Sampai hari tuanya, hanya kesendirian yang menemani, dengan sedikit keyakinan tentang berkat yang akan diterimanya dari leluhur karena sudah bersedia menjadi penanggung dosa orang lain. Setelah menjadi korban sifon, dirinya ditelantarkan di hutan lontar yang dingin. Tidak ada yang datang menjenguk setelahnya, hanya seorang ahelet yang memaksanya untuk menjadi budak sifon bertahun tahun lalu. Dalam menjalani sisa sisa hidupnya, sebelum menutup mata, dia hanya berharap bahwa biarlah dia yang mati bersama ritual tersebut, karena dia yakin, ritual ini masih berlangsung sampai sekarang.
Kisah hidup Maleuk merupakan gambaran nyata tentang beberapa wanita di NTT yang kebebasannya untuk menjadi  menjadi manusia masih perlu diperjuangkan.Â
Disini, objektifikasi keberadaan  perempuan  sebagai makhluk kelas dua dan budak  kebudayaan  menunjukan ketidakdewasaan pola pikir masyarakat dalam era modern yang masih terkungkung dalam tahayul dan adat istiadat yang salah.Â
Sebagai putra daerah yang lahir dan besar di pulau Timor, melihat sifon sebagai suatu pembatasan terhadap esensi mereka sebagai perempuan dan juga rantai terhadap harga dirinya, maka sudah sepantasnya kebiasaan ini harus dihentikan agar tidak terus bertumbuh subur dalam masyarakat. Wanita sudah sepantasnya diperlakukan sebagai objek kasih, bukan subjek penelitian atau ajang untuk coba-coba.
Pada akhirnya, jika pemerintah merasa bahwa membuat peraturan daerah untuk menghukum pelaku sifon dianggap terlalu sulit, atau pihak kesehatan dan rumah sakit berpikir bahwa memberikan sosialisasi kepada para pelajar di universitas atau sekolah tentang bahaya sifon terlalu menyita waktu, maka mungkin masyarakat yang membuat solusinya. Dan langkah paling sederhana namun berdampak besar adalah dengan tidak melakukan atau mengikuti ritual tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H