dengan memperbaiki aspek mikro dan makro, Pemilwa dapat menjadi ajang pembelajaran demokrasi yang sejati, sekaligus menciptakan generasi muda yang lebih peduli pada masa depan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun