Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Ia Kehilangan Ibundanya

23 September 2014   06:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:52 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Sampai kapan kami saling memusuhi. Tepatnya aku. Bagaimana jika salah satu dari kami pergi dan tidak pernah kembali. Sementara, tidak ada lagi kesempatan untuk memaafkan dan melupakan yang sudah terjadi …”

~ Selamat jalan Mama, I love you so much ever and ever. Sampai bertemu di rumah Bapa…~

Mata June berkaca-kaca saat membaca status yang ditulis oleh Dinda beberapa hari lalu di akun medsosnya. Ya, Dinda. Istri dari orang yang pernah sangat lekat di hatinya, kehilangan ibunda tercintanya.

June mendapat kabar berpulangnya mama Dinda bukan dari Dietrich. Debi yang meneleponnya. “Berita duka June, mamanya Dinda meninggal kemarin,” demikian Debi membawa laporan itu. Debi tidak menyebutkan sebab apa Tante Marina Kussoy meninggal. Yang pasti, beberapa minggu ini beliau dirawat di rumah sakit karena komplikasinya.

Debi menyarankan mereka –termasuk June tentunya- datang melayat ke kediaman orangtuanya Dinda. June tidak perlu berpikir dua kali untuk menerima ajakan Debi. Ya, ia akan datang ke sana. Dengan atau tanpa siapapun yang menemaninya.

Debi memang sempat ragu-ragu mengajak June. Ia hanya bilang, “Kalau elo mau lho, June”.

Ya, aku mau. Aku mau datang ke sana. Melayat Tante Marina, ibunda Dinda, mama mertua mantan kekasihnya.

June tidak pernah membayangkan akan sanggup bertemu orang-orang dekat yang berhubungan dengan Dietrich. Sejak mereka berpisah, June seperti ingin dibawa angin entah kemana. Ia tidak akan pernah mau bertemu mereka, juga berbicara. Siapapun itu, entah Dietrich, entah Dinda, atau keluarga mereka masing-masing.

Tetapi sialnya, ia dan Dietrich selalu saja terhubung. Mulai dari sebagai teman satu geng-nya Debi, lalu sama-sama aktif di dunia sosial politik meski berbeda peran. Ia menjadi peneliti elektabilitas parpol-parpol di Indonesia, Dietrich menjadi caleg salah satu parpol baru. Karena itu June kerap menghindar. Walau sesekali, ingin juga tahu kabar terakhir lelaki itu.

Barangkali, inilah perjuangan yang sesungguhnya. Bisakah ia, ketika perselisihan masih ada, ia tetap tinggal di sini. Tidak pergi ke kota lain (Tarakan) dengan dalih melakukan pekerjaan sosial. Ketika ia jauh dari Dietrich, June memang merasa secure. Tetapi seperti ada lubang yang menganga lebar di dalam batinnya. Saat itu ia tidak pernah tahu sudah sembuhkah atau masih perihkah luka hatinya. Tak ada alat yang mampu mendeteksinya.

Kini ia kembali ada di dekat Dietrich. Rasa sakit itu ternyata masih ada. Akan tetapi, ia tidak sudi mengeringkan lukanya. Ia tutup rapat-rapat, dengan memblokir semua jalur komunikasi dengan Dietrich. Kadang ia merasa benar dengan tindakannya. Untuk menjaga perasaan Dinda. Namun sering juga ia merasa bersikap keterlaluan terhadap Dietrich. Ia sesungguhnya tahu, Dietrich selalu mencarinya. Barangkali mau menyelesaikan persoalan yang dulu itu. Tetapi ia tak sanggup berhadapan dengan Dietrich, meski ia merindukan kehadirannya.

Bukan, bukan untuk mengulang kenangan lama. Tetapi untuk berdamai dengan Dietrich. Kalau masih ada sisa-sisa kebencian, biarlah. Aku ingin belajar menikmati rasa sakit sekaligus kebencian itu. Siapa tahu dengan demikian, kepiluan yang ditimbulkannya lama kelamaan akan tumpul juga, dan akhirnya semuanya menjadi biasa kembali.

Tetapi, kapankah ia akan memulainya? Langkahnya masih saja berat. Kalau tidak mau dibilang bahwa ia tidak sanggup. Sampai suatu ketika …

***

Pagi itu, seminggu yang lalu. Ia membuka mata dan dari balik jendela kamarnya langit tampak tak biasa. Warna birunya berbinar terang, namun tidak menyilaukan. Tak ada awan putih, hanya hamparan biru yang luas. June merasa, hatinya terangkat dan terorbit di keluasan cakrawala pagi itu. Jika di langit ada samudera, maka di samudera itulah ia berada. Hatinya menjadi sangat luas.

Surat Dietrich ia terima kemarin sore. Puji yang membawanya ke rumah. Ia tidak pernah tahu kisah mereka yang sesungguhnya. Dietrich dan Dinda. Dietrich tidak pernah mau mengatakannya. Seandainya dia mau bercerita semuanya, tentu ia tidak perlu memendam amarah yang sedemikian lama.

Akan tetapi, bisa saja sang waktu dan tangan Tuhan yang Pemurah itu yang menyurutkan dendamnya pada Dietrich. Sehingga pagi ini, luka dan sisa-sisa cinta sudah tak ada lagi. Tuhan mengangkatnya. Penuh.

Ia bisa memandang Dietrich sebagaimana adanya sekarang. Tak usah lagi marah, sakit, atau tersanjung ketika dulu Dietrich pernah mengatakan, “June, tunggulah aku. Aku harus menuntaskan masalahku dengan Dinda. Kita akan baik-baik saja.”

Atau, saat dia mengirimkan pesan pendeknya pada suatu malam, “Engkau tahu June, hal yang paling aku takutkan adalah saat hatimu hancur berkeping-keping ketika waktu itu tiba.”

Kemudian, ketika ia melantunkan kegelisahannya, “Aku terayun gelombang dua cinta June. Aku gelisah sekali. Sejatinya aku ingin memilikimu selamanya. Tapi Dinda? Dia tak mungkin aku tinggalkan. Kalau aku memilih kamu dan meninggalkan Dinda, ia akan berpaling dari Tuhan.”

Lalu, sewaktu sambil tertawa ia bercanda, “Kalau kamu yang patah hati, aku percaya kamu akan cepat bangkit. Tapi Dinda? Honey, aku tidak yakin...”

***

Puji, Yuri, dan Frans agak terkejut ketika diberitahu bahwa June mau datang ke rumah orangtua Dinda untuk melayat. “Deb, yakin si June nggak kenapa-kenapa?” tanya Puji.

“Iya, dia mau kok. Malah dia yang kasih usul, supaya kita pake baju warna gelap.”

“Hmmm... syukurlah. Berarti dia sudah memaafkan Dietrich.”

“Kalau dari nada suaranya sih kayaknya udah. Beda kan waktu kita undang dia di farewell-nya Erika, dia tarik ulur melulu. “

“Yahhh sudahlah. Kita bersyukur ...”

***

Rumah Tante Marina dan Om Kussoy terletak di daerah Menteng. Dinda dan Dietrich selama di Jakarta tinggal di sana. Hari Minggu, jalanan di pusat kota lengang. Ketika Debi tiba di sana, sudah banyak orang termasuk June yang datang dengan Mbak Monik.

Mereka berenam langsung menuju ruang keluarga dimana Dietrich dan Dinda berada. Dietrich merasa surprise June hadir dan menyambutnya dengan tulus. Lalu June menghampiri Dinda, memeluknya dan mengucapkan sepatah kata saja, “Kami turut berduka ya untuk kepergian Mama.”

“Makasih June, kamu sudah datang,” balas Dinda.

June menganguk.

Setelah itu mereka bercakap-cakap sebentar. Dietrich diberitahu bahwa teman-temannya tidak akan hadir di acara penguburan. Tetapi mereka sepakat bahwa untuk ibadah penghiburan lusa, Debi, dkk akan mempersiapkan acaranya.

***

Mereka berjalan kaki sejauh yang mereka sanggup.

Ketika datang ke rumah Dinda, Debi, Puji, Yuri, dan Frans datang dengan taksi. June ikut mobil Monik. Mariana, Renata, Jane, dan Dena diantar mobil Yonathan. Kini, mereka semua ingin memanfaatkan kebersamaan mereka dengan berjalan kaki dari kediaman orangtua Dinda sampai ke jalan raya menuju Megaria-Salemba dan Imam Bonjol-Sudirman.

“Are you all right, June?” tiba-tiba Puji bersuara.

“Fine. Aku baik-baik saja teman-teman. Tapi bukan aku yang membuatnya baik. Tuhanlah yang melakukannya. Kalian tahu, tadi pagi waktu aku bangun, suatu kesadaran muncul dalam benakku. Sampai kapan kami saling memusuhi.Tepatnya, aku. Bagaimana jika salah satu dari kami pergi dan tidak pernah kembali. Sementara, tidak ada lagi kesempatan untuk memaafkan dan melupakan yang sudah terjadi. Jadi, aku berdoa dalam hati agar bisa dipertemukan dengan Dietrich dan mau bilang, ‘Maafkan aku’. Eeeh, nggak lama Debi telepon ngasih kabar kalau mamanya Dinda meninggal. Rasanya, inilah kesempatan itu. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku akan ke tempat Dit dan Dinda. Dengan atau tanpa teman. Mungkin momennya kurang enak. Aku memaafkan Dietrich sepenuhnya setelah Dinda kehilangan Ibunya.

Demi mendengar penuturan June mereka semua berebut memeluk dia. “Thanks ya June. Pengalamanmu amat berharga buat kami. Kadang-kadang tidak mudah memang mengampuni. Tetapi Tuhan tahu betapa susahnya kita melakukan itu, dan seringkali Ia memberikan kesanggupan itu tanpa pernah kita menduganya.

June mengangguk dan matanya basah. Baginya, pengalaman bersama Dietrich bukan saja membawanya mengenal siapa lelaki itu. Tetapi sekaligus memahami siapa dirinya. June yang ingin sempurna. June yang tak rela dikalahkan. Dan June yang sulit menerima pepatah ‘Cinta tak harus Memiliki’. Dalam hal ini, ia harus mengakui Dinda jauh lebih baik darinya. Dan lebih siap untuk bersanding dengan Dietrich.

June ingin meneruskan perjalanan cintanya. Apakah dengan Franky atau dengan orang lain, terserah kemana jalan hidup membawanya. Rasanya lega bisa memiliki rasa ikhlas untuk melepaskan. Dan ia percaya bahwa Tuhanlah yang melakukannya.

Good luck June, kisahmu berakhir indah. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun