Mohon tunggu...
Riung Laut
Riung Laut Mohon Tunggu... Wiraswasta - CV Riung Laut

Penyuka kopi, syair & senyummu

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Cerita untuk Ibu

12 Oktober 2017   21:26 Diperbarui: 13 Oktober 2017   00:18 2650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

: Perantau

Aku menulis kepenatan yang terekam trotoar, pada sore pukul lima
Jalanan itu sulur-sulur mimpi yang ramai
Orang-orang kehilangan rumah di dalam kepala, mengapung diantara keinginan untuk tidur berlama-lama, terjaga di pagi buta dan kerja menjadi sebuah pesta yang membosankan
Kota adalah gerbong kereta ekspres dimana para pejalan dari desa meninggalkan pedati mereka, tapi masing-masing tak pernah bisa melepaskan klenengan di lehernya
Jika gelap sudah menyergap, perayaan menjamur di mana-mana
ah tapi aku lebih suka menyebutnya berkabung bersama untuk sejenak, cuma sejenak, melupakan kesedihan
Dan esok hari adalah kesepian yang sama
Lalu bagaimana caranya aku menceritakan hal yang jauh seperti ini padamu, Ibu?
Tapi aku baik-baik saja,
Oh mungkin ini tak cukup karena belum jua kutemukan perempuan gunung yang nyala matanya dengan bibir merah merekah tanpa gincu
Aku butuh waktu untuk ini, sebab di kota yang dibanjiri hal-hal palsu mungkin
hanya ada satu dari seratus ribu
Jika nanti sudah kutemukan pasti akan kuceritakan dan kuperkenalkan padamu, Ibu
Tunggu saja

LJ, Oktober 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun