Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Imelda’s Stories (5) : Allah yang Baik dan Allah yang Jahat

8 Oktober 2014   02:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:58 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14126859751684719113

[caption id="attachment_346560" align="aligncenter" width="288" caption="http://rumah-cerpenis.blospot.com"][/caption]

Aku mau-mau saja mengizinkan mahasiswa tidak hadir di kelas kalau mereka aktif di salah satu organsasi kampus, dan mengerjakan sesuatu yang positif di luar kelas. Cara memberi nilai, aku akan minta mereka membuat laporan kegiatan, dan cara menguji apakah laporan itu tidak fiktif, dengan beberapa pertanyaan ‘investigatif’ yang akan aku ajukan saat membaca laporan mereka. Selebihnya, melakukan kroscek dengan pimpinan organisasi dan tim kerja mereka.

Terik matahari kota Kencana siang itu sangat menyengat. Ubun-ubunku hampir memuai rasanya. Sulawesi begitu panasnya. Langit terang benderang tanpa penghalang apapun tengah memayungi kami. Syukurlah, hempasan angin laut sesekali memberikan kesejukan ekstra.

Pukul sebelas siang aku harus sudah berada di kelas. Sementara mahasiswa lain pulang ke rumahnya, mahasiswa yang ikut ke kelasku harus bertahan sampai jam setengah satu siang. Setelah itu kalau ada yang masih kuliah jam satu, mereka akan tetap di kampus sampai seluruh perkuliahan selesai pada hari Jumat itu.

Sudah dua minggu aku menggantikan Pak Simon mengajar mata Kuliah Agama dan Etika. Setiap mahasiswa semester I dan II wajib mengambil mata kuliah Agama yang berada di bawah divisi Mata Kuliah Umum. Pak Simon sudah sepuluh tahun menjadi dosen sekaligus pendeta kampus di universitas ini. Selain mengajar, beliau juga menjadi ‘gembala’ bagi mahasiswa-mahasiswa yang ikut di kelasnya. Diluar jam kuliah, Pak Simon memberikan rumahnya untuk dipakai sebagai tempat rapat atau konseling bagi beberapa mahasisawa yang ingin curhat tentang masalah-masalah pribadi.

Kalau ada kegiatan Natal, Pak Sinom sesekali memberikan pengarahan kepada panitia. Tetapi sejauh ini menurut pengamatan teman-teman yang pernah diajar oleh Pak Simon, beliau tidak terlibat banyak dalam organisasi (perkumpulan) mahasiswa di kampus ini. Aku maklum. Pak Simon berlatar belakang pendidikan teologia, yang dipersiapkan untuk mengabdi di jemaat suatu gereja. Bukan jemaat kampus yang dinamikanya sedikit banyak berbeda.

Syukurlah, jam sebelas kurang aku sudah ada di kelas. Tapi kelas masih kosong. Minggu lalu, aku harus memulai perkuliahan pk. 11.15 wita. Sunguh situasi yang tidak kusukai. Anak-anak muda gemar datang terlambat. Di pertemuan pertama, aku minta agar jadwal ditepati dan akan ada sanksi bagi yang terlambat.

Masih ada 5 menit, aku mencoba menunggu.

Pk. 11.05 wita

Christison masuk ke kelas.

“Siang bu,” sapa Chris.

Aku mendongakkan kepala. “Siang, yang lain mana, Chris?”

“Tidak tahu bu, masih di lobi fakultas kayaknya.”

Duh, mahasisiwa ini! Tidak punya solidaritas untuk mengajak teman-temannya masuk kuliah.

“Apa mereka tidak tahu kuliah mulai jam 11?” tanyaku.

“Tidak tahu juga mi bu.”

Aku bangkit dan berjalan ke pintu kelas. Aku berdiri menanti para mahasiswaku masuk kelas. Di kejauhan aku melihat beberapa mahasiswa yang aku kenal, berjalan dengan santainya. Huff, ini lagi! Apakah mereka tidak melihat jam? Atau, apakah orientasi waktu kami berbeda? Aku tepat waktu, sementara mereka tidak peduli waktu? Entahlah.

Ketika rombongan itu tahu aku berdiri di muka kelas, sontak mereka berjalan cepat dan segera menuju kelas.

“Siang bu Imelda,” sapa Ryan, disusul langkah terburu-buru teman-temannya.

Sudah ada 7 orang di kelas. Dan jam tanganku sudah menunjukkan pk. 11.15. Aku meminta mereka yang sudah hadir duduk di bangku depan.

“Kita terlambat 15 menit. Dan saya akan mulai kuliah kita. Saya ingin agar kesepakatan kita minggu lalu dijalankan ya. Lima belas menit tidak datang, berarti tidak boleh masuk. Begitu juga saya. Kalau saya tidak datang sampai 15 menit, kuliah boleh bubar dan semua otomatis dianggap hadir,” kataku.

Aku melihat Rudi tertunduk. Christison mengangguk-angguk. Yang lain saling menengok ke sesama teman.

“Bu, tanya!” Perdian bersuara.

“Ya.”

“Kalau ada halangan, bagaimana? “

“Misalnya?”

“Ada rapat BEM.”

“Ah, masa BEM rapat di jam ibadah seperti ini? Bukankah setiap hari Jumat jam sebelas sampai jam satu kuliah kosong? Yang muslim ke masjid, yang kritsten ada ibadah, dan khusus mahasiwa semester awal kuliah agama, “ aku beragumentasi.

“Iya sih bu.”

“Kan ada toleransi 3 kali absen. Kalau memang ada rapat atau keperluan, gunakanlah kesempatan yang 3 kali itu,” paparku.

Aku sendiri sebetulnya sedang menimbang-nimbang, cocokkah sistem seperti ini diterapkan. Menjadikan kehadiran sebagai salah satu item penilaian. Sejatinya, aku tidak begitu ingin memaksakan sistem seperti ini. Aku mau-mau saja mengizinkan mahasiswa tidak hadir di kelas kalau mereka aktif di salah satu organsasi kampus, dan mengerjakan sesuatu yang positif di luar kelas. Cara memberikan nilai, aku akan minta mereka membuat laporan kegiatan, dan cara menguji apakah laporan itu tidak fiktif, dengan beberapa pertanyaan ‘investigatif’ yang akan aku ajukan saat membaca laporan mereka. Selebihnya, melakukan kroscek dengan pimpinan organisasi dan tim kerja mereka.

Tapi aku baru saja memulai. Setahuku, divisi Mata Kuliah Umum di universitas tidak memberikan ketentuan yang tegas untuk urusan teknis. Apalagi aku masuk dalam kategori ’dosen sukarela’. Selama tidak ada dosen agama, mahasiwa diminta mencari nilai sendiri. Entah ke gereja, atau ke komunitas yang dianggap kompeten untuk memberikan nilai agama. Tapi cara ini dikeluhkan oleh sebagian besar mahasiswa. Mereka yang pernah mendengar bahwa mata kuliah agama dulunya diampu oleh Pdt. Simon, ingin agar sekarang pun seperti itu.

Pukul setengah duabelas, masuk 5 orang disusul dengan 7 orang lagi. Kini di kelas sudah terisi 21 orang. Setelah suasana agak tenang, aku memimpin doa. Tak lama mengakhiri daoa, Armyn bertanya.

“Bu Imelda, kita akan menggunakan Alkitab yang mana?” PL atau PB?”

Spontan alisku terangkat, “Maksudnya?”

“Iya bu. Solanya ada yang bilang, kalau kita menggunakan referensi dari PL, kita akan menyaksikan gambaran Allah yang jahat. Di PL kan banyak kisah dimana Allah membunuh banyak orang. Kalau PB sebaliknya, Yesus merepresentasikan Allah yang baik, Allah yang penuh cinta kasih.”

Well, pertanyaan klasik. Pak Simon pernah bercerita soal ini. Pertanyaan mahasiswa di awal semester selalu soal ‘Allah yang Jahat dan Allah yang Baik’. Pertanyaan itu belum surut ketika aku mengghantikan Pak Simon.

“Hmm … jadi itu kesimpulan kamu? Karena Allah membunuh banyak orang di PL, maka Allah yang demikian adalah Allah yang jahat?” tanya saya balik.

“Ya ... ya, maksud saya bu, apa anggapan saya salah bu, kalau menyimpulkan begitu?” jawab Armyn.

Aku ingin mendengar mahasiswa yang lain memberi tanggapan. “Ada yang mau berpendapat?”

Kelas hening. Belum ada yang mau berbicara.

“Armyn, bisa contohkan, bagian mana yang mendeskripsikan Allah di PL adalah Allah yang jahat?” tanya saya.

“Contohnya di kitab Keluaran dan kitab Yosua bu. Bukankah ketika Yosua memimpin bangsa Israel ke Tanah Kanaan, Allah memerintakan untuk memerangi bangsa Kanaan?”

“Oke, baik. Apakah kalian tahu bagaimana situasi saat itu? Di PL, jika Allah menyuruh bangsa Israel berperang, yang akhirnya melibatkan kematian banyak orang, itu harus dilihat bahwa bukan berarti manusia boleh membunuh, namun harus dilihat bahwa kebijaksanaan/keadilan Tuhan menentukan demikian. Manusia atas kehendak sendiri tidak boleh membunuh (baik membunuh diri sendiri atau orang lain) justru karena urusan hidup dan mati itu adalah hak Tuhan dan bukan hak manusia. Sedangkan bagi Tuhan, karena Ia yang menjadi sumber dan empunya kehidupan manusia, maka Dia berhak menentukan hidup dan mati kita sesuai dengan kebijaksanaan/keadilan-Nya. Dalam konteks PL, maka segala kejadian peperangan maupun cobaan yang dihadapi umat Israel adalah bagian dari rencana Allah dalam rangka mempersiapkan umat-Nya untuk menerima nilai-nilai kebajikan yang nantinya akan digenapi dalam diri Kristus.”*)

Aku sadar, tidak mudah memberikan penjelasan seperti ini, karena ada perbedaan sudut pandang dan jarak sejarah yang amat jauh antara konteks sejarah yang mereka nilai dengan peradaban masa kini yang menjadi pengukurnya.

“Kalau menurut ibu, berdasarkan defisini kalian itu, lebih pas mengatakan bahwa Allah di PL itu Allah yang Adil ketimbang Allah yang jahat. Meksipun, dengan melihat kesatuan antara PL dan PB, kita tidak bisa menyimpulkan keberadaan Allah hanya dengan satu atau dua karakter saja.”

Sampai di situ, tidak ada yang berkomentar. Aku sebetulnya tidak siap dengan pembahasan ini. Untuk membuat mahasiswa paham soal tema ini butuh ceramah dan diskusi setidaknya 4 kali pertemuan, itupun dengan tugas baca minimal 2 buku. Tapi tak apalah. Sekedar ’pemanasan’, pertanyaan Perdian barusan cukup memercik keingintahuan mereka.

Kuliah agama diberikan selama 2 semester, dan aku membagikanya dalam dua bagian. Di semester pertama, mencapai tujuan kognitif dan yang kedua, penerapan etis. Dalam prakteknya nanti, semoga tiga aspek ini bisa berjalan seimbang: aspek kognitif (head), afektif (heart), dan motorik (hands). Tidak ada yang lebih besar.

***

Kuliah hari ke-2 siang itu selesai jam setengah satu siang. Mereka setuju dengan kesepatakatan yang aku tawarkan: kuliah dimulai pk. 11.00 dengan toleransi keterlambatan 15 menit. Jika lebih dari 15 menit, tidak boleh masuk.

Sepuluh menit waktu yang tersisa kami gunakan untuk memilih Ketua Kelas, Sekretaris dan Bendahara. Setelah itu aku minta Christison menutup sesi kuliah kami dengan doa .

Ketika aku keluar, Martin menjejeri langkahku. Aku menoleh,”Masih ada kuliah, Martin?” tanyaku.

“Tidak bu.”

“Oh, jadi langsung pulang mi?”

Pertanyaan konyol. Sebab, sangat jarang mahasiswa, apalagi di hari Jumat, pulang cepat ke tempat kosnya.

“Eng ….. tidak, masih ada kegiatan di kampus.”

“Ehm, anu bu. Bisa ji kalau saya datang ke rumah Ibu besok?”

“Jam berapa?”

“Sekitar sore bu.”

“Ah, ha-ha, sekitar sore itu jam berapa,” aku tak bisa menahan tawa.

“Hehe, jam-jam 5 bu.”

“Ya sudah, datang saja. Jangan lupa sms dulu untuk konfirmasi ya?”

“Ya bu.”

Setelah itu, Martin pamit mendahuluiku.

***

Sore itu Martin datang bersama dua temannya. Tapi sepertinya bukan mahasiswa di kelasku. Ia memperkenalkan keduanya: Edo dan John. Rupanya, Martin penasaran dengan penjelasanku kemarin soal ‘konsep’ Allah yang Jahat dan Allah yang baik. Ia ingin bertanya lebih lanjut.  “Mengapa Allah yang Baik mengijinkan ada dosa, bu? Kalau menurut saya sih, dosa itu bukan dari Allah yang Baik. Tapi sebaliknya, dari Allah yang jahat.”

Wah, ini lagi. Pertanyaan yang harus dijelaskan panjang lebar.

Aku masuk ke ruang kerjaku dan mencari beberapa buku, dan membawa laptop yang masih menyala. Atas kebaikan Ibu kos, aku dan semua penghuni rumah sewa ini bisa menikamti intenet 24 jam. Aku menyodorkan dua buku kepada Martin dan memberikan alamat link yang bisa dia dipelajari untuk menjawab pertanyaan dia barusan.

“Martin, ibu nggak akan langsung jawab pertanyaanmu ya. Coba kamu baca dulu dua buku ini dan buka link yang ibu kasih ke kamu. Nanti kalau mau diksusi lebih dalam, bisa ke sini lagi atau dibahas di kelas.”

Martin mengangguk. Lalu padanganya sibuk menelusuri bab demi bab di kedua buku itu.

Edo angkat suara. Ia ingin bertanya juga, tapi kali ini soal asal mula penciptaan.

Aku harus mengakui bahwa aku agak kewalahan dengan rasa ingin tahu mereka. Tapi itu lebih baik, daripada mereka segan bertanya. Sambil menjelaskan beberapa bagian yang aku anggap cukup make sense, aku memberitahu mereka bahwa tahun ini kalau tidak ada halangan, Unit Kegiatan Kerohanian akan menyelenggarakan seminar umum “The Origin of Creation” yang digagas tahun lalu oleh Pak Simon dan beberapa dosen.

Pak Simon pernah mengatakan bahwa oleh karena begitu banyaknya mahasiswa yang bertanya hal-hal yang sifatnya biblika, sesekali perlu membuat seminar yang –semoga-- bisa menjawab rasa penasaran mereka. ***

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*) http://katolisitas.org/1815/allah-terlihat-kejam-di-perjanjian-lama diakses 7/10/2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun