: Perantau
Aku menulis kepenatan yang terekam trotoar, pada sore pukul lima
Jalanan itu sulur-sulur mimpi yang ramai
Orang-orang kehilangan rumah di dalam kepala, mengapung diantara keinginan untuk tidur berlama-lama, terjaga di pagi buta dan kerja menjadi sebuah pesta yang membosankan
Kota adalah gerbong kereta ekspres dimana para pejalan dari desa meninggalkan pedati mereka, tapi masing-masing tak pernah bisa melepaskan klenengan di lehernya
Jika gelap sudah menyergap, perayaan menjamur di mana-mana
ah tapi aku lebih suka menyebutnya berkabung bersama untuk sejenak, cuma sejenak, melupakan kesedihan
Dan esok hari adalah kesepian yang sama
Lalu bagaimana caranya aku menceritakan hal yang jauh seperti ini padamu, Ibu?
Tapi aku baik-baik saja,
Oh mungkin ini tak cukup karena belum jua kutemukan perempuan gunung yang nyala matanya dengan bibir merah merekah tanpa gincu
Aku butuh waktu untuk ini, sebab di kota yang dibanjiri hal-hal palsu mungkin
hanya ada satu dari seratus ribu
Jika nanti sudah kutemukan pasti akan kuceritakan dan kuperkenalkan padamu, Ibu
Tunggu saja
LJ, Oktober 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H