Mohon tunggu...
Rivalia Lutfi Ana
Rivalia Lutfi Ana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi

Seorang yang talk active

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sensasi Indonenglish dalam Budaya Generasi Z: Antara Tren Globalisasi dan Pemajuan Kebudayaan

24 September 2024   14:30 Diperbarui: 24 September 2024   14:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa adalah salah satu elemen penting dalam budaya yang mencerminkan identitas dan sejarah suatu bangsa. Di Indonesia, bahasa Indonesia memainkan peran sentral dalam membangun kesatuan bangsa, terutama setelah merdeka dari penjajahan. Namun, perkembangan zaman yang didorong oleh globalisasi dan arus teknologi menyebabkan perubahan dalam cara masyarakat berkomunikasi. Salah satu perubahan yang menonjol adalah perpaduan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, atau yang dikenal dengan istilah 'Indonenglish'. Penggunaan bahasa campuran ini menimbulkan beragam pandangan mengenai pengaruhnya terhadap pemajuan kebudayaan.

Tulisan ini akan sedikit menangapi esai dari dosen saya Bapak Bernando J Sujibto yang merupakan dosen sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Dalam esainya yang berjudul "Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan", beliau mengkritisi praktik berbahasa campuran yaitu bahasa indonesia dan bahasa inggris yang makin marak dan menjadi standar di tengah pergaulan anak-anak muda saait ini. Awalnya, praktik indonenglish terjadi masif, terutama di kota-kota besar yang didukung langsung oleh cara berbahasa oleh para artis dan selebritas; keberadaan dan perkembangannya masi cukup terbatas, serta bisa dipahami sebagai praktik berbahsa subculture.

Namun, hari ini, di tengah perkembangan arus globasasi praktik indonenglish sudah sangat berbeda. Didukung dengan media sosial yang sangat mudah diakses khalayak umum, media-media daring maupun luring yang melimpah, iklan, gaya hidup, dan sebagainya.
Saya sendiri tumbuh dalam era digital dan globalisasi, sangat terbiasa dengan pengaruh budaya luar, termasuk bahasa Inggris. Saya juga merasakan betapa alami penggunaan Indonenglish dalam percakapan sehari-hari. Contohnya seperti "You wanna try? ini enak banget loh" saat saya menawari makanan kepada teman saya atau "Let's catch up nanti" adalah ilustrasi bagaimana bahasa Inggris menyatu dalam dialog informal kami. Ini mencerminkan bagaimana kami merasa nyaman dengan kedua bahasa tersebut, sekaligus menggambarkan realitas sosial kami sebagai generasi yang terhubung dengan dunia global.

Beliau menegaskan, meskipun tidak meolak secara mentah-mentah, perhatian pada nasib bahasa Indonesia dari beragam 'ancaman' harus selalu disikapi secara bijak dan publik perlu mendapatkan edukasi yang terukur. Untuk itu, mengangkat dan memperdebatkan isu-isu kebahsaan, termasuk praktik indoneglish, harus dimaknai sebagai bentuk perhatian bagi kebudayaan Indonesia

Dalam esainya terdapat pembahasan Captive Mind, istilah "captive mind" (pikiran yang terperangkap) dalam konteks ilmu pendidikan mengacu pada kondisi dimana individu, khusunya pelajar atau akademisi, terjebak dalam pola fikir yang kaku dan terpengaruh oleh dominasi ideologi atau budaya tertentu. Beliau berpendapat ketercocokan kita pada bahasa Inggris merupakan produk nyata dari captive mind. Captive mind menuntun pada cara bertindak, bahwa berbahasa tanpa ada unsur inggris-inggrisnya dirasa kurang eksis sehingga percakapan (baik formal maupun informal) mencampuradukan kosakata Inggris dan Indonesia. Praktik itu terjadi secara sistematis karena pada waktu yang bersamaan kemampuan berbahasa Inggris dianggap sebagai keunggulan kompetitif di banyak sektor dalam kehidupan kita. Selain itu, Teknologi dan internet juga berperan besar dalam menyebarkan bahasa Inggris dengan produk paling nyatanya ialah bahasa gaul jaksel.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Indonenglish membawa dampak positif atau negatif bagi pemajuan kebudayaan? Di satu sisi, fenomena ini bisa dilihat sebagai inovasi linguistik yang memperkaya cara berkomunikasi, terutama dalam konteks teknologi, bisnis, dan pendidikan yang kerap didominasi bahasa Inggris. Dengan kemampuan beralih antara bahasa Indonesia dan Inggris, Generasi Z mampu berkontribusi lebih aktif dalam wacana global tanpa meninggalkan bahasa lokal. Penggabungan ini bisa dianggap sebagai jembatan yang memungkinkan pertukaran ide lintas budaya tanpa memisahkan diri dari akar bahasa Indonesia.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa penggunaan bahasa campuran ini bisa mengakibatkan erosi identitas budaya. Semakin sering bahasa asing digunakan, ada kemungkinan bahasa Indonesia formal dan baku semakin terpinggirkan. Generasi muda mungkin akan merasa lebih jauh dari bahasa Indonesia yang sesungguhnya menjadi simbol identitas bangsa. Dalam konteks kebudayaan atau acara formal, penggunaan bahasa campuran bisa dianggap tidak sopan atau kurang menghargai tatanan bahasa yang diwariskan secara turun-temurun. Jika fenomena ini tidak diimbangi dengan pendidikan bahasa yang tepat, ada risiko hilangnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia.
Pemajuan kebudayaan, sebagaimana diatur dalam kebijakan negara, bertujuan untuk memperkuat identitas nasional di tengah gempuran globalisasi. 

Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan menjaga keutuhan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu. Namun, kenyataannya, bahasa terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, diskusi tentang Indonenglish tidak seharusnya hanya berkisar pada benar atau salah, melainkan bagaimana fenomena ini dapat digunakan secara adaptif untuk memperkuat budaya.

Daripada melihat Indonenglish sebagai ancaman, kita bisa menganggapnya sebagai bentuk ekspresi keberagaman budaya di Indonesia. Generasi Z tumbuh dalam lingkungan yang multikultural dengan pengaruh global yang datang melalui media sosial, musik, film, dan teknologi. Penggunaan bahasa campuran menjadi bagian dari identitas mereka, sebuah refleksi dari keterbukaan terhadap budaya asing tanpa melepaskan identitas nasional. Meskipun begitu, penting untuk diingat bahwa bahasa Indonesia tetap harus dijaga sebagai elemen inti dari kebudayaan.

Sebagai generasi yang menguasai kedua bahasa, Generasi Z memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa penggunaan Indonenglish tidak menggerus apresiasi terhadap bahasa dan budaya lokal. Pendidikan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus tetap menjadi prioritas, baik di lingkungan pendidikan formal maupun di media. Sementara itu, kreativitas dalam penggunaan bahasa juga perlu didukung sebagai cara untuk menjembatani komunikasi antara lokal dan global. Dengan demikian, pemajuan kebudayaan dapat dicapai secara berimbang, tanpa harus mengorbankan identitas bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun