Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Segitiga; Menyebalkan!

15 Oktober 2014   03:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:00 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14132922632144883655


“…. hubungan pertemanan pun tetap berpotensi menimbulkan kecemburuan…. aku udah berpikir matang-matang. Jauh lebih berat kalo persahabatanku rusak dengan mbak Monik ketimbang menolak cintanya si Keenan.”

“Ini pernyataan paling manis yang pernah gue denger: ‘Andai aku bukan calon pendeta dan masih single, aku akan langsung melamar kamu.’”

Pengumuman, pengumuman! Yang bilang ini adalah June. June lho, bukan saya. Si June itu –nggak ada hujan nggak ada angin—tiba-tiba bilang ini sama saya. Bilang tentang beberapa kalimat yang pernah dilontarkan Dietrich, ketika mereka masih ribet dengan urusan kelanjutan hubungan asmara.

Saya heran, kenapa June mengangkat lagi kisah lamanya dengan Dietrich (Dit). Eh, apa saya kesal ya? Oh, bukan, bukan. Boleh-boleh saja sih seseorang sesekali bernostalgia dengan kenangan manisnya di masa lalu. Tetapi June cukup serius waktu mengatakan kalimat tersebut kepada saya.

“Ce-el-be-ka kah kalian, June?” tanya saya. Takut kalau-kalau June naksir di Dit kembali. Dietrich kan sudah menikah sama Dinda.

“Enggak, Deb. Perasaanku udah biasa aja kok sama dia, “ jawab June yang malam itu tampak cantik dengan busana casualnya.

“Terus, ada apa nih elo mengenang kembali kata-kata mesra dia? Amboi deh dengernya,” kata saya.

June terdiam sejenak. Ia pura-pura serius dengan jus jeruknya. Lalu katanya, “Itu kalimat si Dietrich waktu sedih karena nggak bisa married sama gue. Anehnya Deb, kalimat yang sama sekarang harus gue bilang sama seseorang.”

Dug!

Jantung saya tiba-tiba berdetak. Kecang sekali. “Siapa June?” tanya saya. Pasti bukan Franky. Mereka sudah putus hubungan tahun lalu.

“Hhhh … kasih tahu enggak yaaaa?” katanya menirukan candaan anak-anak alay, sok bikin penasaran lawan bicara.

“Sebaiknya elo kasih tahu ke gue. Siapa tahu gue punya nasihat ampuh buat elo,” kata saya sombong.

“Emang pada dasarnya gue bakalan ngasih tahu ke elo kok Deeeeb. Makanya gue ngajak ketemuan sama elo di sini,” jelas dia.

“Ya udah. Bilang, siapa orangnya,” tukas saya tak sabar.

“Elo juga kenal.”

“Franky,” tebak saya asal-asalan. Padahal, tadi saya sudah mengira bahwa bukan Franky orangnya.

“Bukan dia Deb. Kalau dia sih gue nggak bakalan merasa rumit.” He-he, benar saja dugaan saya. Bukan Franky.

“Lalu?”

“Si Keenan.”

“Keenan…. sohibnya mbak Monik?”

“Tepat!”

“Keenan masih single June? Hmmm, terus, apa dia itu cowok sejati?”

“Heh, apa maksud elo apakah dia cowok sejati atau bukan?” sambar June dengan nada tinggi.

“Hehehe... tenang bu, tenang. Gue cuma nanya kok, soalnya cowok seumur gitu belum married mah …. “ saya menghentikan kata-kata saya.

“Hssshhh … gila lo Deb. Si Keenan bukannya single dalam artian belum pernah married. Dia kan duda, udah 5 tahun ditinggal mati sama istrinya. Punya anak laki-laki, sampai sekarang diasuh sama neneknya dari pihak mendiang istri.”

“Oooo gitu toh. Aman dong buat dipacarin.”

“Dari sisi status sih aman Deb.”

“Tapi?”

“Masalahnya, si Keenan itu deket banget sama Monik.”

“Kan sekedar sahabatan toh mereka?”

“Menurutku sih lebih dari itu?”

“Lebih dari itu, gimana?”

“Yaaahhh, gimana ya bilangnya? Mereka memang berteman. Deket banget. Udah beberapa tahun inilah. Mbak Monik yang duluan kenal sama Keenan. Setelah si Keenan tahu gue sahabatnya Monik, dia langsung ngajak temenan ke gue. Gue nggak masalah diajak temenan sama siapapun. Apalagi waktu itu si Keenan masih menikah, soalnya kadang-kadang dia bawa anaknya kalau kami main. Setahun setelah itulah baru si Keenan menduda.

“Sebetulnya Deb, sejak awal gue nggak mau terlalu deket sama si Keenan,” lanjut June. “Apalagi waktu Monik dengan tegas berkali-kali bilang sama gue, ‘Keenan itu duda Jun. Dia minta aku mencarikan jodoh buat dia.’ Awalnya gue menduga bahwa bahwa dia bermaksud menjodohkan kami.”

“Ternyata?”

“Rasanya enggak Deb.”

“Tahunya darimanaaaa?”

“Dari bahasa tubuh mbak Monik.”

“Bahwa?”

“Bahwa Monik nggak suka kalau aku berteman akrab sama Keenan.”

“Monik suka ya sama Keenan?”

“Kayaknya iya.”

”Lho, kan usia mereka terpaut jauh banget June? Elo sendiri yang bilang bahwa selisih umur Keenan sama Monik 15 tahunan.”

“Iya, bener, Tapi kalau yang namanya perasaan suka mah Deb, nggak pandang umur kan?”

“Si Keenan sendiri, gimana sama mbak Monik?”

“Ngakunya sih cuma nganggep kakak.”

“Yo wessss, nggak apa-apa kalau gitu June.”

“Nggak apa-apa, gimana?”

“Nggak apa-apa kalo elo jadian sama Keenan.”

“Ribet Deb.”

“Kenapa emangnya?”

“Si Keenan udah nyatain sih perasaannya ke gue. Dua kali. Pertama, waktu gue ulangtahun. Tapi waktu itu gue nggak serius nanggepinnya. Dia akhirnya bilang nggak masalah kalo gue pikir-pikir dulu. Asalkan dia diberi kesempatan untuk kenal gue lebih dalam. Mau nggak mau kami jadi sering ketemuan.”

“So?”

“Setelah sering ketemu dan ngobrol panjang, gue merasa cocok sama Keenan. Apalagi anaknyapun udah dikenalin sama gue.”

“Issshhh, bukan main. Nggak bilang-bilang nih kalau lagi deket sama cowok ...”

“Waduh Deb, kali ini gue mau diem-diem dulu aja. Secara, sama si Franky kan gue akhirnya nggak lanjut. Lagian, awalnya gue nggak gitu serius mau jalan sama si Keenan. Kami berproses aja.”

“Lalu, masalahnya dimana sekarang?”

“Masalah ada sama mbak Monik Deb. Dia pernah marah besar waktu tahu kami pergi ke Bogor, tapi nggak ngasih tahu dia. Katanya, kami dianggap menusuk dari belakang… Padahal Deb, ini kan privacy kami?”

“Hmmm … hubungan kalian agak rumit kayaknya June.”

“Iya, bener.”

“Mbak Monik pasti merasa kehilangan si Keenan kalau kalian menikah.”

“Bisa jadi, tapi si Keenan sendiri menjamin bahwa dia akan tetap berteman dengan mbak Monik, dan kerjasama bisnis mereka nggak akan berhenti.”

“Iya, tapi hubungan pertemanan pun tetap berpotensi menimbulkan kecemburuanlah June. Nggak hanya dalam hubungan percintaan aja,” ujar saya.

“Iya, begitu sih yang gue rasa.”

“Hmmm, sebaiknya jangan berpikir negatif dulu sama Monik, June. Jelas mbak Monik akan merasa kehilangan kalau Keenan jadian sama elo. Apalagi sampai kalian nikah.”

“Ya ya .. makanya gue kemarin bilang sama Keenan, supaya kami berteman aja. Jangan lebih dari itu.”

“What? Elo bilang apa ke si Keenan?”

“Ya itu, bilang yang gue katakan barusan.”

“Jadi, elo udah mutusin dia nih?”

“Lebih tepatnya, nggak jadian.”

“Olala June, nggak terlalu prematur ya keputusan elo.”

“Enggak Deb, gue udah berpikir mateng-mateng. Jauh lebih berat kalo persahabatan gue rusak dengan mbak Monik ketimbang menolak cintanya si Keenan.”

“Aduhhhh... gue nggak ngerti jalan pikiran elo, Jun.”

“Yaaa .. itulah gue. Gue kenal betul mbak Monik gimana. Seenggaknya, untuk saat ini gue udah lebih bisa nerima keberadan mbak Monik ketimbang si Keenan yang masih baru beberapa tahun.”

“Apa nggak bakalan susah jodoh nantinya elo buuu, hehe.”

“Alaaaa ... sok nasehatin deh. Nah elo sendiri, udah berapa gerombolan cowok yang elo tolak gara-gara nggak sesuai selera elo?”

“Eh, bu. Bukan nolak lagiiiii, tapi nggak cinta. Bedain dong ah. Dalam kasus ini kan elo juga cinta sama Keenan?”

“Iya, gue lumayan cintalah. Tapi nggak sedalem ke si .... hmmm nggak jadi deh!”

“Hihih ... nggak usah disebut gue juga udah tahu siapa yang elo maksud. Dalem sih boleh-boleh aja perasaan sama dia, tapi gimana kalo realisasinya nggak ada?” tantang saya.

“Ah, elo kerjaannya menghina gue terus nih.”

“Yah, demi kebaikan elo Jun.”

“Ih, yang adil dong. Ya demi kebaikan kitalah .... “

“Ya udah, lanjutin ceritanya apa masalahnya dengan si Keenan?” kata saya tak sabar.

Seorang perempuan single berumur dicurhatin rasa cinta sama temen deketnya yang laki-laki. Panas nggak sih? Mana ada orang yang steril dari perasaan-perasasan cemburu di dunia ini?”

“Gue merasa, si Keenan agak egois Deb. Dia mau memiliki gue, tapi nggak mau lepas dari mbak Monik. Maksud gue, ketergantungan dia baik secara emosional maupun finansial. Gue bukan mau nyuruh dia musuhan lho sama Monik. Cuma ingin supaya dia mengatur ketergantungannya. Tapi kayaknya sih enggak bisa tuh bapak. Sejak mbak Monik marah sama kami waktu nggak dikasih tahu kalo kami pergi berduaan, Keenan minta maaf sejadi-jadinya. Gue pusing Deb dengan dia, kok mesti merasa bersalah gitu sih? Kenapa nggak diplomatis aja jawabannya? Dan gue juga agak jengah sama sikap mbak Monik yang kesannya protektif sama Keenan. Sementara, gue sendiri juga sahabatnya Monik yang sudah saling mengenal satu sama lain. Dan karena gue kenal banget sama Monik, maka kalau ada sesuatu yang terjadi pasti langsung tahu. Intinya Deb, Monik jealous kalau gue sama Keenan pacaran dan merasa bahwa kalau si Keenan jaga jarak sama dia, dianggap kacang lupa kulit. Nah, kalau sikap Keenan tetap seperti ini, bergantung secara emosional dan secara finansial pula, gimana kami bisa punya privacy dong? Kalau kami berantem misalnya, nanti curhatnya sama Monik. Kan gue malu dong rahasia dapur kami didenger orang, meski itu sahabat gue sendiri.”

“Ya, ya June, gue udah kebayang sekarang. Elo sebelumnya nggak pernah cerita tentang kelekatan si Keenan sama mbak Monik.”

“Gue juga baru ngerti setelah kami deket dan mulai membuka diri satu sama lain. Si Keenan itu ternyata nggak bisa nyimpen apapun sama mbak Monik. Termasuk rasa senangnya berhubungan sama gue. Kebayanglah Deb. Seorang wanita single berumur dicurhatin rasa cinta sama temen deketnya yang cowok. Panas nggak sih? Mana ada orang yang steril dari perasaan-perasasan cemburu di dunia ini, kalau mereka punya ikatan emoisional?”

Saya terdiam. Membayangkan Mbak Monik yang saya kenal sebagai wanita anggun dan kalau bicara tertata betul. Salut juga June bisa bersahabat dekat dengan mbak Monik. Setahu saya selisih usia mereka juga cukup jauh, 10-15 tahunan seperrtinya. Hal apa ya yang mengikat mereka sehingga June dan mbak Monik cocok satu sama lain? Saya menghargai keinginannya untuk ‘mempertahankan’ mbak Monik dan bukan Keenan.

“Gue merasa lebih baik seperti ini saja relasi kami, Deb. Keenan tetap bekerjasama dengan mbak Monik, dan gue tetep berteman dengan mereka berdua. Nggak ada hubungan cinta deh sama Keenan.”

“Kan cinta itu kuat seperti maut Jun, hehe,” canda saya.

“Yaah mumpung belum punya daya mautnya, lebih baik dihindari saja deh. Kan gue udah punya pengalaman sama si Dit, kelewat kuat dan dalem, ujung-ujungnya susah dilepasin.”

“Cieeeehhh, pakar deh elo soal cinta.”

“Elo juga, hehe ...”

“Ha-ha-ha...,” kamipun tertawa bersama.

“Kapan elo terakhir ketemu si Keenan?”

“Kemarin malam. Gue minta maaf nggak nerusin hubungan khusus kami. Dia agak heran, tapi kayaknya sih nggak gitu sedih. Di cuma penasaran, kenapa cewek seumur gue dan udah deket sama anaknya, bisa-bisanya nolak lamaran laki-laki untuk jadi istrinya.”

“Jawaban elo apa ke dia?”

“’Andai aku bukan sahabatnya mbak Monik dan kamu bukan mitra bisnisnya dia, aku pasti langsung mau dilamar kamu.’ Persis kata-kata si Dietrich dulu ke gue.”

O my God. Seketika meledaklah tawa saya. Cinta kadang-kadang suka agak misterius. Kali ini bentuknya cinta segitiga yang menyebalkan. Para orangtua yang punya anak seperti June barangkali sudah gemas.Sudah beberapa kali berpacaran, tapi nggak ada yang jadi. Sayapun demikian tadinya. Sebelum bertemu dengan Alfred. ***

---------------

sumber gbr: https://segiempat.com/asmara-cinta/tips-percintaan/cara-melepaskan-diri-dari-cinta-segitiga

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun