Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang dibentuk negara adalah awal mulanya sebagai trigger mechanism. Artinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awalnya dibentuk untuk mendorong lembaga-lembaga yang lain sebelumnya untuk lebih efektif dan efisien dalam pemberantasan korupsi.
KomisiKomisi Pemberantasan Korupsi pada awalnya dibentuk dengan tujuan untuk menangani Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merajalela seperti yang tercantum pada Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (sebelum revisi) yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Namun, seiring berjalannya waktu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai di rusak dari dalam oleh Pemerintah Indonesia sejak diputuskannya revisi undang-undang KPK yaitu Undang-Undang No 19 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No 30 Tahun 2002.
Bagaimana tidak? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak direvisi pada tahun 2019 lalu, Â menjadi lembaga negara yang dirangkul oleh pemerintah dan masuk ke ranah eksekutif. Revisi UU KPK ini menyebabkan KPK tidak lagi menjadi lembaga yang independen. Melainkan sama seperti lembaga negara lainnya.
Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut merupakan marwah dari KPK itu sendiri. Sebab, kasus korupsi merupakan tindak pidana khusus yang memerlukan perhatian yang lebih. Sehingga perlu adanya keseriusan dan menghindari intervensi dari pihak lain dalam menangani korupsi di Indonesia.
Selanjutnya, keberadaan Dewan Pengawas yang ada di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai menyempitkan kuasa KPK itu sendiri dalam menangani sebuah kasus. Bagaimana mungkin, sebagai lembaga yang dibentuk negara untuk memberantas dan mengawasi tindak pidana korupsi malah ditambah dengan pengawas lagi.
Kemudian yang menambah lagi kebobrokan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ialah ulah pimpinannya, Firli Bahuri. Pimpinan KPK Firli Bahuri menjadi tersangka kasus pemerasan dan dugaan gratifikasi terhadap SYL pada Rabu, 22 November 2023. Hal ini kemudian menjadi sebuah keresahan pada masyarakat dan akademisi sebab Firli Bahuri yang merupakan pimpinan KPK tersandung tindak pidana yang ditegakkan nya sendiri sebagai pimpinan KPK.
'Boomerang' menjadi istilah yang cocok untuk menggambarkan Firli Bahuri saat ini sebab Firli Bahuri kerap kali mengkampanyekan tentang anti korupsi terutama pada sosial media.
Bukan hanya soal pemerasan dan dugaan gratifikasi yang dilakukan oleh Firli Bahuri, akan tetapi sebelum ia menjadi pimpinan KPK yaitu pada saat ia menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK banyak pelanggaran yang diduga ulah dari Firli Bahuri seperti, pembocoran dokumen dan bertemu dengan pihak berperkara. Bahkan banyak Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang gagal ulah dari Firli Bahuri.
Agus Rahardjo eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam wawancara dengan Rosi, mengatakan bahwa Firli Bahuri telah diselidiki dan terbukti melakukan pelanggaran etik berat yaitu bertemu dengan saksi kasus korupsi perimbangan pada 2018. Akan tetapi belum sempat untuk memutuskan hukuman, Firli Bahuri telah ditarik kembali oleh polri. Lanjut tutur eks ketua KPK tersebut saat Firli Bahuri diserukan menjadi pimpinan KPK, beliau mengatakan bahwa jangan memilih Firli Bahuri karena track record nya yang buruk. Akan tetapi hal tersebut tidak dihiraukan oleh Panitia Seleksi KPK. Ini kemudian yang diduga adanya kerjasama antara panitia seleksi dengan firli bahuri yang saat itu diserukan menjadi pimpinan KPK.
Istilah yang kemudian menjadi gambaran dari kondisi KPK saat ini ialah strategi 'kuda troya'. Kuda Troya merupakan patung kuda yang diciptakan oleh tentara Yunani terhadap orang-orang Troya untuk menghancurkan mereka dengan cara memasukkan patung kuda yang berisi tentara Yunani kedalam benteng troya. Pemerintah Indonesia takut dengan produk yang mereka ciptakan sendiri yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Maka dari itu, mereka membuat revisi UU No 19 Tahun 2019 sebagai kuda troya untuk merusak KPK dari dalam.